Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 4. Rintangan

Pagi itu, aroma nasi goreng telur buatan Bu Atikah memenuhi ruang makan. Seperti biasa, keluarga kecil itu berkumpul sebelum memulai aktivitas. Nayara duduk di samping kakaknya, Naura, sementara Nizar sibuk menyesap susu cokelat sambil men-scroll ponsel.

Pak Abidzar membuka pembicaraan di tengah suapan sarapan, wajahnya serius.

"Entah apa yang dipikirkan kakakmu itu. Maira nekad ninggalin rumah Tante Ratna, lalu nikah sama bule dari Inggris yang jelas beda keyakinan," ujarnya dengan nada kecewa.

Nizar mendongak, menaruh gelas di atas meja. “Tante Ratna sampai sakit hati, Pa. Om Rizky juga langsung bilang enggak mau ngakuin Maira lagi sebagai anak,” ucapnya pelan.

Naura yang sedari tadi diam, menggeleng pelan. “Padahal dulu Maira paling rajin ikut pengajian, sekarang malah nikah sama orang luar yang bahkan enggak paham agama kita,” katanya sambil menghela napas.

Bu Atikah ikut menimpali, suaranya datar namun menyimpan nada prihatin. “Mungkin Maira lagi bingung atau... mungkin juga cinta bikin dia buta,” imbuhnya lirih.

Pak Abidzar menepuk meja ringan, ekspresinya semakin tegang. “Cinta tetap butuh akal sehat. Beda prinsip hidup itu bukan hal sepele,” serunya tajam.

Semua terdiam beberapa saat, sampai Nayara angkat bicara sambil menyeruput teh hangatnya.

“Kalau aku yang nikah sama nonis, gimana, Pa?” tanyanya santai, seolah sedang menanyakan menu makan siang.

Mata semua orang langsung mengarah padanya. Nizar melotot, Naura terbatuk, dan Bu Atikah refleks menjatuhkan sendoknya ke piring.

“Nay, kamu ngomong apa barusan?” ucap Naura dengan alis terangkat.

“Ya... nanya aja. Misalnya,” jawab Nayara, bahunya terangkat ringan.

Pak Abidzar menatap putrinya lekat-lekat. Nada bicaranya turun satu oktaf, dingin namun mengandung peringatan.

“Aku enggak mau kehilangan anak lagi karena pilihan yang ngawur,” katanya tenang, tapi penuh tekanan.

Nayara tersenyum kecil, lalu menunduk. Dalam hatinya, ia tahu perdebatan ini baru saja dimulai.

Pak Abidzar masih menatap Nayara, napasnya tertahan sejenak. Suasana meja makan mendadak terasa tegang. Lalu suaranya terdengar lagi, kali ini lebih tenang tapi tetap tegas.

“Kecuali...” katanya menggantung. Semua orang menoleh. “Kalau pria itu login. Masuk Islam. Alhamdulillah, itu lain cerita,” lanjutnya sambil menyandarkan punggung ke kursi.

Nizar mengangguk cepat. “Iya, kalau udah syahadat, ya enggak masalah. Tapi kalau masih beda jalur, itu bahaya, Nay,” imbuhnya.

Naura menatap adiknya dengan dahi berkerut. “Kamu kan tahu sendiri gimana susahnya jalanin rumah tangga. Kalau dari awal beda fondasi, nanti siapa yang capek?” katanya serius.

Bu Atikah kembali bicara pelan. “Mbakmu itu bukan enggak tahu resikonya, tapi dia tetap pilih jalan itu. Jangan sampai kamu ikut-ikutan, Nak,” ucapnya penuh harap.

Nayara menatap ayahnya dalam-dalam. Ia tahu Pak Abidzar bukan tipe yang main-main soal prinsip. Kata-katanya barusan bukan ancaman, tapi arah petunjuk. Jika suatu saat Nayara memang mencintai pria beda keyakinan, maka satu-satunya jalan... pria itu harus rela login duluan.

Ia mengangguk kecil, tanpa komentar. Tapi dalam hati, ia tahu pertanyaan iseng tadi sudah memantik gelombang serius yang akan panjang.

Setelah sarapan selesai, satu per satu anggota keluarga meninggalkan meja makan. Nizar kembali ke kamar, Naura membantu mamanya mencuci piring, sementara Pak Abidzar masih duduk di kursinya, menatap kosong ke luar jendela.

Nayara tetap di tempat. Tangannya memutar-mutar gelas kosong, pikirannya dipenuhi tanda tanya.

“Pa...” ucapnya pelan.

Pak Abidzar mengalihkan pandangan, menunggu kalimat berikutnya.

“Aku mau tanya. Sebenarnya kenapa sih Papa enggak setuju banget sama pernikahan beda agama?” tanyanya hati-hati.

Pak Abidzar menghela napas dalam. “Karena rumah tangga itu bukan cuma soal cinta, Nay,” ujarnya.

“Tapi banyak juga yang jalan, Pa. Temen Nayara bahkan ada yang orang tuanya beda keyakinan, tapi adem-adem aja,” katanya mencoba menyanggah.

“Kelihatannya aja, tapi kamu enggak tahu dalamnya. Kalau beda dasar, nanti ributnya bukan soal makanan atau liburan, tapi soal nilai hidup,” imbuhnya serius.

Nayara menunduk, lalu kembali bertanya, “Kalau orangnya baik, enggak kasar, perhatian, terus tanggung jawab... itu tetap enggak cukup?”

“Baik itu wajib, tapi iman itu pondasinya. Kalau pondasinya beda, enggak akan bisa saling menguatkan. Satu ibadah, satu ke gereja. Satu puasa, satu makan siang. Lama-lama kamu bakal ngerasa sendiri di rumah sendiri,” jelasnya panjang lebar.

“Gimana kalau dia mau ngalah? Mau belajar agama kita, misalnya?” ucap Nayara lagi.

Pak Abidzar mengangguk tipis. “Kalau dia login, berarti dia udah pilih jalan yang sama. Bukan karena kamu, tapi karena dia memang percaya. Itu baru bisa dilanjutkan,” katanya tenang.

Hening sebentar. Hanya suara air dari dapur yang terdengar samar.

“Jadi Papa bukan benci orang beda agama ya?” gumam Nayara setengah tanya.

“Bukan. Papa cuma jaga kamu dari sakit yang enggak perlu,” ucapnya sambil berdiri, menepuk pundak putrinya pelan.

Nayara terdiam. Jawaban itu terdengar sederhana, tapi baginya berat. Ia menatap punggung ayahnya yang berjalan perlahan ke ruang tamu, lalu menatap gelas di tangannya. Pertanyaannya mungkin sudah terjawab, tapi hatinya belum tentu setuju.

Angin pagi menyapu lembut, membawa bayangan wajah Yoon Tae Hyun Elric pria keturunan Korea-Belgia yang sempat mendekatinya. Ramah, cerdas, dan sangat menghormatinya. Tapi satu hal tak bisa dihindari: mereka tak berjalan di jalan iman yang sama.

Dalam diam, Nayara menatap langit yang mulai berwarna jingga. Bibirnya bergerak pelan, tak bersuara.

“Sudah tepat aku menolak untuk pacaran dengan Yoon Tae Hyun Elric,” batinnya tegas.

Bukan karena Yoon tidak baik. Justru sebaliknya susah untuk tidak jatuh hati pada sosok yang hangat dan penuh perhatian itu.

Tapi Nayara tahu, ketertarikan sesaat tidak cukup untuk menghadapi rintangan jangka panjang. Ia bukan gadis yang bisa bertaruh pada cinta yang kabur arahnya.

“Kalau dia benar takdirku, pasti Allah punya cara yang lebih halal, lebih tenang, dan lebih mulia,” gumamnya lagi dalam hati.

Ia menunduk, menghela napas perlahan. Perih itu ada. Ragu itu sempat singgah. Tapi setelah semua logika dan iman bicara, hatinya tahu pilihan ini bukan kelemahan, tapi bentuk keberanian.

u langit Jakarta agak mendung, tapi di rumah keluarga Abidzar suasana tetap hangat. Setelah menyelesaikan roti bakar dan segelas susu, Nayara buru-buru mengambil tas dan menyambar kunci motor.

“Ma, Pa, aku berangkat dulu, udah mepet nih,” serunya sambil meraih helm.

“Enggak telat kan?” tanya Bu Atikah dari dapur.

“Dikit lagi. Kalau lampu merahnya baik hati, insya Allah enggak telat,” jawab Nayara cepat.

Pak Abidzar sempat menengok dari ruang depan. “Jangan kebut, utamakan selamat,” katanya pelan.

“Siap, Pa. Doain dosennya belum masuk,” ucap Nayara sebelum menutup pintu pagar.

Sesampainya di kampus, Amel sudah berdiri di bawah tangga gedung F, wajahnya tegang.

“Nay, kamu beneran siap masuk kelas sistem saraf hari ini?” tanya Amel setengah berbisik.

“Aku harus siap walau jantungku udah kaya disetrum,” jawab Nayara sambil menarik napas panjang.

Michelle datang tak lama kemudian, langsung berbisik, “Masih enggak percaya yang semalam jadi dosen hari ini.”

“Aku juga enggak. Tadi malam dia bilang baru semester delapan, eh ternyata dosen tamu neurologi,” ucap Amel dengan ekspresi setengah panik.

“Kita semua ditipu wajah awet mudanya,” sahut Michelle. “Umurnya tiga puluh, tapi mukanya dua dua.”

Langkah mereka masuk ke ruang kuliah terasa berat. Semua mahasiswa sudah duduk rapi, menatap layar proyektor yang menampilkan nama:

Dr. Yoon Tae Hyun Elric, M.Sc (Neurophysiology & Brain Plasticity)

Nayara menunduk, pura-pura sibuk mencatat. Padahal hatinya masih belum pulih dari adegan semalam, saat tiket konsernya tiba-tiba hilang di antara lautan penonton.

Kamu kehilangan tiketmu. Aku lihat dari tadi kalian mondar-mandir panik. Kalau kamu mau, tiket ini bisa kamu ambil. Tapi ada syaratnya.”

Yoon menatap langsung ke mata Nayara lalu berkata pelan, “Kamu jadi pacarku.”

Dan sejak itu, segalanya jadi aneh. Pria itu mendadak muncul di kelas sebagai dosen, dengan jas putih dan penampilan profesional. Semua mahasiswa nyaris tak percaya.

Yoon melangkah masuk ke ruangan. Suaranya tenang dan jelas saat menyapa, “Selamat pagi semuanya.”

Amel menyenggol Michelle. “Dosen apa cowok drakor nih?” bisiknya pelan.

Yoon mulai menjelaskan materi dengan lancar. Tapi mata Nayara sesekali bertemu dengan tatapannya bukan kebetulan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel