Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 6. Sulit Bersatu

Suara itu bikin Nayara langsung menoleh. Matanya membulat. “Kak Nizar?” ucapnya reflek.

Seorang pria berseragam sipil, dengan wajah tegas khas aparat dan tubuh tegap, melangkah cepat ke arah mereka. Komandan Nizar. Kakak Nayara yang dikenal galak, kaku, dan sangat protektif. Sorot matanya langsung menelisik tajam ke arah Yoon.

“Ada urusan apa duduk berduaan sama cowok?” tanyanya dengan nada serius.

Nayara bangkit panik. “Kak ini dosen tamu kampus lagi bahas akademik.”

Yoon ikut berdiri, sopan. “Perkenalkan Saya Yoon Tae Hyun Elric, dosen tamu dari program neurophysiology.”

“Yoon nama Korea?” potong Nizar cepat.

“Setengah Korea, setengah Belgia,” jawab Yoon tenang.

Nizar menatap dalam sorotnya waspada. “Muslim?”

Yoon menelan ludah sebentar, lalu menjawab jujur. “Belum, Pak.”

Wajah Nizar langsung berubah. Nadanya makin dingin. “Berarti nonis.”

Nayara langsung mengelus kening, merasa jantungnya ambruk separuh.

“Duduk sebentar,” ucap Nizar datar sambil menarik kursi. Yoon dan Nayara pun kembali duduk suasana berubah tegang.

“Kamu tahu, Nay, keluarga kita bukan keluarga yang suka main-main soal pernikahan, apalagi keyakinan. Ingat Maira?” katanya pelan tapi penuh tekanan.

Nayara menggigit bibir. “Iya, Kak.”

“Dia nikah sama bule Inggris. Sama bukan muslim. Akhirnya? Diusir. Nenek sampai sakit karena nggak sanggup lihat cucunya tinggal serumah sama orang beda iman,” ujar Nizar tanpa menurunkan nada.

Yoon menunduk sopan. “Saya mengerti kekhawatiran Bapak dan tidak bermaksud mengganggu atau membawa Nayara ke arah yang.m menyinggung nilai-nilai keluarga. Saya hanya ingin mengenal lebih jauh.”

Nizar menatap tajam. “Kenal boleh, tapi jangan main hati kalau ujungnya nggak bisa satu tujuan. Kamu ngerti, kan? Hati adik saya bukan tempat eksperimen relasi antar agama.”

“Kak, dia nggak kayak gitu,” bela Nayara pelan.

“Kamu belum tahu Ini belum sebulan kalian dekat. Jangan ulangi kisah Maira. Jangan sampai orang tua kita dengar hal begini,” katanya tegas lalu berdiri sambil menatap Yoon.

“Saya nggak larang kamu, tapi kalau kamu laki-laki baik, kamu mundur sampai kamu yakin bisa jadi imam,” katanya sambil pergi meninggalkan meja.

Nayara menunduk kedua tangannya gemetar sedikit. Suara hatinya ribut. Yoon diam cukup lama sebelum akhirnya berkata lirih, “Aku minta maaf nggak nyangka akan ketemu kakakmu hari ini.”

“Enggak usah minta maaf. Memang pada akhirnya hidupku selalu akan dihadapkan sama dua jalan yang nggak pernah bisa lurus bareng,” ucap Nayara lemah.

Yoon memandangi wajah Nayara yang mencoba kuat.

“Aku nggak mundur,” katanya pelan.

Nayara menoleh cepat. “Tapi kamu dengar sendiri, kan?”

Yoon mengangguk. “Aku nggak janji sekarang. Tapi aku bakal belajar nggak datang cuma buat duduk ngopi bareng kamu. Aku datang buat ngerti kamu sampai ke akar.”

Dan saat itu meski dunia serasa berat, Nayara merasa untuk pertama kalinya dia nggak harus jalan sendirian.

Senja mulai turun perlahan. Langit berubah jingga, jalanan di depan kafe mulai dipenuhi mahasiswa pulang kuliah. Tapi di meja pojok itu, tak ada suara selain denting sendok yang disentuh Nayara perlahan ke gelasnya.

Yoon masih duduk tegak, tapi matanya redup seolah ada ribuan kata yang tertahan.

Setelah kepergian Komandan Nizar, obrolan mereka jadi hening. Tak ada tawa, tak ada candaan soal konser atau BTS. Yang tersisa hanya dua orang yang sama-sama tahu perasaan mereka nggak lagi sederhana.

“Aku pulang dulu ya,” ucap Nayara pelan, berdiri sambil merapikan tasnya.

Yoon ikut berdiri. “Boleh aku antar?”

Nayara menggeleng kecil. “Nggak usah. Kak Nizar pasti masih muter di sekitar kampus. Aku juga nggak pengin bikin kamu makin kena masalah.”

Yoon menatapnya sejenak lalu mengangguk pelan. “Oke.”

Nayara berjalan pelan ke arah pintu, tapi langkahnya sempat berhenti. Ia menoleh sedikit, menatap Yoon dengan sorot yang sulit diartikan.

“Kita nggak salah kan, punya rasa kayak gini?” tanyanya nyaris berbisik.

“Nggak,” jawab Yoon singkat. “Cuma waktunya belum ramah sama kita.”

Senyum tipis muncul di bibir Nayara, meski matanya berkaca-kaca. “Kalau satu hari nanti kamu udah ngerti tentang apa yang aku yakini dan kamu masih punya rasa yang sama cari aku.”

Yoon membalas tatapan itu dengan lembut. “Aku nggak akan berhenti belajar. Bukan cuma buat paham isi bukumu, tapi isi hatimu juga.”

Tanpa kata-kata tambahan, Nayara pun melangkah pergi. Suaranya perlahan menghilang ditelan angin sore. Yoon berdiri mematung di balik kaca kafe, memandangi sosoknya yang menjauh.

Hari itu mereka berpisah bukan karena tidak ingin bersama, tapi karena tahu cinta mereka nggak cukup hanya dengan rasa. Ia butuh pengorbanan. Butuh waktu dan butuh keberanian dari dua arah.

Dan meski tak ada janji yang terucap, mereka sama-sama tahu hati mereka sedang menunggu satu sama lain dalam diam.

Sudah dua bulan berlalu sejak pertemuan terakhir di kafe itu. Dua bulan sejak sore penuh peringatan, dua bulan sejak mereka sama-sama sepakat diam-diam yaitu cinta ini belum bisa disatukan, tapi juga tak bisa dipadamkan.

Sejak hari itu, hampir setiap pagi ada paket kecil mampir ke kosan Nayara. Kadang dititipkan abang ojek online, kadang lewat kurir ekspres.

Isinya selalu berbeda, tapi nadanya selalu sama adalah penuh perhatian, penuh keanehan dan entah kenapa, selalu berhasil bikin Nayara senyum sendiri.

Pagi itu, paket datang lagi. Kali ini bentuknya bulat. Nayara membuka dengan penasaran dan tertawa kecil melihat isinya sebuah boneka otak mini yang bisa dicubit, lengkap dengan tulisan tangan di kertas kecil:

> “Kamu bilang kamu butuh sesuatu buat melampiaskan stres. Jadi ini, cubit aku eh maksudku, bonekanya. Tapi jangan pakai bayangin mukaku, ya. Yoon si calon neuro-fighter dari seberang laut.”

Di hari lain, Nayara dapat buku catatan dengan cover bergambar otak dan hati yang sedang berdebat. Tulisan di dalamnya lebih absurd lagi.

> “Kalau otak kamu bilang jauhi aku, tapi hati kamu bilang jangan, tolong kasih suara terbanyak ke hati ya. Karena otakku udah nyerah mikirin kamu. Yoon yang makin waras justru karena kamu.”

Pernah juga Nayara dapat teh Korea, dengan catatan, “Biar kamu tenang pas ngerjain skripsi. Tapi maaf, efeknya nggak bisa ngilangin kangen.”

Dan setiap kali Nayara membalas lewat chat, Yoon selalu menanggapi dengan candaan, kalimat penuh logika medis yang diselipkan rayuan dan sesekali tanya, “Udah makan?” atau “Masih inget aku nggak?”

Hari-hari mereka tak pernah benar-benar jadi pasangan, tapi lebih dari sekadar teman. Tidak ada status, tapi komunikasi mereka konsisten.

Nayara tahu, di balik kelakar dan emoji-emoji random, ada hati yang nggak main-main.

Sampai akhirnya, satu sore di minggu kedua bulan itu, pesan Yoon masuk tanpa pengantar basa-basi.

“Nay… boleh video call bentar?”

Nayara langsung menjawab iya, dan beberapa menit kemudian, wajah Yoon muncul di layar. Tapi kali ini ekspresinya beda. Senyumnya tipis matanya sendu.

“Aku harus balik ke Korea minggu depan,” ucapnya pelan.

Nayara diam wajahnya nggak langsung bereaksi. Tapi dalam hati, ada sesuatu yang turun pelan-pelan, seperti daun kering jatuh ke tanah.

“Udah selesai kontrak dosen tamu. Dan aku harus lanjut riset tahap akhir buat program spesial di universitas sana,” imbuh Yoon lagi.

Nayara menunduk. “Kapan berangkat?”

“Senin pagi,” jawabnya singkat.

Mereka sama-sama diam. Hening dan hanya suara kipas dan notifikasi dari ponsel yang sesekali berbunyi.

“Aku nggak mau kamu sedih,” ucap Yoon tiba-tiba.

“Aku nggak sedih,” potong Nayara pelan.

Yoon mengangguk pelan, meski tahu kalimat itu bohong. “Kalau gitu aku boleh kirim satu paket terakhir sebelum aku berangkat?”

“Boleh. Tapi jangan nyeleneh lagi,” ucap Nayara pura-pura kesal.

“Gimana kalau kali ini isinya janji?”

“Janji apa?”

Yoon menatapnya lama. “Janji, aku balik lagi. Tapi kalau Tuhan izinkan aku balik bukan cuma sebagai dosen tamu.”

Nayara terdiam reflek dadanya sesak, tapi matanya tak berkedip.

“Dan kalau waktu itu datang, aku nggak cuma kirim paket. Aku datang sendiri buat minta kamu, bukan cuma ngobrol di kafe,” ujar Yoon sambil tersenyum lembut.

Nayara menahan napas, lalu mengangguk kecil. “Aku tunggu tapi nggak janji aku tetap di tempat yang sama.”

Yoon tersenyum. “Asal hatimu belum pindah aku pasti nemu jalannya.”

Mereka mengakhiri video call dengan tatapan yang lebih berat dari sebelumnya. Kali ini bukan sekadar perpisahan, tapi awal dari sebuah penantian.

Dan Nayara tahu cinta yang butuh pengorbanan, kadang justru yang paling layak diperjuangkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel