Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. Salah Paham

Mata ini mulai terbuka. Betapa aku terkejut ketika mengintip ke dalam selimut, karena tubuh ini polos tanpa pakaian sehelai pun. Hanya selimut yang menutupi tubuh ini. 

 

Apa yang dilakukan Rian?

 

Dadaku terasa sesak. Membayangkan betapa rendahnya laki-laki itu. Dia tega mengambil kesempatan dalam ketidak berdayaan diri ini. 

 

Aku masih sangat ingat, sebelumnya aku pusing dan lemah. Lalu aku pingsan tepat di hadapan. Sekarang ke mana laki-laki itu? Barangkali dia sudah pergi. 

 

Hatiku sangat sakit. Anakku entah di mana, dan sekarang laki-laki itu sudah menodaiku. Aku manangis terisak. 

 

"Mbak ... Mbak Rahma sudah bangunkah?" 

 

Aku menghentikan tangisan ini. Segera memakai pakaian dan ingin segera melenyapkan laki-laki itu. Ternyata dia belum pergi. 

 

Ketika aku keluar, aku melihat Rian tersenyum. Jijik aku rasanya melihat wajahnya itu. Kubuang pandang ke pintu yang masih terbuka lebar. Laki-laki itu menghampiriku. Dia mendekat padaku. Mau apa lagi dia? 

 

Bugh! 

Tinjuku melayang ke bibir Rian. Memang sengaja aku memilih bagian itu. Biar dia tau rasa. 

 

"Dasar tak tahu malu!" rutukku menatapnya dengan tatapan yang marah. 

 

Rian memegangi bibirnya. Ujung bibirnya mengeluarkan darah, saking kerasnya hantaman tinju ini. Ya, aku meninjunya sekuat tenaga. Sekarang pasti dia merasakan sakit dan juga perih. 

 

"Mbak kenapa marah ke saya? Apa salah saya?" tanyanya tanpa memperdulikan darah yang mulai mengalir dari ujung bibirnya. 

 

"Jangan mendekat, Rian. Sudah cukup semua sandiwaramu. Aku tahu, aku memang hanya seorang janda. Tapi, aku masih punya harga diri," ucapku tetap bersiaga. 

 

Rian mengacak rambut ikalnya itu. Dahinya berkerut, dan maju hendak menenangkanku. 

 

"Apa yang kamu lakukan ketika aku pingsan, ha?!"

Aku mundur memberi menjauhkan jarak kami.

 

"Maafkan saya, Mbak. Saya terpaksa merogoh kantong gamis, Mbak. Niat saya hanya mengambil kunci di sana. Lalu saya gendong Mbak ke kamar."

 

"Lalu?" 

Kutatap dia dengan mata melotot dan penuh selidik. 

 

"Lalu, saya ke luar untuk memanggil ibu kontrakan. Mana mungkin saya membiarkan Mbak tidur dengan baju yang masih basah. Karena itulah saya minta ibu kontrakan untuk membuka baju, Mbak. Maafkan saya, Mbak."

 

"Kamu pasti bohong."

 

"Tidak, Mbak. Mana mungkin saya berani melecehkan, Mbak. Bahkan orang lain pun tidak akan saya biarkan. Sebentar, biar saya panggil ibu kontrakan dulu."

 

Tanpa menunggu persetujuanku, Rian langsung pergi, walaupun di luar masih hujan, namun tidak terlalu lebat. 

 

Kutatap  tangan yang sudah meninju Rian. Tangan ini juga terasa sakit dan sedikit lecet karena beradu dengan gigi Rian dengan sangat kuat. Jika benar Rian tidak melakukan apa pun, maka aku sudah sangat salah. 

 

Beberapa saat kemudian. Ibu kontrakan muncul di ambang pintu. Payung yang dia gunakan, dia letakkan di luar. 

 

"Rahma, kamu jangan salah paham dulu. Rian sedari tadi hanya di luar, duduk ngobrol dengan ibu. Mungkin, baru sekitar lima menit ibu tinggalkan dia."

 

Aku menelan ludah merasa gugup mendengar penjelasan dari ibu kontrakan. Dia tidak mungkin berbohong. Sudah pasti aku yang salah. 

 

"Ibu yang buka pakianmu tadi. Maafkan ibu karena sudah lancang. Namun mau bagaimana lagi, Rahma. Kamu sudah pingsan, bahkan wajah kamu pucat tadi."

 

"Iya, Ibu. Maafkan saya," ucapku menunduk malu. 

 

"Rian laki-laki yang baik. Jadi, tidak mungkin dia melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti yang kamu pikirkan, Rahma."

 

"Iya, Bu. Maaf, saya yang salah."

 

Ibu kontrakan mengembuskan napas dengan kasar. Mungkin beliau juga kecewa karena aku sudah main tuduh saja. Ibu kontrakan lalu pergi. 

 

Sekarang tinggal aku dan Rian. Aku jadi malu dengan kelakuanku sendiri. Pasti Rian sangat kecewa dengan sikapku. 

 

"Rian, saya minta maaf," ucapku menatapnya. 

 

Rian hanya diam, tidak menjawab, juga tidak menatapku. Seakan-akan dia marah, dan mengabaikan kehadiranku. 

 

Kaki ini melangkah ke dapur. Menghangatkan air sedikit, untuk meredam rasa sakit Rian.

 

Aku kembali membawa mangkuk berisi air hangat. Satu sapu tangan yang masih bersih. Kudekati Rian yang sekarang tengah duduk menunduk. 

 

"Rian, maafkan saya," ucapku sekali lagi. 

Tanpa menunggu jawaban dari Rian aku tempelkan sapu tangan yang sudah aku celup ke mangkuk. Pelan-pelan aku sapukan ke bagian wajahnya yang kena bogem mentah milikku. 

 

Rian masih betah memandangi tikar butut yang mengalas tempat kami duduk. Aku semakin tak enak. Akhirnya kusudahi kegiatanku. Darah yang sempat mengalir itu sudah hilang. Hanya luka koyak kecil yang masih ada di sana. 

 

Aku hendak beranjak. Namun tiba-tiba Rian menghentikan langkahku. Tangannya menyentuh pergelangan tanganku. 

 

"Mbak," ucapnya lirih. 

Kubebaskan pergelangan tangan ini dari genggamannya. 

 

"Rian, apa yang kamu lakukan?" 

 

"Maaf, Mbak. Terima kasih karena sudah meninju saya. Pukulan Mbak ternyata sangat kuat," ucapnya tersenyum. 

 

Tatapan kami saling bertemu. Aku baru sadar bahwa iris mata Rian tidak seperti kebanyakan orang Indonesia. Iris matanya sangat berbeda. Dibilang hitam kecoklatan tentu saja tidak. Biru juga tidak. Akan tetapi, orange ke merah-merahan. Bola matanya itu sangat indah, membuat aku terkagum.  Aku masih menatap matanya itu. 

 

"Mbak terpesona, ya?" tanya Rian membuatku tersadar. Aku menggeser jarak darinya. Rian malah terkekeh melihat aku menjadi salah tingkah. 

 

"Saya suka kok ditatap seperti itu," ucapnya kemudian. 

Aku hanya diam membisu. 

 

"Oh iya, Laila mana, Mbak? perasaan dari tadi saya tidak melihatnya."

 

Astaghfirullah, aku hampir melupakan putriku sendiri. Tiba-tiba aku menjadi cemas dan risau. Sudah hampir jam empat, Laila belum juga pulang. 

 

"Itulah, Rian. Laila belum pulang. Saya sudah mencarinya ke TK, juga tidak ada."

 

"Kalau begitu, Mbak salat dulu. Nanti saya temani mencari Laila. Mungkin dia di rumah gurunya, atau temannya."

 

"Mudah-mudahan begitu," ucapku beranjak untuk segera melaksanakan shalat. 

 

Bersambung ....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel