Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Di Kira Maling

Hari masih pagi saat Nita selesai menaruh semua baju dan barang-barangnya di lemari yang memang di sediakan di kontrakan itu. Selain lemari, Nita juga tak perlu pusing memikirkan kasur dan kompor gas, karena di sana sudah di sediakan juga. Nita hanya perlu menyapu dan membersihkan sarang laba-laba juga mengelap beberapa tempat yang terlihat lebih kotor. Sehingga saat Lulu datang, hampir semua pekerjaan itu selesai. Nita memang terbiasa melakukannya di rumah.

"Wow! Aku terkejut!" Puji Lulu setelah Nita membuka pintu dan tempat itu sudah bersih rapi juga harum.

"Terus tugas aku ngapain kalau semuanya selesai?"

"Oh iya kebetulan toiletnya masih kotor, boleh kalau mau di bersihkan?"

Lulu mendelik sebal dan Nita malah tersenyum. Keduanya lantas sarapan nasi rames yang Lulu bawa. Hari semakin siang dan nasi rames Lulu tak cukup mengganjal perut Nita. Berdiam diri juga tak akan meredam demo cacing di perutnya yang menuntut hak di beri jatah makan. Sadar kalau dirinya tak bisa selamanya bergantung pada Lulu yang sudah berangkat kerja, Nita pun memberanikan diri untuk keluar mencari warung terdekat. Sekedar membeli roti atau mi instan. Syukur-syukur bisa menemukan warung nasi. Nita terus berjalan sampai dia menemukan sebuah warung yang tak jauh dari kontrakannya. Setelah membeli beberapa bungkus mi instan dan roti serta air mineral, Nita pun kembali.

"Ini apa ini, ya?" Gumam Nita saat sampai di persimpangan gang.

Dia terlihat linglung karena tiba-tiba lupa dengan gang menuju kontrakannya. Tebak-tebak buah manggis, akhirnya Nita memilih gang sebelah kiri yang seingatnya dia keluar dari sana. Sialnya, di gang itu terdapat persimpangan lagi hingga Nita harus kembali memilih. Mondar-mandir Nita berjalan sudah seperti setrikaan, membuat orang yang melihatnya menahan tawa. Karena merasa jalannya hanya berputar saja, Nita pun akhirnya keluar dari gang itu ke gang pertama.

"Bukan kamu, berarti kamu!" Gumam Nita menunjuk gang sebelah kanan yang sempat dia abaikan. Dengan percaya diri, Nita berjalan karena yakin gang itu adalah gang yang mengantarnya ke kontrakan. Sayangnya nasib buruknya terulang lagi. Gang itu seolah mempermainkan Nita seperti sebuah labirin. Nita histeris dan panik dalam hati. Tak berhasil pulang meski hampir setengah jam berlalu. Sampai kemudian, seorang tetangga mengantar Nita ke kontrakannya setelah memberi nama Lulu dan Mei sebagai petunjuk.

"Makasih mas."

"Sama-sama, lain kali di ingat ya mba."

"Iya mas. Sekali lagi, makasih."

Laki-laki itu kemudian pergi dan Nita bisa bernapas lega. Kesal karena baru sampai, Nita memukul pintu kontrakan. Bukannya merasa bersyukur dia masih bisa pulang, Nita malah memarahi kontrakan itu seolah kontrakannya bermain petak umpet dengan dirinya.

"Puas lo, bikin gue muter-muter?!" Gerutu Nita yang kemudian hendak masuk.

Sepertinya kontrakan itu balas dendam pada Nita. Karena tiba-tiba saja, gagang pintu macet tak bisa di buka. Padahal Nita ingat dia tidak menguncinya. Nita pun berusaha membukanya namun tak berhasil.

"Parah lo. Gitu aja ngambek." Gumam Nita lagi menunjuk tidak percaya kalau kontrakannya 'marah' padanya.

Tak habis akal, Nita berusaha mendobrak pintu tapi pintu itu tetap tak terbuka. Sampai lewatlah seorang laki-laki yang melihat Nita tengah kesusahan membuka pintu.

"Yakin ini kontrakan mba?" Tanya laki-laki itu curiga dengan Nita.

"Yakin mas, barang-barang saya juga ada di dalam. Saya habis dari warung beli makanan, nih?" Jawab Nita polos menunjukan kresek berisi mi instan dan roti.

Laki-laki itu ternyata masih mencurigai Nita. Tanpa bermaksud menyinggung, laki-laki itu lantas pamit dengan alasan untuk mengambil alat dan Nita mempersilahkan.

Beberapa menit kemudian, Nita terkejut karena laki-laki yang pamit mengambil alat, justru kembali dengan dua orang laki-laki berpeci.

"Bau-bau RT nih." Batin Nita yang sudah bisa menebak maksud laki-laki itu membawa dua orang yang lain.

"Ini pak, perempuan yang saya maksud." Jelas si laki-laki itu menunjukan Nita pada seorang berpeci yang memakai baju batik.

"Ada apa ya pak?"

"Mba siapa ya? Kok mau masuk kontrakannya pak Denden?"

"Saya yang ngontrak di sini pak."

"Mba ngontrak di sini? Yakin mba? Soalnya saya belum pernah ketemu atau lihat mba, loh?"

"Memang bapak siapa?"

"Yang punya kontrakan."

"Bisa minta KTP-nya mba?"

"KTP saya ada di dalam pak. Makannya saya minta tolong sama bapak ini, buat bukain pintu."

Ketiga laki-laki itu masih belum percaya pada Nita. Justru penjelasan Nita membuat ketiganya melihat Nita seolah Nita hendak mencuri di sana.

"Saya bukan mau ngapa-ngapain pak. Ini benar kontrakan saya. Saya ngontrak di sini karena teman saya, mba Lulu dan mas Mei. Ini kontrakan mereka." Jelas Nita mulai sedikit panik karena ketiganya sudah mencurigai Nita sebagai pencuri.

Untunglah di saat itu, Mei muncul seperti dewa penolong dari balik pintu kontrakannya. Dengan wajah bingung karena sepertinya dia baru saja bangun, Mei melihat keempat orang itu menatapnya secara bersamaan.

"Ada apa, ya?" Heran Mei yang merinding karena tatapan keempatnya sudah seperti hakim yang mendakwa tersangka.

"Oh, jadi begitu. Lain kali lapor dulu ya?" Ucap pak RT menasehati Mei setelah laki-laki itu menjelaskan panjang lebar soal Nita.

Pak Denden selaku pemilik kontrakan juga menasehati penghuninya itu agar lain kali memberitahunya jika kontrakan yang dia sewa ternyata untuk temannya. Meski begitu, urusan akhirnya selesai dengan damai. Ketiga orang itu pun bubar. Sementara Mei yang ingat harus berangkat kerja lantas pamit karena harus mandi dan mempersiapkan diri.

"Puas lo, gue di kira maling?" Gerutu Nita pada pintu kontrakan yang pada akhirnya belum di buka oleh pak Arif yang malah membawa pak Denden dan pak RT tadi.

"Boleh masuk kan, sekarang?" Tanya Nita yang masih berusaha membuka pintu namun masih macet.

Nita pun memelas pada kontrakan itu karena dia benar-benar kelaparan. Sampai akhirnya Mei yang hendak berangkat kerja, melihat Nita yang ada di luar.

"Loh, masih di sini?"

"Pintunya macet."

Mei berkerut kening. Dia pun menghampiri Nita bermaksud membuka pintu.

"Ini bisa?" Tanya Mei yang dengan mudahnya membuka pintu itu tanpa macet sedikitpun.

Nita melongo kaget. Meski Mei sudah pergi setelah pamit, Nita masih belum bisa berhenti tidak percaya.

"Beneran bisa baper ya?" Tanya Nita menutup pintu sambil memastikan gagang pintu itu tidak lagi macet.

Setelah membuat mi instan, Nita pun menyantapnya dengan lahap. Perutnya yang sudah terisi, rupanya masih meraung hingga membuat Nita membuka bungkus roti pertama untuk melengkapi mi instan tadi. Sayangnya itu belum cukup juga karena Nita harus terpaksa membuka bungkus roti yang kedua karena perutnya masih merasa lapar. Barulah setelah gigitan roti kedua berakhir, Nita sadar kalau perutnya sudah tenang dan kenyang. Dia juga tersenyum puas setelah sendawa kecil menggelegar. Sungguh bar-bar sekali untuk ukuran perempuan bertubuh kecil seperti Nita. Menghabiskan semangkuk mi kuah dan dua bungkus roti. Meski makannya banyak, BB Nita tak pernah lebih dari angka empat puluh sembilan. Sebenarnya takut, tapi Nita tenang karena dokter berkata tubuhnya normal dan keadaannya baik-baik saja. Itulah kenapa Nita tak ambil pusing dan menikmati makanan apapun selama perutnya lapar. Sungguh gadis beruntung. Bisa makan banyak tapi tubuh tak melar.

Tak terasa, hari-hari berlalu. Nita mulai menikmati pekerjaan barunya sebagai seorang mandor di sebuah pabrik kain. Dia bahkan terlihat sudah memiliki beberapa teman di sana. Baik laki-laki maupun perempuan. Menjalani kehidupannya yang sekarang, Nita merasa begitu bersyukur karena banyak hal yang membuat dirinya merasa cepat untuk melupakan Aden dan tragedi pernikahan itu. Selain itu, keberadaan Lulu dan Mei juga semakin melengkapi perjalanan Nita. Pasangan pengantin baru itu selalu bisa membuat Nita tertawa dan senang meski tak jarang juga membuat Nita iri karena kemesraan mereka. Namun, Nita tak tak mau ambil pusing dan memilih untuk menikmati hal lain. Yaitu kehidupan barunya dan move on-nya yang masih panjang namun memiliki progres yang menjanjikan.

Belum lama, Nita berbahagia karena kehidupan barunya sudah seperti jalan tol yang lancar jaya. Ternyata hal itu tak berlangsung lama. Hanya bertahan enam bulan terhitung sejak Nita datang ke ibu kota. Itu berarti tepat satu tahun setelah tragedi pernikahan nestapanya. Dia justru kaget saat tanpa sengaja sadar kalau matanya menangkap sosok yang bangkit entah dari mana. Batang hidungnya tiba-tiba muncul di seberang jalan pabrik Nita saat jam pulang berlangsung. Nita sempat tidak percaya dan berkali-kali menyipitkan mata untuk memastikan. Sayangnya harapannya jika itu bukan Aden, ternyata mimpi. Kenyataan mengatakan kalau makhluk berkulit kuning dengan tinggi 182 cm itu memang benar-benar Aden. Itu benar-benar Aden. Si brengsek yang kabur saat mereka hendak menikah!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel