12. Kelakuan Mantan Suami
Berkat bantuan Rian, aku bertamu ke rumah teman-teman Laila. Begitu juga ke rumah gurunya. Namun, Laila tidak ada di sana. Aku semakin panik dengan semua itu.
"Tenang dulu, Mbak. Jangan panik seperti itu. Saya yakin Laila baik-baik saja," ucap Rian menenangkan.
"Cuma Laila yang saya punya, Rian. Keluarga saya juga sudah tak memperdulikan lagi."
"Ada saya, Mbak. Saya akan bantu agar Laila bisa ditemukan."
Jika Laila tidak ada di rumah gurunya, juga tak ada di rumah temannya. Ke mana dia?
Aku berusaha menenangkan diri. Berpikir sejenak, Laila tidak mungkin diculik. Aku sering mengingatkan dia untuk menjauh dari orang yang tidak dikenal.
Ibu penjaga warung bilang, ada orang yang masuk ke perkarangan sekolah. Kedengarannya motor besar gitu. Mungkinkah mas Judid yang sudah membawa Laila pergi?
Ya, Allah. Mau apa lagi laki-laki itu.
"Rian, apakah kamu mau mengantar saya ke rumah mantan suami saya?"
"Iya, saya tidak keberatan kok, Mbak. Coba kita cek ke sana. Mungkin saja memang ayah Laila yang sudah membawa Laila."
"Terima kasih."
Sore itu juga, aku dan Rian berangkat ke rumah mantan suamiku. Masih satu kecamatan. Jadi, tidak akan membutuhkan waktu yang lama.
Aku berharap Laila benar ada di sana. Awas saja laki-laki itu. Jika benar dia tega membawa Laila tanpa memberi tahuku, akan aku beri dia pelajaran.
Dia mungkin tidak pernah tau bahwa aku pernah lulus bela diri karate. Selama ini sudah cukup mereka membuatku menderita.
Aku memilih diam karena aku masih menjadi istrinya. Sekarang tidak lagi. Aku hanyalah mantan istrinya. Kalau aku melawan tidak akan mendapatkan murka dari Allah.
Dasar laki-laki tak punya malu.
***
Kami sampai di rumah mantan suamiku sekitar jam lima lewat. Pintu rumah itu tertutup dengan rapat. Aku khawatir jika tidak ada orang di rumah. Pikiranku hanya ingin cepat-cepat ketemu Laila.
Rumah itu sangat besar. Ya, bahkan dulu semua anak mertuaku tinggal di sana. Bahkan, sesama ipar juga tinggal di sana. Aku jadi penasaran, setelah aku pergi siapa yang mengurus rumah besar ini. Pembantu? mana mungkin, mereka itu sangat perhitungan dengan uang.
Aku turun, dan meminta Rian untuk menunggu di motor saja. Namun, dia tetap memaksa untuk ikut juga. Ya sudahlah.
Tok! Tok!
Aku mengetuk pintu, berharap secepatnya pintu itu dibuka.
Tidak lama setelahnya pintu terbuka lebar. Di ambang pintu sudah berdiri neneknya Laila.
"Kamu? berani sekali kamu datang kemari?" ucap Ibu mertua dengan mata melotot. Dia langsung saja emosi.
Tiba-tiba dia ingin menutup pintu itu kembali. Namun, untung Rian menahannya.
Aku segera masuk tanpa mengucapkan salam. Aku rasa tidak perlu lagi berbasa-basi.
"Hei, mau ke mana kamu, Rahma?"
Ibu mertua langsung berteriak, karena aku masuk begitu saja. Aku berlalu ke ruang menonton tanpa mempedulikan teriakan ibu mertua.
"Laila, Laila. Di mana kamu, Nak?"
Aku mengangkat suara agar Laila bisa mendengarku. Namun tak ada sahutan, dan di ruangan menonton pun tidak ada siapa pun di sana.
"Laila tidak ada di sini," ucap Ibu mertua mengikutiku.
"Tidak mungkin. Lalu di mana dia?"
Aku mulai tak tahan lagi. Tidak mungkin Laila diculik.
"Ya, mana saya tahu. Makanya jadi ibu itu becus sedikit kenapa?"
Wanita bertubuh gemuk itu justru memengomel.
"Mana mas Judid, Bu?"
tanyaku mengatur intonasi suara.
"Dia tidak tinggal di sini lagi."
"Tidak mungkin. Pasti, Ibu berbohong."
Ibu mertua melengos, dia justru malah duduk di sofa. Menontonku yang mulai putus asa. Aku benar-benar tak kuat lagi menopang tubuh ini. Aku terduduk di lantai keramik. Rian menghampiriku.
"Sudahlah, Mbak. Kita pasti akan menemukan, Laila. Jika tidak ketemu hari ini. Saya akan bantu melaporkan ke polisi."
Aku menatap ibu mertua. Wajahnya menjadi berubah ketika Rian menyebut polisi. Aku jadi curiga, kalau dia tahu Laila di mana.
Aku berdiri, hendak berlalu dari rumah itu. Namun, sebelum aku keluar dari pintu aku melihat Laila di perkarangan. Dia berlari ke arahku. Dia menenteng kresek hitam.
"Laila."
Kupeluk erat tubuhnya. Aku merasa lega setelah bertemu Laila baik-baik saja.
"Ibu akhirnya datang juga. Kata ayah, ibu pasti jemput. Ternyata ayah tidak bohong."
"Ayah? kamu ke sini karena dijemput ayah?"
"Iya, Bu. Kata ayah, Ibu sudah memberi izin."
Jiwaku rasanya meradang mendengar penjelasan dari Laila. Bisa-bisanya dia membawa Laila tanpa memberi tahuku.
"Sekarang di mana ayahmu?" tanyaku tak sabar untuk melabrak laki-laki tak berguna itu.
"Tadi ayah di kamarnya, Bu. Ini Laila di suruh ke warung beli cemilan."
Entah apa maksud dari laki-laki itu. Aku harus segera meminta penjelasan darinya. Aku beranjak hendak menemui mas Judid. Rasanya kakiku yang sakit ini sudah benar-benar sembuh untuk menendang kejantanannya itu. Dia pikir, dia siapa?
Dia memang ayah Laila, akan tetapi, dia sudah membuang Laila juga ketika aku ditalak dan diceraikan.
"Hei, Rahma. Tunggu, mau ngapain kamu? Judid sedang bersama istrinya. "
Ibu mertua berteriak. Aku tidak memperdulikannya lagi. Rian mengejarku, dan menghentikan langkahku. Kedua tangannya hinggap di bahuku.
"Tenanglah, Mbak. Jangan seperti ini. Yang penting kita sudah bertemu Laila."
Rian menatapku lembut. Tatapannya itu seolah memintaku untuk tidak melakukan semua ini. Kali ini aku mengalah. Namun, sekali lagi ini terjadi aku tidak akan menahan diri.
Kutinggalkan rumah besar itu dengan kemarahan yang masih belum bisa kuredam. Jika tidak ada Rian mungkin aku sudah berbuat khilaf.
Ibu mertua menatap kepergian kami dengan mata jahatnya. Aku menoleh ke belakang untuk melihat ekspresi jeleknya itu.
Bersambung ....
