Bab. 3. Pedekate
Lagu berikutnya mengalun, suasana mulai ceria lagi, tapi Nayara masih diam. Matanya fokus ke panggung, tapi pikirannya tertinggal di percakapan barusan.
Tiba-tiba Yoon bicara tanpa menoleh.
“Kita jalani saja dulu. Kalau jodoh, beda pun pasti akan ketemu,” ucapnya tenang, tapi ada keyakinan dalam nada suaranya.
Nayara spontan menoleh, menatap wajah Yoon yang masih berdiri tegak dengan tangan di saku.
“Lo yakin bisa jalanin itu?” tanyanya lirih.
Yoon mengangguk perlahan, “Gue enggak minta semuanya sekarang. Gue cuma pengin tahu lo lebih dalam. Enggak harus jadi siapa-siapa apalagi harus buru-buru.”
“Gue enggak biasa dekat sama cowok. Apalagi yang enggak seiman,” katanya jujur.
“Gue juga enggak pernah deket sama cewek berhijab,” balas Yoon sambil tersenyum kecil. “Tapi lo bikin gue pengin belajar pelan-pelan.”
Nayara terdiam, membiarkan suara penonton dan irama musik jadi latar hening di antara mereka. Pikirannya penuh pertanyaan, tapi entah kenapa hatinya tidak menolak sepenuhnya.
“Kalau suatu saat lo ngerasa kita jalan di arah beda, lo bisa pergi. Gue enggak akan tahan,” ucap Yoon pelan.
“Lo ngomong kayak udah siap kehilangan,” sahut Nayara cepat.
“Karena semua hal indah pasti punya akhir, cuma kita enggak tahu kapan,” katanya santai, seolah bicara tentang hujan sore atau senja yang sebentar lagi hilang.
Nayara memutar wajah, kembali ke panggung. Tapi kali ini senyumnya tipis mengembang.
“Gue enggak janji banyak, tapi gue juga enggak akan kabur,” katanya.
Yoon menoleh sebentar, matanya menatap Nayara dengan tenang.
“Cukup itu,” balasnya singkat.
Malam itu, konser berlangsung meriah. Sorak penonton menggelegar. Tapi bagi mereka berdua, suasana lebih tenang. Tidak ada genggaman tangan, tidak ada pelukan.
Hanya dua hati yang sama-sama menjaga jarak sambil mencoba mendekat lewat pengertian.
Konser sudah selesai. Lampu-lampu panggung mulai padam, penonton bergerak keluar, suasana perlahan mereda. Di antara kerumunan, Michelle dan Amel sibuk mencari Nayara yang tadi sempat memisahkan diri bersama Yoon.
“Nay, lo di mana aja, sumpah susah banget dicari,” seru Michelle sambil menarik lengan Nayara yang baru muncul dari sisi panggung.
“Gue kira lo udah pulang bareng tuh cowok Korea lo itu,” timpal Amel sambil nyengir lebar.
Nayara cuma geleng pelan, senyumnya menggantung tanpa kata.
Michelle melirik cepat ke arah Yoon yang berjalan agak di belakang mereka, lalu menatap Nayara penuh curiga. “Jadi lo pacaran sekarang sama Yoon?” tanyanya penasaran.
“Lanjut habis konser gitu? Duh Nay, jangan bikin kita penasaran,” imbuh Amel setengah memaksa.
Nayara mendesah, lalu duduk di trotoar kecil dekat parkiran. “Gue enggak tahu harus jawab gimana. Dia baik, dewasa, tapi kita beda,” ujarnya pelan.
“Beda apa? Beda umur? Beda warna kulit? Beda vibe?” tanya Michelle cepat.
“Beda keyakinan,” sahut Nayara singkat.
Amel terdiam beberapa detik, lalu ikut duduk di sebelahnya. “Terus dia tahu itu?”
“Tahu dari gue langsung, bahkan sebelum dia nanya soal kita. Gue bilang aja terang-terangan,” katanya sambil memandangi langit malam.
Michelle ikut duduk, mencondongkan tubuh ke depan. “Dan dia tetap mau deket sama lo?”
Nayara angguk pelan. “Katanya jalanin aja dulu, kalau emang jodoh pasti ketemu lagi walau beda.”
Amel mendesis pelan. “Wah, cowok seberani itu jarang, Nay.”
“Iya. Tapi gue juga enggak mau gegabah. Hati bisa jatuh kapan aja, tapi gue enggak mau salah langkah,” ucap Nayara serius.
Yoon mendekat tanpa banyak bicara, berdiri tak jauh dari mereka. Tangannya dimasukkan ke saku jaket, wajahnya datar tapi matanya tetap mengawasi Nayara dari jauh.
“Dia nungguin lo tuh,” seru Michelle sambil mengedip jahil.
“Cowok segitu sabarnya, Nay, jangan lo sia-siain,” imbuh Amel sambil berdiri dan merapikan tasnya.
Nayara berdiri perlahan, lalu menoleh ke dua temannya. “Gue belum pacaran sama dia. Tapi gue enggak nutup pintu,” katanya jujur.
Michelle tertawa pelan. “Udah kelihatan, sih. Tinggal nunggu waktu aja.”
“Semoga yang beda bisa sejalan. Kalau enggak, ya udah. Paling enggak lo pernah bikin cerita indah,” ucap Amel menenangkan.
Mereka berjalan bertiga menyusul Yoon, yang masih sabar menanti. Malam makin dingin, tapi suasana hati Nayara terasa hangat. Bukan karena kepastian, tapi karena keberanian untuk jujur sejak awal.
Dalam perjalanan pulang, Nayara sibuk menahan gelisah. Dalam hatinya dia terus mengulang kalimat yang sejak awal jadi prinsipnya,
"Jangan bawa-bawa cinta. Ini cuma main. Jangan bodoh Nay, jangan pakai hati."
Setibanya di rumah, ia langsung lempar jaket ke gantungan, berjalan menuju kasur, menghempaskan tubuhnya sambil memejamkan mata. Namun belum sempat tertidur, suara getar dari ponsel mengusik tenangnya malam. Ia mengerjapkan mata, meraih HP yang tergeletak di meja samping. Nama yang tertera membuat detaknya mendadak melambat.
“Yoon?” gumamnya pelan.
Ponsel terus bergetar. Ia menatap layar tanpa niat menekan tombol hijau. Tapi jempolnya bergerak sendiri. Panggilan tersambung.
“Halo,” ucap Nayara ragu.
“Aku tahu udah malam, tapi aku cuma mau bilang satu hal,” katanya Yoon dari seberang.
Nayara menarik napas panjang, memejamkan mata, “Ngapain nelepon malam-malam begini?” ujarnya datar.
“Aku gak bisa tidur,” ucap Yoon cepat, “Kepikiran aja, kamu tadi senyum. Tapi pas pisah, ekspresi kamu berubah. Aku ganggu ya?” tanyanya lirih.
“Gak ganggu. Cuma aku lagi capek,” imbuh Nayara.
“Aku juga gak maksain kamu buat suka balik,” katanya Yoon, “Aku cuma mau deket. Gak lebih. Kita kan cuma temen, kan?”
Nayara terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Temen yang sempet ngajak jadian di tengah konser,” ujarnya pelan sambil nyengir sendiri.
Yoon tertawa kecil, “Ya siapa tahu itu awal dari cerita keren. Gak semua hal harus dijelasin dari awal, kan?”
“Yoon...” kata Nayara sambil duduk tegak, “Aku muslim, kamu nonis. Aku nggak bisa sembarangan.”
“Aku ngerti,” potong Yoon cepat, “Tapi gak semua beda harus jadi tembok. Kita liat aja nanti. Gak usah bawa cinta dulu, kita santai aja.”
Nayara tersenyum kecil, “Itu kalimat barusan bahaya banget.”
“Kenapa?” tanyanya Yoon heran.
“Soalnya... kamu ngajak aku nyaman,” jawab Nayara jujur.
Obrolan malam itu berakhir tanpa kejelasan. Tapi ada yang berubah. Batas yang sebelumnya jelas, kini mulai kabur.
Dalam perjalanan pulang, Nayara sibuk menahan gelisah. Dalam hatinya dia terus mengulang kalimat yang sejak awal jadi prinsipnya,
"Jangan bawa-bawa cinta. Ini cuma main. Jangan bodoh Nay, jangan pakai hati."
Setibanya di rumah, ia langsung lempar jaket ke gantungan, berjalan menuju kasur, menghempaskan tubuhnya sambil memejamkan mata. Namun belum sempat tertidur, suara getar dari ponsel mengusik tenangnya malam. Ia mengerjapkan mata, meraih HP yang tergeletak di meja samping. Nama yang tertera membuat detaknya mendadak melambat.
“Yoon?” gumamnya pelan.
Ponsel terus bergetar. Ia menatap layar tanpa niat menekan tombol hijau. Tapi jempolnya bergerak sendiri. Panggilan tersambung.
“Halo,” ucap Nayara ragu.
“Aku tahu udah malam, tapi aku cuma mau bilang satu hal,” katanya Yoon dari seberang.
Nayara menarik napas panjang, memejamkan mata, “Ngapain nelepon malam-malam begini?” ujarnya datar.
“Aku gak bisa tidur,” ucap Yoon cepat, “Kepikiran aja, kamu tadi senyum. Tapi pas pisah, ekspresi kamu berubah. Aku ganggu ya?” tanyanya lirih.
“Gak ganggu. Cuma aku lagi capek,” imbuh Nayara.
“Aku juga gak maksain kamu buat suka balik,” katanya Yoon, “Aku cuma mau deket. Gak lebih. Kita kan cuma temen, kan?”
Nayara terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Temen yang sempet ngajak jadian di tengah konser,” ujarnya pelan sambil nyengir sendiri.
Yoon tertawa kecil, “Ya siapa tahu itu awal dari cerita keren. Gak semua hal harus dijelasin dari awal, kan?”
“Yoon...” kata Nayara sambil duduk tegak, “Aku muslim, kamu nonis dan aku nggak bisa sembarangan.”
“Aku ngerti,” potong Yoon cepat, “Tapi gak semua beda harus jadi tembok. Kita liat aja nanti. Gak usah bawa cinta dulu, kita santai aja.”
Nayara tersenyum kecil, “Itu kalimat barusan bahaya banget.”
“Kenapa?” tanyanya Yoon heran.
“Soalnya kamu ngajak aku nyaman,” jawab Nayara jujur.
Obrolan malam itu berakhir tanpa kejelasan. Tapi ada yang berubah. Batas yang sebelumnya jelas, kini mulai kabur.
