Bab. 2. Solusi
Semua terasa membeku sesaat. Suara musik dari dalam stadion samar-samar terdengar. Orang-orang masih lalu-lalang, tapi waktu seakan melambat hanya untuk mereka bertiga dan pria asing bertopi hitam itu.
Nayara menarik napas panjang, pandangannya terfokus ke tiket VIP yang masih dipegang Yoon.
“Gue cuma pengin nonton konser ini. Udah lama banget nunggu. Kalau ini satu-satunya cara, ya udah masalah jadi pacar lo urusan nanti,” ujarnya pelan tapi jelas.
Michelle langsung membelalak, “Lo yakin Nay? Dia siapa juga kita enggak tahu.”
Amel memegang lengan Nayara, mencoba menahan, “Kalau lo cuma pengin nonton, kita tunggu tiket dari Bang Ujang aja sedikit telat enggak apa-apa.”
“Gue enggak mau kehilangan momen opening,” balas Nayara cepat. “Lagu pertama selalu yang paling berkesan.”
Yoon menatap Nayara serius, lalu menyodorkan tiket itu.
“Deal ya? Kamu pacarku mulai malam ini,” katanya tegas.
“Lo belum tau gue kayak apa. Bisa aja gue nyusahin,” ucap Nayara setengah bercanda.
“Enggak apa-apa. Gue juga bukan tipe pacar romantis. Gue banyak diamnya,” sahut Yoon sambil menyerahkan tiket ke tangannya.
Michelle dan Amel saling pandang, ekspresi keduanya antara khawatir dan pasrah.
“Kalau lo nyakitin dia, gue yang cari lo,” ancam Michelle setengah serius.
“Tenang aja, gue enggak main-main,” jawab Yoon singkat.
Nayara menatap tiket VIP di tangannya. Rasanya absurd dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari kehilangan tiket ke dapat kursi paling depan, ditukar dengan status sebagai pacar dadakan orang asing.
“Lo beneran berani, Nay,” gumam Amel sambil nyengir kecut.
“Udah tanggung. Yang penting bisa nyanyi bareng Suju,” sahut Nayara santai.
Yoon berjalan lebih dulu, memberi isyarat agar Nayara ikut. Petugas gerbang sempat memandang mereka curiga, tapi setelah melihat tiket VIP, langsung mempersilahkan masuk.
Langkah Nayara terasa ringan tapi jantungnya masih berdetak cepat. Ia belum sepenuhnya paham keputusan barusan, tapi malam ini terlalu berharga buat dilewatkan.
Tentang Yoon, tentang status barunya, semua bisa dipikir belakangan. Sekarang yang penting konser dimulai.
Lampu panggung mulai redup. Suasana stadion berubah gemuruh. Teriakan ribuan fans menggema seperti gelombang suara tak berujung. Musik pembuka mulai dimainkan, lampu-lampu strobo menyala bersahutan.
“Amel sama Michelle duduknya di bagian kanan atas,” ujar Nayara sambil melirik ponselnya yang baru saja menerima pesan dari Michelle.
“Gapapa, biar mereka di sana. Kita di sini aja,” ucap Yoon sambil duduk di kursinya, jaraknya cukup jauh dari Nayara, nyaris setengah meter.
Nayara duduk pelan-pelan, tetap menjaga jarak. Tasnya ia taruh di antara mereka, sengaja sebagai pembatas tak tertulis.
“Gue duduk di sini bukan karena status ‘pacar’ ya. Gue anggap ini cuma perjanjian darurat,” katanya pelan tapi tegas.
Yoon mengangguk kecil, “Gue ngerti. Lo aman sama gue. Enggak akan gue sentuh, santai aja.”
“Bukan soal sentuh atau enggak, tapi ini prinsip,” balas Nayara cepat.
Yoon tersenyum sedikit, “Dan itu yang bikin gue makin pengin kenal lo.”
Suara fans kembali menggema. Super Junior muncul satu per satu di panggung. Lagu pembuka langsung menghentak. Semua orang berdiri. Lampu lightstick berwarna biru menyala bersamaan.
“Waaaah, akhirnyaaaaaa!” seru Nayara spontan, wajahnya bersinar cerah.
Yoon ikut berdiri, tangannya di saku, hanya menatap panggung dengan ekspresi datar tapi matanya memantulkan kerlap-kerlip lampu panggung.
“Gue enggak nyangka bisa nonton konser kayak gini bareng lo,” katanya pelan sambil melirik Nayara yang sedang melambai-lambaikan lightstick dengan semangat.
“Gue juga enggak nyangka duduk sebelahan sama orang asing dan status pacar dadakan,” sahut Nayara sambil terkekeh.
Mereka berdiri dalam diam beberapa saat. Yoon tak mencoba mendekat, Nayara tetap di batasnya.
Sesekali mereka bertukar komentar soal penampilan idol, tapi selebihnya hanya ikut larut dalam euforia penonton lain.
Saat lagu ballad diputar dan suasana menjadi lebih tenang, Nayara duduk sambil menyandarkan punggung ke kursi, napasnya masih memburu karena terlalu heboh sebelumnya.
“Gue kira lo tipe cowok yang cuek dan dingin,” katanya sambil menatap panggung.
“Memang iya,” jawab Yoon singkat.
“Tapi lo juga gentleman. Lo bisa aja paksa gue duduk deketan. Tapi lo malah kasih ruang,” ucap Nayara pelan.
“Gue bukan cowok murahan. Kalau mau bangun hubungan, harus dari rasa hormat dulu,” balas Yoon sambil mengangkat bahunya.
Nayara menatapnya sekilas. Ada sesuatu di mata Yoon yang membuatnya tenang, meski awalnya ia ragu. Mungkin malam ini bukan tentang cinta dadakan, tapi tentang pertemuan yang Tuhan tulis diam-diam lewat tiket konser.
“Lo beneran orang Korea?” tanyanya sambil mengusap peluh.
“Ibuku Korea. Tapi gue dibesarkan di Bandung,” jawab Yoon santai.
“Pantes logat lo enggak kayak drama-drama,” komentar Nayara geli.
Yoon hanya tertawa pelan. Mereka tertawa kecil di tengah lautan penggemar. Jarak masih dijaga, tapi suasana mulai mencair.
Dan malam itu, meski tak saling bersentuhan, ada perasaan yang menyentuh tanpa perlu kata cinta. Batas tetap ada, tapi bukan berarti tak bisa saling memahami.
Suara musik menggema lagi. Cahaya panggung menyorot ke arah para member Super Junior yang sedang menyapa fans satu per satu. Sorakan penonton membahana, tapi Nayara sempat menoleh ke samping, melirik sosok tinggi di sebelahnya yang masih berdiri tenang.
“Nama lengkap lo siapa?” tanyanya pelan, nyaris berbisik, tapi cukup terdengar di telinga Yoon.
Pria bertopi itu menoleh sedikit, menyipitkan mata karena cahaya lampu menyilaukan.
“Yoon Tae Hyun Elric,” jawabnya singkat.
Nayara sempat mengerutkan kening, “Elric? Itu nama belakang lo?”
“Iya. Dari bokap. Asli Belgia,” imbuhnya santai.
“Pantes... lo kayak campuran, tapi enggak nyentrik. Tetep kalem,” ucap Nayara sambil kembali menatap panggung.
“Lo suka nama gue?” godanya pelan.
Nayara hanya mengangkat bahu, “Unik sih. Jarang gue denger. Tapi cocok sama lo, misterius tapi enggak bikin takut.”
Yoon tertawa pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara bass dari speaker raksasa di panggung.
“Nayara Delvina Putri, kan?” tanyanya balik, “Nama lo udah lama gue hafal.”
“Gila, lo riset tentang gue apa gimana sih?” sahut Nayara setengah kaget.
“Enggak riset, cuma observasi,” ucapnya tenang.
Konser terus berlangsung. Penonton ikut bernyanyi bersama. Tapi bagi Nayara, malam itu bukan cuma soal lagu. Ada percakapan singkat yang rasanya lebih berkesan daripada teriakan ribuan fans.
Dan tanpa sadar, jarak di antara mereka masih terjaga. Tapi suasana hati mulai terasa lebih dekat.
Satu lagu mellow baru saja selesai. Lampu di panggung sedikit meredup, suasana jadi lebih tenang. Penonton mulai duduk kembali, sebagian mengelap air mata karena lagu kenangan diputar.
Nayara masih menggenggam lightstick birunya, tapi pikirannya mulai melayang jauh dari panggung.
Tanpa menoleh, ia membuka suara.
“Kita itu beda keyakinan, tahu kan?” ujarnya pelan, hampir tenggelam oleh suara fans di kejauhan.
Yoon mengerutkan dahi, sedikit menoleh, “Maksud lo?”
“Aku muslim. Lo... nonis, kan?” katanya lirih.
Yoon menarik napas panjang sebelum menjawab, “Iya. Gue enggak punya agama, kalau itu maksud lo. Tapi gue enggak benci agama apa pun.”
“Aku enggak bilang lo benci,” sahut Nayara cepat. “Cuma... ya tadi, sekadar ngingetin. Kita tuh beda.”
Yoon terdiam beberapa saat, lalu menunduk sedikit, menatap sepatu ketsnya yang berdebu.
“Lo nyesel udah terima tiket dari gue?” tanyanya tenang.
Nayara menggeleng cepat, “Enggak. Gue bersyukur malah. Tapi tadi lo bilang pacar. Dan itu bikin gue mikir.”
“Gue ngerti. Tapi lo juga bilang status itu darurat. Enggak usah dibesar-besarin sekarang,” jawabnya pelan.
“Tetap aja, Yoon. Gue bukan cewek yang bisa jalan bareng cowok terus pura-pura enggak mikirin batas,” ucap Nayara serius, matanya menatap lurus ke arah panggung.
“Justru itu yang bikin lo beda,” ucap Yoon pelan. “Lo jaga prinsip lo, bahkan di tengah konser kayak gini.”
Nayara terdiam, membenarkan letak hijabnya yang sedikit bergeser karena sorak-sorai tadi.
Yoon kembali bicara, suaranya rendah tapi jujur.
“Gue enggak tahu ini bakal ke mana. Tapi gue enggak nawarin tiket itu buat mancing hubungan. Gue cuman pengin kenal lo. Bukan maksa lo ninggalin kepercayaan lo, apalagi main-main.”
“Gue juga enggak mau menilai lo dari keyakinan. Tapi dari awal harus jelas batasnya,” ujar Nayara.
Yoon tersenyum tipis, “Kalau lo mau, kita bisa tetap ngobrol. Tapi sebagai teman yang saling tahu posisi.”
Nayara menarik napas lega, “Itu lebih masuk akal.”
Suasana kembali hidup. Lagu upbeat mulai diputar lagi. Semua penonton berdiri. Nayara ikut berdiri, tapi kali ini tanpa beban di hati.
Dia tahu di sebelahnya bukan orang sempurna, tapi setidaknya tahu menghargai. Dan bagi Nayara, itu sudah cukup malam ini.
