Bab. 5. Berbeda Tapi Cinta
Setelah kelas selesai dan mahasiswa mulai berpencar, Nayara berjalan keluar dari gedung fakultas sambil mengecek ponselnya yang baru saja bergetar. Nama pengirim pesan muncul di layar. Nomor itu baru semalam dia simpan, tapi sudah sangat dia hafal.
Dr. Yoon:
Kalau kamu nggak sibuk, aku tunggu di kafe depan kampus. Sendirian, ya. Ada yang pengin aku omongin langsung. Empat mata.
Degup jantung Nayara bertambah cepat. Dia menatap layar cukup lama, sebelum mengetik balasan singkat.
Nayara:
Oke. Tapi sebentar, aku ke mushola dulu.
Dr. Yoon:
Aku tunggu. Pelan-pelan aja.
Langkahnya menuju tempat wudhu terasa lebih lambat dari biasanya. Pikirannya penuh pertanyaan yang belum punya jawaban. Selesai menunaikan salat dan menenangkan hati, ia berjalan menuju kafe yang terletak di seberang jalan. Tempat itu biasa jadi tempat nongkrong mahasiswa, tapi sore ini agak lengang.
Lewat kaca jendela, dia melihat Yoon duduk di pojok, membuka laptop sambil sesekali menyeruput kopi. Wajahnya terlihat santai, tapi fokus.
Begitu Nayara melangkah masuk, Yoon langsung berdiri kecil dan tersenyum menyambut.
“Aku pesenin air putih, ya?” ucapnya ramah.
Nayara duduk perlahan, menggeleng pelan. “Enggak usah. Langsung aja, Dok. Ada apa?” ujarnya, berusaha tenang.
Yoon menutup laptopnya, lalu bersandar ke kursi. “Aku cuma pengin ngobrol tanpa banyak mata yang ngelirik. Tanpa bisik-bisik atau asumsi dari teman-temanmu,” katanya pelan.
Nayara mengangguk kecil. “Aku tahu... aku denger kok pas kamu ngomong tadi di kelas,” gumamnya.
“Aku nggak pernah mempermainkan perasaan siapa pun,” ujar Yoon tegas. “Kalau aku suka, aku bilang langsung. Dan kamu, Nayara, bikin aku berpikir ulang tentang banyak hal.”
Nayara menatap meja. “Tapi kamu sadar ini nggak sesederhana itu, kan?”
Yoon tersenyum. “Aku sadar. Makanya aku mulai dari langkah pertama. Ngobrol. Dengerin. Kenal kamu lebih dalam.”
“Dalam hal apa?”
“Bukan cuma soal wajah atau cara kamu pakai jilbab. Tapi cara kamu mikir. Cara kamu pegang nilai. Itu yang bikin aku tertarik.”
Mata Nayara menatapnya ragu. Perasaannya masih belum utuh, tapi dia tahu ini bukan candaan.
“Kita beda dunia, Yoon,” ujarnya jujur.
“Justru karena beda, aku pengin belajar. Kamu nggak harus jawab sekarang. Tapi tolong, jangan tutup pintunya dulu,” ucap Yoon lembut.
Nayara menarik napas pelan. “Aku nggak janji apa-apa.”
“Aku juga nggak minta itu. Aku cuma pengin dikasih kesempatan,” katanya kalem.
Sinar matahari mulai meredup di luar sana. Lampu jalan menyala perlahan. Sementara dua orang di pojok kafe masih tenggelam dalam percakapan yang tak biasa.
Pelayan datang membawakan air mineral. Nayara baru saja menyentuh gelas itu saat Yoon mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tas. Warnanya ungu muda, dibungkus rapi.
“Apa ini?” tanyanya pelan, alis terangkat penasaran.
“Buka aja. Anggap aja bentuk permintaan maaf karena bikin kamu mikir semalaman,” ucap Yoon santai.
Dengan gerakan hati-hati, Nayara membuka bungkus kado itu. Matanya langsung membesar.
“Ini... Jungkook?” serunya hampir berteriak.
Yoon tertawa kecil. “Edisi black swan. Kamu pernah bilang itu favorit kamu, kan?”
Nayara terdiam. Jari-jarinya menyentuh action figure itu seperti sedang memegang benda langka. Detailnya sempurna. Pose-nya khas. Tatapannya intens.
“Kamu tahu dari mana aku suka yang ini?” bisiknya.
“Aku nonton ulang semua instastory kamu. Bahkan yang kamu upload jam dua pagi sambil nonton BTS,” ujar Yoon santai.
Pipi Nayara memerah. “Aku nggak nyangka kamu ngelakuin itu…”
Yoon menyilangkan tangan, masih tersenyum. “Aku perhatiin kamu bukan cuma saat kamu berdiri di kelas. Tapi sejak lama.”
Nayara memandangi boneka itu, lalu menatap Yoon. “Kalau kamu terus begini, aku bisa baper,” ujarnya pelan.
“Itu memang tujuannya,” sahut Yoon ringan.
Tawa kecil mengalir. Suasana jadi lebih hangat. Perasaan mulai bergerak pelan-pelan. Hati Nayara pelan luruh. Walau logika terus menolak, perlakuan kecil itu membuat segalanya terasa berbeda.
Langit semakin gelap. Tapi dunia Nayara justru terasa lebih terang.
Matanya masih sibuk menelusuri detail figur idolanya, saat dia tiba-tiba mendongak dan memandang Yoon dengan ekspresi serius.
“Tapi... kamu beneran tiga puluh tahun?” tanyanya polos.
Yoon mengerutkan dahi. “Emangnya kenapa?”
“Wajah kamu kayak anak SMA. Kamu minum air kelapa tujuh lapis atau mandi formalin?” ucapnya spontan.
Yoon langsung tertawa. “Serius, Nay? Mandi formalin?”
“Lihat aja, kulit kamu licin banget. Bahkan aktor Korea aja kalah halus,” imbuh Nayara.
“Salahin genetik dan skincare dari Mamaku,” ucap Yoon sambil tertawa. “Plus meditasi.”
Nayara mengangguk dramatis. “Noted. Jadi, kalau aku pengin awet muda, harus kuliah neuro dan cari cowok blasteran.”
Yoon menatapnya sebentar, lalu berkata pelan. “Kamu nggak usah cari jauh-jauh. Di depan kamu udah ada.”
Nayara mendelik. “Ih... gombal banget!”
“Tapi kamu senyum,” seru Yoon sambil mengedipkan mata.
Nayara pura-pura mengeluh, tapi senyumnya makin lebar. Suasana jadi lebih ringan. Percakapan mereka mengalir, tanpa paksaan. Dari sekadar basa-basi, berubah jadi kedekatan yang tulus.
Sampai tiba-tiba Nayara membuka suara lagi.
“Kamu kan dari Korea Selatan... berarti punya KTP sana?” tanyanya pelan.
Yoon mengangguk. “Masih aktif. Kenapa?”
“Udah wamil belum?” tanyanya makin serius.
Yoon tertawa kecil. “Belum.”
“Lho? Bukannya umur kamu udah lewat batas?”
“Aku sempat ditunda karena riset dan beasiswa. Tapi tetap harus jalan nanti,” katanya.
Nayara menyilangkan tangan. “Jangan-jangan kamu ngumpet di sini biar lolos wamil, ya?”
Yoon tertawa lepas. “Aku ke sini bukan buat kabur. Aku nggak pernah lari dari tanggung jawab.”
“Bagus. Soalnya kalau kamu punya pacar terus tiba-tiba dipanggil jadi tentara, kasihan tuh cewek,” ucap Nayara cepat.
Yoon memandangnya lama. “Kalau ceweknya sabar, dia bakal nunggu. Aku bakal pulang. Bawa oleh-oleh, bawa komitmen.”
Nayara menunduk, pura-pura sibuk melipat tissue. “Siapa juga yang nungguin,” gumamnya.
“Tapi kamu kepikiran, kan?” goda Yoon.
“Enggak!” serunya cepat.
Yoon menyandarkan punggungnya, lalu menatap Nayara dengan ekspresi serius tapi wajahnya susah disembunyikan dari aura usil.
“Nay, kamu tahu nggak bedanya kamu sama hasil CT Scan?”
Nayara mengerutkan kening. “Apaan, sih?”
“Hasil CT Scan cuma bisa kelihatan di layar. Tapi kamu...” ucapnya sambil mencondongkan badan sedikit, “…bisa kelihatan di otakku terus, bahkan tanpa alat bantu.”
Nayara langsung meletakkan gelasnya. “Astaga… kamu tuh dokter atau stand-up comedian?”
“Dua-duanya. Kadang aku nyembuhin pasien, kadang nyembuhin suasana hatimu,” ujar Yoon santai.
Nayara menggeleng cepat. “Nggak masuk akal.”
“Tapi bikin kamu senyum,” timpal Yoon cepat.
“Enggak ah,” Nayara membuang muka.
“Bohong. Barusan ada lekukan tiga milimeter di sudut bibir kiri kamu. Itu reaksi saraf zygomaticus mayor. Gejala orang naksir ringan,” jelas Yoon sambil pura-pura mencatat di udara.
Nayara tertawa. “Itu ilmu kedokteran apa ilmu cocoklogi?”
“Itu ilmu cinta. Disetujui oleh WHO: World Heart Organization,” sahut Yoon bangga.
“Aku nggak ngerti kenapa kamu bisa sekonyol ini padahal statusmu dokter.”
“Karena aku spesialis. Tapi bukan spesialis bedah. Spesialis ngebet deketin kamu,” ucapnya cepat, nyaris tanpa jeda.
Nayara menahan tawa. “Kalau kamu terus kayak gini, pasien bisa kabur semua tahu.”
“Enggak juga. Pasienku sembuh karena senyum. Sama kayak kamu yang pelan-pelan sembuh dari trauma pertemuan pertama kita yang awkward itu.”
Nayara memutar mata. “Kamu tahu nggak, kadang aku lupa kamu itu dosen tamu. Soalnya mulut kamu kayak mahasiswa baru.”
Yoon menyengir. “Biar cocok. Biar kamu nggak merasa jauh. Lagipula kalau aku kelihatan terlalu dewasa, kamu takut nyentuh hatiku.”
“Dan kalau kamu terlalu konyol, aku takut nyentuh otakmu,” balas Nayara.
Yoon pura-pura memegang dada. “Aduh, Nay. Itu barusan, bukan cuma punchline. Itu tusukan menusuk jantung.”
“Tumben enggak bilang aorta atau ventrikel?”
“Aorta udah ketarik ke kamu. Ventrikelku juga udah kosong sejak kamu duduk di depan kelas itu,” gumamnya pelan.
Nayara terdiam. Tawa perlahan mereda, tapi senyumnya masih ada.
Yoon melanjutkan, nadanya lebih tenang, “Tapi serius, Nay. Kamu bikin otak kiri dan kananku debat tiap hari. Antara mau cepet nyerah atau lanjut belajar mencintaimu tanpa bikin kamu takut.”
Nayara terdiam. Ada detak yang berbeda di dadanya sekarang. Bukan cuma karena gombalan absurd, tapi karena kalimat terakhir itu barusan terasa jujur.
Yoon menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau kamu ragu, nggak apa. Tapi izinkan aku tetap duduk di sini, nunggu, sambil ngerawat rasa ini. Kayak dokter yang nunggu pasien sadar. Pelan-pelan asal kamu masih hidup di hatiku.”
Nayara nggak bisa balas. Lidahnya kelu. Tapi matanya berkata cukup.
Tawa mereka kembali pecah. Obrolan yang dimulai dari kegugupan, berubah jadi percakapan yang tulus dan hangat. Tapi tawa itu mendadak terhenti saat suara berat memanggil dari arah pintu.
“Nayara?”
