#Chapter 2
Walau pun begitu, aku tidak mau bersikap canggung. Lalu kubongkar isi kotak besar berisi oleh – oleh itu. “Ini oleh – oleh dari Bangkok buat Bunda dan saudara – saudaraku semua. Nanti Bunda aja yang mengatur untuk siapa – siapanya.”
“Waaaah… ini barang – barang mahal semua Don. Saudara – saudaramu pasti pada senang melihat dan memiliki hiasan dinding yang beraneka ragam ini. Pada umumnya berbentuk gajah ya?”
“Iya. Kan lambang kerajaan Thailand itu gajah putih Bun.”
Tiba – tiba terdengar suara cewek di ambang pintu depan, “Ada tamu dari mana Bunda?”
“Donna! Lihat ini siapa?” sahut Bunda sambil menggandeng pinggangku.
“Siapa Bun?” tanya cewek berparas cantik dan berperawakan tinggi langsing itu sambil memandangku.
“Nah… selama ini bunda merahasiakan hal ini. Sebenarnya kamu punya saudara kembar bernama Donny ini, Sayang.”
“Haaa?! Saudara kembar? Serius Bun?” cewek yang katanya saudara kembarku itu menatapku dengan sorot heran.
“Sangat serius,” sahut Bunda, “Kalau Siska dan Nenden sudah tau rahasia ini. Tapi kamu baru sekarang bunda kasihtau, Donna. Ayo peluk saudara kembarmu ini.”
Donna menghampiriku dengan sikap canggung. Lalu memeluk pinggangku. Sementara aku pun memegang sepasang bahunya, untuk mencium pipi kanan dan pipi kirinya. Juga dengan sikap canggung.
Kemudian Bunda menjelaskan riwayatku yang sejak kecil diadopsi oleh sahabat ayahku yaitu lelaki yang kupanggil Papa dan istrinya yang tadinya kukira ibu kandungku itu. Bunda juga bercerita bahwa keadaan Pak Margono tidak seperti ayah kami. Pak Margono itu seorang pengusaha kaya raya dan berdomisili di Bangkok.
Donna mendengarkan penuturan Bunda dengan sikap serius.
Setelah Bunda selesai menuturkan riwayatku, Donna menggenggam tanganku sambil ketawa – ketiwi, “Hihihihhiiiii… asyiiiik… ternyata aku punya saudara kembar yang tampan dan imut – imut ini…! Berarti kapan – kapan aku bisa diajak ke Bangkok dong, “Donna mengguncang – guncang tanganku.
Aku cuma mengangguk sambil tersenyum. Kemudian kutepuk bahu Donna sambil berkata, “Sekarang pilih dulu tuh oleh – oleh dari Bangkok. Mana yang kamu suka, ambillah. Tapi sisakan buat Kak Siska dan Kak Nenden.”
“Haaa?! Ada oleh – oleh dari Bangkok? Hihihihiii… !” Dona melompat ke arah kotak besar berisi oleh – oleh dari Bangkok itu.
“Oleh – olehnya gak ada parfum?” tanya Bunda.
“Ada Bunda,” sahutku, “Itu yang dikotak kecil ada beberapa botol parfum dari Eropa,” sahutku sambil menunjuk ke kotak kecil yang diletakkan di atas meja kecil dekat kotak besar itu. Kotak berisi 10 botol parfum yang beraneka merk, tapi semuanya buatan Eropa.
Donna mengambil patung gajah yang terbuat dari perak, mengambil kalung emas dengan liontin berbentuk gajah juga dan sebotol parfum.
“Cuma itu? Kan masih banyak yang lain,” kataku sambil menghampiri Donna yang baru mengambil sebotol parfum pilihannya.
“Nanti aja setelah saudara – saudara punya pilihan masing – masing, aku sih sisanya aja. Yang penting nanti traktir aku nonton bioskop ya.”
“Boleh. Aku memang ingin mengenal jalan – jalan di kota ini. Soalnya sejak bayi sampai sekarang, aku baru sekarang menginjak kota ini. Tapi aku harus mandi dulu. Keringat Bangkok masih melekat di badanku.”
“Emangnya Bangkok itu panas udaranya?”
“Sangat. Jauh lebih panas dari kota ini.”
“Ya udah… kamu mandi duluan gih. Setelah kamu mandi, aku giliran berikutnya.”
“Giliran? Kamar mandinya cuma satu?” tanyaku setengah berbisik.
“Iya, “Donna mengangguk, “Mudah – mudahan Boss dari Bangkok mau merenovasi rumah yang sudah sangat ketinggalan zaman ini.
Lalu aku menghampiri Bunda. “Bun… kamarku di mana nih?” tanyaku.
Bunda menyahut, “Kamar tidur di rumah ini hanya ada dua. Kamu pilih aja sendiri, mau tidur sama bunda apa sama Donna?”
“Di kamar Bunda aja ya. Aku kan sejak kecil sampai dewasa belum pernah merasakan tidur dalam pelukan ibu kandungku.”
“Iya. Bawalah kopermu ke kamar bunda, yang itu tuh kamarnya,” sahut Bunda sambil menunjuk ke pintu kamar yang tertutup.
Setelah berada di dalam kamar Bunda, aku mengernyitkan keningku. Karena kulihat ada lemari kaca yang isinya botol – botol minuman keras yang isinya sudah kosong semua.
Apakah Bunda sengaja mengumpulkan botol – botol itu untuk koleksi ataukah Bunda seorang peminum? Atau mungkinkah almarhum ayahku yang peminum dan botol – botolnya dikumpulkan oleh Bunda sebagai koleksi pribadinya? Entahlah. Mendingan aku mandi dulu, karena sebentar lagi mau diajak Donna nonton bioskop.
Ternyata kamar mandi pun hanya satu – satunya, terletak di bagian paling belakang rumah ini. Kamar mandi yang sangat ketinggalan zaman. Dengan bak mandi dan gayung plastik. Mungkin di zaman kolonial Belanda kamar mandi seperti ini sudah termasuk “maju”. Tapi untuk abad milenial ini… aaaah… kasian Bunda dan saudara kembarku.
Lalu diam – diam ada tekad di dalam hatiku, untuk merenovasi rumah ini sampai benar – benar layak dan tidak ketinggalan zaman.
Kemudian aku mandi sebersih mungkin.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, ternyata Donna sudah menungguku di luar.
Ketika berpapasan denganku, Donna berkata, “Senang aku punya saudara kembar tampan gini, “disusul dengan kecupannya di pipiku.
“Aku juga senang punya saudara kembar cantik gini,” sahutku sambil balas mengecup pipinya juga.
Kemudian Donna masuk ke dalam kamar mandi, sementara aku balik ke kamar Bunda.
Ketika aku sedang berdandan, terdengar suara Bunda di ambang pintu, “Mau nonton bioskop sama Donna?”
“Iya,” sahutku, “Bunda mau ikut?”
“Nggak ah. Bunda sih cukup dengan nonton tivi aja hiburannya.”
“Oh ya Bun… bagaimana kalau rumah ini direnovasi?”
“Kamu mau nyediain biayanya?”
“Iya. Soal biayanya biar aku sendiri yang menanggungnya.”
“Kalau ada duitnya sih mendingan beli tanah kosong di sebelah itu. Kebetulan pemiliknya meninggal, lalu mau dijual murah oleh anaknya.”
“Memang sih mendingan bangun rumah baru. Di sini harga tanah murah Bun?”
“Ya nggak semahal di pusat kota lah. Di sini kan sudah dekat ke batas kota.”
“Bunda sudah tau harga dan luas tanah di sebelah itu?”
“Lumayan luas. Lima ribu meter. Setengah hektar lah. Soal harganya besok bunda mau tanyain ke orangnya.”
“Iya,” sahutku singkat, karena mendengar langkah Donna mendekati pintu kamar Bunda ini.
“Donny… udah siap?” tanya Donna di ambang pintu.
“Udah,” sahutku, lalu menghampiri Bunda, “Aku mau pergi dulu Bun,” kataku yang lalu mencium tangan Bunda disusul dengan cipika – cipiki dengan beliau. Seperti yang biasa kulakukan kepada Mama almarhumah di Bangkok dahulu.
“Pulangnya beliin oleh – oleh ya,” kata Bunda di ambang pintu depan.
“Mau dibeliin apa?” tanya Donna.
“Apa aja. Pizza boleh, martabak manis juga boleh,” sahut Bunda.
Lalu aku dan Donna melangkah ke pinggir jalan. Kebetulan ada taksi mau lewat, dicegat oleh Donna. Kami pun masuk ke dalam taksi itu. Duduk berdampingan di seat belakang.
Donna menyebut tujuan kami kepada sopir taksi. Maka taksi itu pun mulai meluncur di kegelapan malam.
“Bagaimana perasaanmu setelah berjumpa dengan Bunda dan aku?” tanya Donna sambil menyandarkan kepalanya di bahuku dan memegang tangan kiriku yang tersimpan di atas lutut.
“Aku masih canggung, karena tidak menyangka kalau ibu kandungku itu Bunda. Tadinya kukira diriku ini anak tunggal Bapak dan Ibu Margono di Bangkok,” sahutku.
“Aku juga kaget, karena baru tau tadi, bahwa aku punya saudara kembar, cowok pula.”
“Iya Donna. Semoga kita bisa rukun sampai tua ya.”
“Iya. Umurku dan umurmu berarti sama – sama dua puluh tahun ya?”
“Iya… hehehee… namanya juga anak kembar, pasti dilahirkan di hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama.”
“Terus… kamu sudah bisa adaptasi dengan suasana baru ini? Bahwa Bunda itu ibu kandungmu dan aku ini saudara kembarmu?”
“Masih agak sulit adaptasinya. Waktu cium pipi Mama tadi aja terasa rikuh. Seolah – olah bukan mencium pipi ibu kandungku sendiri.”
