Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 1

Wafatnya Papa menyusul Mama yang sudah meninggal setahun sebelumnya, membuatku jadi sebatangkara di Bangkok ini.

Meski aku sangat sedih, tapi aku berusaha untuk bersikap tenang. Karena aku ini seorang lelaki, yang pantang mengobral air mata dalam keadaan bagaimana pun.

Dan yang sangat mengejutkan adalah keterangan Mr. Liauw, notaris kepercayaan Papa. Mr. Liauw lahir dan besar di Indonesia. Karena itu beliau fasih berbahasa Indonesia ketika memberikan surat wasiat dari Papa almarhum.

Donny anakku tersayang.

Surat wasiat ini sengaja papa titipkan pada Mr. Liauw, untuk diserahkan padamu seandainya papa sudah meninggalkan dunia ini.

Ada 2 (dua) perkara penting yang harus kamu ketahui, anakku.

1. Bahwa kamu sebenarnya bukan anak papa dan mama. Kami mengadopsimu pada waktu umurmu baru 6 (enam) bulan dari Indonesia, ketika kami sedang berada di Indonesia.

Papa dan mama memang asli orang Indonesia. Itulah sebabnya dalam keseharian kami membiasakan berbicara bahasa Indonesia, supaya tidak lupa kepada tanah air kita.

Di Indonesia, papa punya sahabat karib bernama Rosadi. Alamat lengkapnya ada di Mr. Liauw. Jadi nanti, setelah papa tiada, kamu boleh mendatangi kedua orang tua kandungmu, kalau mereka masih hidup.

Kamu boleh menetap di Indonesia atau pun di Bangkok. Itu semua terserah padamu. Karena kamu sudah mulai dewasa, sehingga tentu saja kamu bisa memilih sendiri mana yang terbaik bagi dirimu dan masa depanmu.

2. Meski pun kamu bukan anak kandung papa dan mama, kami menyayangi dirimu seperti anak kandung kami sendiri. Tentu kamu pun bisa merasakannya selama ini, betapa besarnya rasa kasih sayang kami kepadamu, Nak.

Sebagai tanda sayangnya papa padamu, segala harta benda milik papa, akan menjadi milikmu. Termasuk perusahaan papa di Bangkok dan di Singapore, juga simpanan papa di bank, semuanya papa wariskan padamu, anakku.

Mintalah bantuan Mr. Liauw untuk mengurus semuanya nanti.

Semoga kamu jadi orang sukses, ya anakku.

Semua itu membuatku bingung sendiri. Soalnya sejak masih bayi aku dirawat oleh Papa dan Mama yang begitu sayangnya padaku. Lalu seperti apa orang tua kandungku di Indonesia? Orang tua yang belum pernah kuingat wajahnya itu?

Berdasarkan surat wasiat dari Papa almarhum (yang ternyata ayah angkatku), aku pun terbang ke Indonesia yang sejak ingat belum pernah kuinjak itu.

Setibanya di Jakarta, kusewa taksi untuk mengantarkanku ke alamat yang diberikan oleh Mr. Liauw, di sebuah kota di Jawa Barat.

Ternyata tidak sulit menemukan alamat rumah orang tua kandungku itu. Tanpa bertanya kepada siapa – siapa, sopir taksi berhasil mencapai alamat rumah yang diberikan oleh Mr. Liauw itu. Sebuah rumah sederhana, tapi letaknya di pinggir jalan besar.

Dengan jantung berdebar – debar aku turun dari taksi, lalu melangkah ke pintu depan rumah itu. Sementara sopir taksi kusuruh menunggu dulu, siapa tahu aku salah alamat atau orang tuaku sudah pindah ke rumah lain.

Setelah aku mengetuk pintu depan rumah itu, seorang wanita 40 tahunan membuka pintu itu. Spontan aku bertanya kepada wanita yang belum kukenal itu. “Apakah ini rumah Pak Rosadi?”

“Betul, “wanita setengah baya yang masih tampak cantik itu mengangguk, “Adek siapa ya?”

“Aku Donny yang diadopsi oleh Pak Margono dari Bangkok. Tapi menurut surat wasiat almarhum Pak Margono, aku ini anak kandung Bapak dan Ibu Rosadi, yang alamatnya kudapatkan dari notaris di Bangkok,” sahutku dengan hati bertanya – tanya, siapa wanita cantik ini?

Tiba – tiba wanita itu memelukku sambil memekik, “Ya Tuhaaaaan! Ini Donny? Aku ini ibumu, Dooon… !”

Wanita yang mengaku sebagai ibuku itu menangis terisak – isak sambil memelukku di ambang pintu depan, kemudian membawaku masuk ke dalam rumah sederhana itu.

Sebelum masuk ke dalam rumah itu, aku masih sempat menggapaikan tanganku pada sopir taksi yang menunggu di mobilnya. Sopir itu pun bergegas menghampiriku.

“Tolong angkut semua barangku yang di bagasi dan di jok belakang Pak,” ucapku.

“Siap Boss,” sahut sopir taksi yang lalu balik lagi ke mobilnya untuk mengerjakan perintahku.

Sementara aku diajak duduk berdampingan dengan wanita yang mengaku sebagai ibu kandungku itu. Dengan sikap canggung aku bertanya, “Aku harus manggil apa sama Ibu?”

“Saudara -saudaramu memanggil bunda semua. Jadi kamu juga manggil Bunda aja.”

“Iya Bunda. Eh… ayah dan saudara – saudaraku semua pada ke mana? Kok rumah ini terasa sepi sekali?”

“Ayah sudah meninggal enam bulan yang lalu. Kakakmu ada tiga termasuk saudara kembarmu. Yang paling gede bernama Siska, yang nomor dua bernama Nenden dan saudara kembarmu bernama Donna.”

“Haaa?! Aku punya saudara kembar?”

“Iya. Saudara kembarmu itu Donna namanya.”

Sopir taksi meletakkan barang – barangku di ruang depan. Setelah mendapatkan bayaran dariku, dia pun berlalu.

“Terus pada ke mana saudara – saudaraku sekarang?” tanyaku.

“Siska dan Nenden sudah pada punya suami. Jadi mereka tinggal di rumahnya masing – masing. Kalau Donna sedang bekerja,” sahut Bunda.

“Donna bekerja sebagai apa?”

“Cuma jadi pelayan toko pakaian.”

“Besar gajinya Bun?” tanyaku. Entah kenapa aku tiba-tiba saja merasa perlu memikirkan nasib saudara kembarku yang aku belum tahu seperti apa bentuknya itu.

“Ah… namanya juga pelayan. Gajinya hanya sesuai dengan UMR saja. Oh ya… bagaimana kabar Bapak dan Ibu Margono? Sehat – sehat aja?”

“Dua – duanya sudah meninggal. Mama meninggal setahun yang lalu, Papa meninggal belum lama ini. Aku juga bisa ke sini setelah masa berkabung sudah lewat.”

“Innalillahi… gak nyangka mereka bakal pendek umur ya. Tapi mereka menyayangimu kan?”

“Sangat menyayangiku Bunda. Bahkan semua harta peninggalan Papa, seratus persen diwariskan padaku.”

“Syukurlah. Kalau begitu kamu harus pandai – pandai mengatur harta warisan itu. Jangan dihambur – hamburkan gak keruan.”

“Aku takkan mengganggu harta warisan itu. Bahkan ingin mengembangkan perusahaan peninggalan Papa itu. Oh ya, bagaimana ceritanya sehingga aku bisa jadi anak angkat mendiang Papa dan Mama?”

“Pak Margono itu teman karib ayahmu Don. Tapi dia termasuk paling sukses di antara ayahmu dan teman – teman lainnya. Sejak masih muda sekali Pak Margono sudah tinggal di Bangkok. Kabarnya dia punya perusahaan di Thailand. Nah… pada saat bunda baru melahirkan mu dan Donna, kebetulan Pak Margono dan istrinya sedang berlibur di kota ini.

“Terus?”

“Bunda minta agar menunggu dulu sampai kamu berusia enam bulan, supaya aman dibawa naik pesawat terbang. Ya begitulah… setelah kamu genap berumur enam bulan, Pak Margono dan istrinya datang lagi. Untuk membawamu ke Bangkok.”

“Tapi Ayah atau Bunda sama sekali tak pernah menengokku ke Bangkok. Apakah Bunda sudah melupakanku sebagai anak kandung Bunda?”

“Bukan begitu Don. Ayah dan Bunda hanya ingin menjaga perasaan Pak Margono dan istrinya. Lagian mereka berjanji untuk menyayangimu seperti anak kandung mereka sendiri. Tapi Bunda yakin, pada suatu saat kamu akan mengetahui rahasia silsilah mu. Dan akan berjumpa lagi dengan bunda. Terbukti sekarang kamu datang juga kan?

Bunda lalu memelukku erat – erat. Mencium pipi kanan dan pipi kiriku, seperti biasanya seorang ibu kepada anaknya.

Tapi entah kenapa, perasaanku masih mengambang. Mungkin juga batinku masih kaget, karena tiba – tiba saja aku berhadapan dengan wanita yang cantik itu sebagai ibu kandungku. Perasaanku yang masih floating inilah yang menyebabkan ku masih jengah ketika Bunda mencium pipi kanan dan pipi kiriku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel