#Chapter 3
Donna menanggapi dengan bisikan, “Sama aku juga… waktu cium pipi kamu di depan pintu kamar mandi, rasanya seperti nyium pipi pacar… hihihi…”
“Ogitu ya?”
“Kamu pernah dengar cerita tentang anak kembar yang berbeda jenis kelaminnya, lalu dipisahkan waktu kecil dan dijodohkan setelah mereka dewasa?”
“Ohya?”
“Iya. Pokoknya tradisi itu pernah ada di salah satu daerah di negara kita. Mereka menganggap kalau anak kembar itu berbeda jenis kelaminnya, berarti jodoh mereka sudah dibawa dari perut ibunya. Karena itu pada waktu masih kecil mereka dipisahkan, setelah dewasa dinikahkan.”
“Oh, begitu ya? Aku malah baru dengar kalau di negara kita pernah ada tradisi seperti itu.”
Tiba – tiba Donna membisiki telingaku, “Kalau kita dijodohkan, kamu mau?”
Aku menatap wajah saudara kembarku di keremangan malam. Tapi sebelum sempat kujawab, taksi sudah berhenti di parkiran sebuah mall yang ada gedung bioskopnya.
Aku yang baru menginjak kota ini masih kebingungan. Karena itu kuberikan uang secukupnya kepada Donna untuk membeli tiket bioskop.
Tak lama kemudian, Donna kembali lagi dengan wajah masam. “Kehabisan tiket. Cuma bisa yang midnight. Gak apa – apa?”
“Berarti masih lama dong menunggunya.”
“Sekarang baru jam delapan. Berarti tiga jam setengah lagi baru bisa nonton,” sahut Donna.
“Ya udah, beli aja tiketnya. Sambil menunggu, kita kan bisa ngobrol di café atau resto.”
Donna kembali lagi ke loket penjualan tiket. Beberapa saat kemudian dia sudah menghampiriku lagi.
“Dapet?”
“Dapet tapi maksa dulu. Karena seharusnya untuk yang midnight dijual sejam sebelum film diputar.”
Lalu kami menuju sebuah resto di dalam kompleks mall itu, yang kata Donna enak – enak masakannya.
Di dalam resto itu kami memilih bagian sudut yang terlihat sepi, agar bisa ngobrol leluasa. Walau pun begitu, kami bicara perlahan – lahan, agar tidak terdengar oleh orang lain.
Aku dan Donna duduk berdampingan. Donna duduk di samping kiriku, sehingga ia bisa memegang tangan kiriku sambil berkata perlahan, “Tadi pertanyaan di dalam mobil belum kamu jawab.”
“Pertanyaan tentang apa?” tanyaku pura – pura lupa. Padahal aku sedang memikirkan jawabannya.
“Kalau kita dijodohkan, kamu mau?”
“Kenapa tidak? Kamu cantik dan seksi, Donna.”
Donna menghela nafas. Lalu membisiki telingaku, “Sayangnya aku tidak perawan lagi Donny.”
“Baguslah. Jadi kita bisa ML tanpa harus memikirkan perkawinan aneh itu.”
“Gila… !” Donna menepuk punggung tangan kiriku.
“Soalnya kalau ketahuan oleh penghulu bahwa kita ini saudara kembar, belum tentu penghulu mau menikahkan kita.”
Tiba – tiba Donna mengalihkan topik pembicaraan, “Tadi kamu memilih untuk tidur bersama Bunda. Kenapa gak milih tidur sama aku saudara kembarmu ini?”
“Soalnya sejak kecil sampai dewasa, aku selalu tidur bersama ibu angkat ku di Bangkok. Makanya aku ingin merasakan tidur dalam pelukan ibu kandungku sekarang.”
“Tapi Bunda itu peminum lho.”
“Haaa? Maksudmu minum minuman beralkohol?”
“Iya, “Donna mengangguk, “Sejak Ayah meninggal, Bunda jadi peminum alkohol. Duit dari Kak Siska dan Kak Nenden habis dibelikan minuman mulu.”
“Pantesan tadi di dalam kamarnya banyak botol minuman. Kenapa kamu gak berusaha menyadarkan Bunda?“
“Wah, udah sering nyadarin Bunda. Tapi kata – kataku gak pernah digubris. Barangkali nanti kamu bisa ngasih saran sedikit – sedikit setelah dekat dengan Bunda. Soalnya alkohol itu kan berbahaya bagi Bunda sendiri.”
“Iya… nanti aku akan berusaha menyadarkannya. Tapi biasanya seorang alcoholic itu sulit disadarkan. Mungkin harus sering dibawa ke tempat yang tidak ada penjual minuman keras…”
Makanan yang kami pesan sudah dihidangkan. Lalu kami makan bersama.
“Kamu kok bisa kehilangan virginitasmu, sama siapa?” tanyaku perlahan.
“Sama pacar brengsek. Setelah mendapatkan semuanya, dia menghilang entah ke mana. Kamu sendiri di Bangkok gimana? Punya pacar?”
“Males nyari cewek di Bangkok. Hampir separoh nya cewek di sana hasil transgender. Jadi kalau kurang cermat malah bisa dapetin cowok yang sudah ganti kelamin. Hihihihi…”
“Tapi kamu tentu udah punya pengalaman sama cewek kan?”
“Pengalaman apa?”
Donna menjawabnya dengan bisikan di telingaku, “Pengalaman bersetubuh dengan perempuan.”
“Pernah, tapi belum sering.”
“Sama orang sana?”
“Bukan, “aku menggeleng, “sama turis dari Indonesia.”
“Cantik?”
“Hmmm… cantikan kamu. Mudaan kamu juga.”
“Oh ya?!”
“Punya suami. Tapi waktu tour ke sana gak sama lakinya.”
“Owh… ceritanya main sama binor.”
“Apa itu binor?”
“Bini orang.”
“Hihihiiii… iya… “aku hampir tersedak, karena ketawa waktu makan.
Namun diam – diam aku teringat kembali segala yang pernah terjadi di Bangkok. Sesuatu yang takkan pernah kulupakan di seumur hidupku. Cerita tentang turis barusan sebenarnya cuma bullshit. Sebenarnya pengalamanku dengan perempuan bukan dengan turis.
Ya… aku masih ingat semuanya itu. Bahwa aku sejak kecil sampai besar aku sangat dimanjakan oleh Pak Margono dan istrinya, yang saat itu kusangka orang tua kandungku. Dan sejak ingat aku memanggil mereka Papa dan Mama. Sejak ingat pula aku selalu tidur bersama mereka. Terutama dengan Mama, karena Papa sering berada di Singapore, untuk mengurus perusahaannya yang ada di sana.
Mama bahkan selalu memandikanku sejak aku mulai ingat semuanya sampai sekarang. Setelah aku berusia 15 tahun, barulah aku mandi sendiri, tidak dimandikan oleh Mama lagi. Tapi kalau tidur selalu dengan Mama. Kalau Papa sedang berada di Bangkok, barulah aku tidur di kamarku sendiri.
Aku sangat dimanjakan oleh Papa dan Mama. Apa pun permintaanku pasti dikabulkan. Mungkin itulah yang menyebabkan ku lambat dewasa.
Buktinya, pada saat usiaku sudah 18 tahun, ketika kampusku sedang liburan dan ketika Papa sedang berada di Singapore, aku masih minta dimandikan oleh Mama.
“Mama… pengen dimandiin sama Mama,” ucapku dengan nada manja.
“Kok tumben, udah tiga tahun bisa mandi sendiri, sekarang kok tiba – tiba mau dimandiin sama mama?” tanya Mama sambil tersenyum.
“Kangen aja sama kasih sayang Mama waktu mandiin aku. “ “Ya udah. Kebetulan mama juga belum mandi sore.”
Lalu aku dan Mama masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam bedroom Mama.
Sebenarnya kamar Papa dan kamar Mama itu terpisah. Karena kamar Papa ada ruang kerjanya, sementara kamar mama ada ruang rias dan lemari pakaian yang berderet di dinding. Kamar mandi Papa pun terpisah dengan kamar mandi Mama. Maklum kalau wanita suka berlama – lama di kamar mandi, jadi di kamar Papa pun disediakan kamar mandi sendiri.
