Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Daun Kelor

Nita masih ingat jelas kalau Aden memakai seragam pabrik sebelah pabrik tempatnya bekerja. Meski menolak untuk percaya kalau Aden bekerja di sana, Nita tak bisa berkutik. Semakin otaknya berontak kalau itu Aden dan dia bekerja di sana, semakin Nita mendengar gumaman hatinya sendiri kalau Nita tak salah lihat. Laki-laki itu muncul di sana tanpa permisi atau sekedar aba-aba. Membuat Nita sukses terkejut padahal itu bukan ulang tahunnya. Nita menjerit histeris dalam hati. Bukan bahagia tapi panik luar biasa. Usaha untuk pergi menjauh malah berakhir dengan menemukan keberadaan Aden. Tragedi pernikahan yang memilukan itu kembali terngiang tiba-tiba. Namun sekuat tenaga Nita berusaha untuk tidak mengingatnya. Tak mau terus memikirkan kejadian tadi, terutama wajah Aden yang kian glowing, Nita pun memilih untuk menelpon ayahnya untuk mengalihkan suasana tanpa berniat memberitahu jika dia melihat Aden hari ini.

"Tarik napas.... hempaskan." Ucap Nita mengatur napasnya agar perasaannya membaik.

Berkali-kali Nita melakukan hal serupa sebelum berangkat kerja. Pagi ini dia harus benar-benar mempersiapkan segala kemungkinan meski sama sekali Nita tak menginginkan hal itu. Setidaknya perbandingannya dua banding sepuluh. Sebab karyawan di sana juga banyak dan tempat itu merupakan komplek industri. Sehingga sangat kecil kesempatan mereka untuk bertemu. Setelah mantap dan memastikan kesiapannya, Nita pun keluar dari kontrakan. Tak lupa, dia berdoa panjang lebar sebelum kaki kanannya keluar pintu.

"Hempaskan dia. Hempas!" Ucap Nita memberi dirinya sugesti dan tak berapa lama kemudian dia mengunci pintu dan berangkat.

Ojek yang Nita tumpangi akhirnya berhenti tepat di depan gerbang pabrik. Tak mau memberi celah Aden bisa melihatnya, dengan curi-curi pandang ke pabrik sebelah, Nita melangkah memasuki gerbang. Dia terus berjalan sambil memastikan kalau Aden tak ada. Saking khusyuk-nya mengintai, Nita yang berjalan lurus tanpa menatap langkah di depannya langsung saja menabrak seseorang. Reflek Nita meringis dan memarahi orang itu.

"Kalau berdiri jangan di tengah jalan, dong!" Kesal Nita yang mulai menangkap sosok yang dia tabrak.

Dari ujung kaki sampai dada, Nita masih bisa kesal bahkan masih sempat meringis menahan sakit yang tak seberapa di dahinya. Namun setelah melihat wajah orang itu, Nita luar biasa kaget. Mulutnya yang sempat ternganga, langsung mengatupkan diri seketika. Dia pun menundukkan wajahnya berpikir keras.

"Aden?!"

Sekali lagi, Nita mendongak untuk memastikan dan ternyata benar kalau orang yang dia tabrak adalah Aden. Wajah kagetnya pun perlahan berubah kecut. Keringat dingin bahkan membasahi telapak tangannya. Jangankan untuk pergi dari sana secepatnya, menggerakkan jempol kakinya saja, Nita tak kuasa.

"Ini benar Nita kan?" Tanya Aden memastikan kalau perempuan di depannya benar-benar Nita.

Tak segan, bahkan Aden berusaha melihat wajah Nita yang sekuat tenaga berusaha Nita palingkan agar Aden tak bisa melihatnya.

"Bukan!" Tukas Nita yang masih menghindari tatapan Aden.

Setelah yakin kalau itu Nita, Aden terlihat syok. Dia terdiam sesaat dan terlihat bingung. Namun itu tak berlangsung lama saat bel pabrik Nita berbunyi dan gadis itu memiliki kekuatan untuk kabur secara tiba-tiba.

Napas Nita tersengal tidak karuan. Sesampainya di dalam, dia bahkan langsung menghabiskan satu botol air tanpa jeda. Perasaannya benar-benar kacau tadi. Rasa syok dan kaget sukses membuat Nita ketakutan seperti habis bertemu begal. Hari yang dia hindari malah datang secepat kilat. Lagipula, baru kemarin dia melihat Aden. Kenapa hari ini laki-laki itu malah menemuinya?

"Kemarin dia nggak lihat gue kan? Kenapa dia bisa tahu, gue kerja di sini?" Tanya Nita bingung karena seingatnya dia melihat Aden tanpa Aden sadar keberadaannya.

Setelah kejadian pagi tadi, Nita sama sekali tak berniat untuk keluar saat jam makan siang. Dia sengaja melakukannya agar tak bertemu dengan Aden yang sudah jelas sedang menunggunya. Terlihat dari pintu saat Nita diam-diam mengintip laki-laki yang sibuk bermain ponsel di depan gerbang pabriknya. Bahkan Nita juga meminta tolong temannya untuk membelikan makan siang. Karena perutnya memang lapar, dia tentu tak bisa menunda hak cacing-cacing yang terbiasa makan tepat waktu hanya demi keberadaan Aden.

"Nita!" Panggil Aden saat Nita baru saja keluar dari pabrik.

"Ngapain lo di situ, Bambang?!" Gumam Nita dalam hati kesal.

Karena tak mau berurusan dengan Aden, Nita yang melihat salah seorang temannya lewat, segera menghentikannya. Dengan memaksa, Nita meminta temannya itu untuk memberi boncengan padahal jalan pulang mereka berlawanan.

"Tapi Nit..."

"Lima Puluh Ribu!"

"Serius?"

"Buruan!"

Tanpa basa-basi, teman Nita itu langsung melajukan motornya dengan cepat mengindari Aden. Setelah bebas dari Aden, Nita yang masih was-was memastikan kalau laki-laki itu tidak menguntit dirinya dan syukurlah, Aden tidak mengekornya. Nita bisa bernapas lega akhirnya.

"Memangnya siapa, Nit? Kok takut banget ketemu?" Tanya teman Nita sesampainya mereka di depan kontrakan Nita.

"Orang rada stres, Dit."

"Oh."

"Btw, makasih ya?" Ucap Nita sambil menyerahkan uang dua puluh ribu pada Adit.

Adit membuka uang berwarna hijau itu dan berkerut kening. Seolah protes secara tak langsung karena jelas, warna uang lima puluh ribu dan dua puluh ribu begitu kontras.

"Kamu nggak rabun kan, Nit?"  Tanya Adit berkali-kali memastikan kalau di tangannya adalah uang dua puluh ribu.

"Sisanya utang." Ucap Nita nyengir kuda.

Adit hanya mendengus pasrah. Tak berapa lama kemudian, dia pun pergi dan Nita langsung masuk ke dalam setelah memastikan tak ada Aden yang melihatnya.

Gara-gara Aden, Nita masih terjaga sampai jam dua dini hari. Perasaannya begitu parno pada Aden. Takut jika laki-laki itu tiba-tiba muncul. Padahal jika dipikir-pikir seharusnya Aden-lah yang sewajarnya takut karena dia yang berbuat salah. Tapi justru Nita yang di buat demikian. Nita juga heran kenapa bisa seperti itu, tapi perasaannya begitu campur aduk dan belum siap harus bertemu Aden. Entah itu takut atau semacamnya, Nita seolah trauma pada keberadaan Aden akibat pernikahan mereka yang urung. Nita pun berusaha untuk tidak berlebihan dan menata laju jantungnya yang masih tidak teratur. Hingga pada pukul tiga pagi setelah mendengar adzan pembuka, dia bisa sedikit santai dan bisa tidur setelahnya.

Untunglah, pagi ini Nita bisa mengganti jam tidurnya. Minggu ini juga, Nita tak ada kegiatan sehingga dia bisa tidur sampai siang. Barulah saat perutnya lapar, Nita bangun untuk membeli makanan. Tepat jam sepuluh, saat Nita keluar kontrakan dan melihat beberapa orang tengah membawa barang-barang ke kontrakan sebelah. Nita hanya mengira jika ada orang baru yang akan menempati kontrakan itu tanpa pernah bisa menebak siapa. Karena tak mau kepo, Nita segera pergi ke warung nasi di depan untuk membeli sebungkus nasi rames dan beberapa cemilan.

"Mba, nasi rames satu ya? Bungkus." Ucap Nita setibanya di warung langganan dan duduk menunggu mba Iyah membungkus pesanannya.

"Kita ketemu lagi, Nit?" Suara itu tiba-tiba muncul bersamaan dengan tangkapan mata Nita yang melihat sosoknya tengah makan persis di samping Nita duduk.

Nita terbelalak dan menoleh langsung ke asal suara dimana Aden tengah tersenyum setelah menghabiskan suapan terakhirnya. Tak mau berlama-lama di sana, Nita langsung bangkit dan meminta Iyah untuk mempercepat pesanannya. Setelah selesai, Nita buru-buru pergi karena tak mau Aden membuntutinya.

"Nit, tunggu!" Panggil Aden yang tentu saja mengejar Nita.

Namun Nita tak peduli dan semakin mempercepat langkah kakinya. Dengan abai, Nita berjalan terus meski Aden mengekornya. Sampai kemudian, karena sudah sampai di depan kontrakan, Nita dengan sengit menghentikan kakinya dan putar balik ke arah Aden. Wajahnya sangat kesal karena Aden mengikutinya sampai ke sana dan dengan ketus Nita mengusir Aden yang sudah berhenti lebih dulu.

"Kenapa ngikutin aku! Pergi sana!"  Usir Nita jengkel.

"Jadi itu tempat tinggal kamu?" Tanya Aden memastikan setelah sadar kalau Nita tinggal di sana.

"Bukan!" Ketus Nita menolak dengan nada culas.

Bukannya marah, Aden justru tersenyum dan menghampiri Nita. Dia pun berdiri satu meter dari Nita dan mengulurkan tangan dengan ramahnya.

"Aden, tetangga baru kamu." Ucap Aden seolah-olah memperkenalkan diri.

Tak lupa, Aden menunjuk kontrakan sebelah Nita dimana beberapa orang tengah sibuk memindahkan barang tadi. Nita menoleh dan membulat. Ada banyak belahan tempat di dunia ini juga berjuta-juta pintu kontrakan di ibu kota. Tapi takdir malah mempertemukan mereka lagi di sana. Dunia ini benar-benar selebar daun kelor! Sungguh.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel