Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Rumah Sakit

****

Aku terbangun, tubuh ini tergeletak di atas kasur berlapis alas putih yang bersih. Mata memandang ke segala arah. Jendela yang tidak sepenuhnya tertutup gorden menampakkan rona langit kebiruan. Mataku mengerjap mencari jam yang tergantung di dinding. 

 

"Astaghfirullah," ucapku lirih. 

 

Sudah subuh, aku belum melaksanakan salat. Niat hati ingin beranjak, beringsut dari kasur. Namun rasa perih dan ngilu di persendian lutut membuatku menyerah. 

 

"Maaf, apakah ada orang?" 

 

"Siapa saja, bisakah bantu saya?"

 

Tak ada sahutan yang membuatku lega. Ingatanku kembali pada kejadian kemarin malam. Sepeda motor seseorang yang melaju ke arahku, lalu menabrak, padahal aku sudah berjalan di pinggir. 

 

"Mbak sudah bangun? Syukurlah."

Laki-laki memakai baju kemeja panjang masuk tersenyum padaku. 

 

"Kamu ... kamu siapa?" 

 

"Aku, Rian, Mbak. Kema ....”

 

"Kamu kah yang menabrakku? Kenapa? Kenapa kamu menabrakku?" 

Dadaku terasa sesak menahan sakit dan juga menanggung cobaan ini. 

 

"Tenanglah, Mbak. Saya ... saya tak sengaja, Mbak."

 

"Apa?! Enak sekali kamu mengatakan tak sengaja. Kamu sudah membuat kakiku seperti ini, kamu tidak tau saya punya anak di kontrakan sana. Sekarang entah gimana nasib anak saya."

 

Tanpa diminta bibir ini menuturkan segala keluh kesah. Tak tau lagi gimana nasib anakku. Kaki ibunya sudah tak bisa berjalan lagi.

 

"Mbak, maaf. Tolong, Mbak tenang dulu. Sa ... saya yang salah, tapi itu bukan saya sengaja. Saya janji akan tanggung jawab, Mbak."

 

Aku tak ingin berkata lagi, mencoba untuk menerima ujian hidup ini dengan lapang dada. Mungkin laki-laki itu memang tak salah, ujian ini datangnya dari Robb. 

 

"Gini saja, Mbak. Bisa saya minta nomor telepon suami, Mbak?"

 

Kutatap laki-laki yang ada di depan tersebut. Pertanyaannya membuat sakitku semakin parah. Bukan sakit di lutut, melainkan di hati yang paling dalam. 

 

"Suami saya sudah tidak ada," ucapku berusaha menahan diri. 

 

"Maaf, Mbak. Kalau begitu bisa saya minta nomor orang di rumah?"

 

"Nggak ada."

 

"Duh, gimana ya. Saya juga kepikiran dengan keadaan anak, Mbak. Gini saja, boleh saya minta alamat tempat Mbak ngontrak? Saya akan melihat keadaan anak Mbak."

 

"Tidak usah!"

 

Siapa dia? Tak akan segampang itu aku percaya pada lelaki yang tak dikenal. 

 

"Lalu bagaimana, Mbak?"

Laki-laki berhidung mancung itu kelihatan mulai panik dan bingung. 

 

"Saya ingin pulang, saja."

 

"Jangan, Mbak. Kaki Mbak belum pulih," ucapnya penuh kecemasan.

 

Aku capek bicara dengan laki-laki ini. Aku juga belum salat. Kucoba sekali lagi, menggerakkan kaki kiri ku. Sangat sulit rasanya, perih yang menjalar ke ulu hati membuatku menyerah. 

 

"Mbak mau kemana? Biar saja bantu," ucap laki-laki bernama Rian itu berdiri dan mendekat ke bibir tempat tidur. 

 

"Jangan sentuh, saya."

 

"Maaf, Mbak. Sebentar saya panggilkan perawat dulu," ucapnya berlalu dari kamar aku dirawat. 

 

Entah berapa biaya pengobatan di rumah sakit ini. Sangat parahkah kakiku yang dibalut ini? Pikiranku jadi bercabang kemana-mana.

 

 Bagaimana kalau aku sakit lama? Sulit beraktifitas? Bagaimana aku bekerja untuk kebutuhan sehari-hari? Uang, tiba-tiba aku teringat uang tiga puluh ribu yang kemarin aku dapatkan. Dimana uang itu?

 

Uang itu pasti sudah hilang. Jika tak malu, tentu aku sudah menangis sekarang ini. Uang yang susah payah aku dapatkan kini juga hilang. Laila, anakku di rumah entah gimana nasibnya. Mungkin dia sudah menangis tidak menemukan ibunya di rumah. 

 

"Ibu, mau ke kamar mandi?" tanya perawat yang datang bersama laki-laki tadi.

 

"Iya, Bu. Saya mau salat," ucapku pelan. 

 

"Baiklah, sebentar saya ambilkan kursi roda dulu."

 

Ya Robb, bahkan aku sekarang harus dibantu kursi roda untuk bergerak. Tak bisa aku bayangkan, gimana jadinya nanti. 

 

"Sekali lagi maafkan saya, Mbak."

 

****

Sudah setahun aku berjuang sendiri. Mas Judid menceraikan aku ketika Laila berumur lima tahun. Alasan yang sangat tak di duga, hanya karena sudah membuat dia mengeluarkan banyak uang untuk biaya operasi caesar.

 

Tak ada BPJS, karena memang kala itu Mas Judid dan mertuaku melarang membuat kartu itu.

 

 Mereka yakin aku bisa melahirkan secara normal. Namun takdir membawaku ke meja operasi, ruang dingin yang sangat menyeramkan. 

 

"Jangan operasi, Dok. Saya mohon, saya ingin melahirkan normal," lulungku kala itu. Aku tak segan lagi menangis di hadapan dokter perawat dan staff lainnya.

 

"Kehamilan Ibu sudah komplikasi, ketuban pecah dini,Bu. Pembukaan masih mentok di satu."

 

Mas Judid menanda tangani surat pernyataan setuju dengan amarah yang ia tahan. Penderitaanku berlanjut setelah pulang dari rumah sakit.

 

Mertua, atau pun iparku tak ada yang mau membantu. Mereka hanya menonton saja ketika aku bersusah payah memandikan bayi mungilku di tengah-tengah rumah. 

 

Belum lagi omongan yang membuatku drop dan sering bersedih. Lima tahun lamanya aku menjadi bulan-bulanan mereka. Pada akhirnya Mas Judid menjatuhkan talak karena setiap hari dirong-rong ibunya. 

 

Hari itu juga aku angkat kaki dari rumah mertuaku. Uang yang sering aku tabung ternyata sangat berguna.

 

Aku putuskan mengontrak di tempat yang sederhana, yang penting aman dan nyaman untuk aku dan Laila tempati. Memulai hidup baru tanpa bayangan hantu-hantu yang berwujud manusia tersebut.

 

 Alhamdulillah, Mas Judid tak pernah memberikan nafkah. Walaupun aku mengontrak masih dalam satu kecamatan yang sama dengan tempat tinggal mertuaku.

 

"Mbak," panggil Rian pelan.

 

Lamunanku seketika itu langsung buyar. Menoleh ke arahnya, menatap wajahnya sekilas.

 

Sepertinya dia laki-laki yang baik. Buktinya dia masih betah menungguiku di rumah sakit ini. Bahkan baju yang ia kenakan masih yang tadi pagi. 

 

"Mbak, saya cemas dengan keadaan anak, Mbak. Bagaimana kalau saya lihat ke sana. Saya jadi tidak tenang loh, Mbak. Berikan saja alamatnya."

 

Aku diam membisu. Masih menimbang-nimbang. Berikan atau tidak? Anakku masih sangat kecil.

 

Berita yang sering aku dengar membuat was-was. Ada penculikan anak, ada pelecehan seksual pada anak, ada lagi penganiayaan pada anak. 

 

Wajah Rian mengisyaratkan bahwa aku harus percaya padanya. Namun, hatiku masih berat untuk percaya pada orang yang belum dikenal sama sekali.

 

Apakah aku harus memberikan alamat kontrakanku? Aku jadi dilema. 

 

Bersambung....

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel