Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 1. Pertemuan Pertama

“Nayara, lo jadi ikut nonton K-Pop malam ini, kan?” tanya Amel setelah dosen mereka keluar dari kelas.

Nayara masih sibuk merapikan buku-buku yang berserakan di meja. Tangannya cekatan memasukkan satu per satu ke dalam tas ransel birunya, tanpa mengalihkan pandangan ke Amel.

“Ya ampun Nay, ini Super Junior balik lagi ke Indonesia setelah sekian lama, masa lo enggak mau ikut?” desak Michelle sambil menyandarkan dagunya ke pundak Nayara.

“Aku ikut, kok,” balas Nayara akhirnya, “tapi harus anter Mama dulu ke tempat arisannya Tante. Dari sana baru deh nyusul. Acaranya jam delapan kan?”

Michelle dan Amel langsung berteriak pelan, memeluk Nayara dari dua sisi sambil tertawa heboh.

“Yesss! Akhirnya trio SMP kita nonton konser bareng juga,” seru Amel dengan ekspresi senang bukan main.

“Lo jangan ngaret ya Nay. Pokoknya jam tujuh kita udah harus jalan dari kampus,” imbuh Michelle sambil mengecek layar ponselnya memastikan lokasi konser.

“Aku usahain, tapi jangan tinggalin kalau telat sedikit,” sahut Nayara cepat.

Mereka bertiga berjalan santai keluar kelas, bergandengan sambil terus tertawa kecil membahas segala hal tentang boyband legendaris yang dari dulu mereka idolakan.

Suasana siang itu di kampus terasa adem meski matahari cukup terik. Beberapa mahasiswa lalu-lalang, ada yang duduk santai di taman, ada juga yang masih mengejar dosen. Tapi mereka bertiga justru mengarah ke kantin.

Setibanya di kantin, Michelle langsung memesan ayam geprek level lima favoritnya, Amel memilih soto betawi, sementara Nayara cuma pesan es teh manis dan roti bakar.

“Eh kalian sadar enggak sih, Suju tuh personilnya udah ada yang nikah, udah hampir kepala empat, tapi masih aja enerjik,” ucap Michelle sambil menyeruput es coklatnya.

“Kayak enggak tua-tua ya mereka. Padahal kita aja yang nonton udah engap kalau joget,” sambung Amel sambil tertawa geli.

“Makanya itu yang bikin konser mereka tetap rame, karena fans-nya juga tumbuh bareng,” komentar Nayara pelan.

Obrolan mereka mengalir terus, dari bahas lightstick yang baru dibeli Michelle, sampai outfit yang akan dipakai malam nanti.

Di antara tumpukan buku kedokteran dan jadwal kuliah padat, momen kecil seperti ini yang jadi pelipur penat mereka.

“Cepetan Nay, tinggal sepuluh menit lagi!” seru Michelle sambil menggandeng tangan Nayara yang masih sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.

“Tunggu dulu, aku enggak nemu tiketnya,” ujar Nayara panik, tangannya membongkar isi ransel dengan gerakan cepat.

Amel langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap Nayara yang wajahnya mulai pucat.

“Astaga, Nay. Jangan bilang lo ninggalin di kampus,” katanya khawatir.

“Enggak mungkin, aku yakin tadi udah masukin ke tempat dompet. Tapi sekarang enggak ada,” balas Nayara, suaranya mulai gemetar.

Michelle buru-buru membantu membuka resleting kecil di sisi tas Nayara, berharap tiket itu nyelip di sana.

“Lo yakin enggak taruh di saku jaket?” tanya Amel cepat, matanya menelusuri setiap gerakan Nayara.

“Jaketku ada di mobil. Tapi tadi udah aku cek juga,” jawab Nayara sambil mengacak rambutnya sendiri.

Sementara suara teriakan fans mulai menggema dari dalam stadion, mereka bertiga berdiri di sudut parkiran. Orang-orang mulai masuk, lampu-lampu mulai meredup, tanda acara akan segera dimulai.

“Gila, lo bener-bener kehilangan tiketnya?” tanya Michelle lagi, wajahnya makin panik.

“Aku enggak tahu, Chel. Tadi kayaknya kebawa pas anter Mama. Mungkin jatuh di mobil Tante,” ucap Nayara putus asa.

Amel menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan ponselnya.

“Coba gue telpon si Bang Ujang, dia sopir Tante lo kan? Siapa tahu tiketnya nyangkut di jok,” usulnya cepat.

Sementara itu Nayara berdiri diam, memeluk tasnya erat-erat. Matanya berkaca, campuran antara malu dan kesal pada diri sendiri.

“Kalau enggak ketemu juga, lo tetap masuk bareng kita. Gue relain tiket gue buat lo, Nay,” ujar Michelle serius.

Nayara langsung menggeleng cepat, “Enggak bisa, Chel. Tiket lo mahal. Gue enggak tega.”

“Udah enggak usah banyak omong. Kalau perlu kita nonton di luar sambil nangis rame-rame,” sahut Amel berusaha melucu, meski suaranya ikut gemetar.

Detik terasa makin cepat. Penonton terakhir sudah masuk. Pintu stadion nyaris ditutup.

“Bang Ujang ngangkat!” seru Amel tiba-tiba, matanya membelalak. “Dia bilang nemu kertas kecil di karpet bawah jok! Tulisan Suju warna biru!”

“Itu! Itu tiket gue!” teriak Nayara spontan.

Tanpa pikir panjang, Michelle langsung menarik Nayara dan Amel menuju gerbang masuk. Nafas mereka memburu. Petugas hampir menutup pintu.

“Mas, tiket satu nyusul. Ada di mobil. Sumpah ini bukan akal-akalan,” ucap Michelle setengah memohon.

Petugas menatap mereka bingung, tapi satu senior petugas lain yang mengenali wajah Michelle sebagai volunteer acara langsung mengangguk.

“Kasih waktu lima menit ya, kalau enggak dapet tiketnya, kalian enggak bisa masuk,” ujarnya tegas.

Michelle langsung mengacungkan jempol, “Sip, Mas. Janji!”

Nayara memeluk Amel dan Michelle erat-erat, “Gue enggak tahu harus bilang apa, tapi makasih banget.”

“Udah, Nay. Nanti kalo udah masuk, baru lo boleh nangis. Sekarang kita cari Bang Ujang,” imbuh Amel sambil mendorong Nayara ke arah luar gerbang.

Konser belum dimulai, tapi jantung mereka bertiga rasanya udah kayak baru habis lomba lari keliling stadion.

Di tengah kebingungan mencari Bang Ujang dan sisa waktu yang makin mepet, seseorang menghampiri mereka dari arah luar kerumunan.

Pria itu mengenakan topi hitam, masker, dan jaket kulit gelap. Tubuhnya tinggi besar, hampir menyamai pemain basket. Sorot matanya tajam namun tenang. Saat mendekat, ia melepas maskernya perlahan.

Wajahnya terlihat jelas. Wajah blasteran, kulit terang khas Asia Timur, tapi ada garis-garis tegas Eropa di rahangnya. Tanpa basa-basi, ia langsung menyodorkan satu lembar tiket ke arah Nayara.

“Butuh tiket?” tanyanya dengan suara berat tapi terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk penggemar.

Nayara sempat mundur setengah langkah, tatapannya bingung.

“Itu… tiket konser Super Junior?” tanyanya ragu sambil melirik Michelle dan Amel.

“VIP seat. Barisan depan. Tapi cuma buat kamu,” ucapnya sambil melirik Nayara tanpa ekspresi.

Michelle langsung menarik lengan Nayara, “Hati-hati Nay, bisa aja calo.”

“Gue bukan calo,” potong pria itu, nadanya tetap tenang. “Nama gue Yoon. Ibuku orang Busan, ayahku dari Belgia. Aku datang ke sini bukan jualan tiket.”

“Terus, kenapa tiba-tiba nawarin ke gue?” tanya Nayara curiga.

Karena pria itu tersenyum tipis sebelum menjawab, “Kamu kehilangan tiketmu. Aku lihat dari tadi kalian mondar-mandir panik. Kalau kamu mau, tiket ini bisa kamu ambil. Tapi ada syaratnya.”

Nayara menelan ludah. Michelle langsung berdiri lebih depan, menjaga jarak di antara mereka.

“Apa maumu?” tanya Amel cepat.

Yoon menatap langsung ke mata Nayara lalu berkata pelan, “Kamu jadi pacarku.”

“Ha?!” seru Michelle dan Amel hampir bersamaan.

Nayara menatap pria itu, bingung apakah ini semacam candaan atau jebakan aneh.

“Serius lo?” tanya Nayara dengan nada datar.

“Serius,” jawab Yoon mantap. “Bukan hubungan bohongan. Aku capek hidup sendirian. Ketemu kamu kayak nemu sesuatu yang beda. Anggap aja ini jalan Tuhan.”

“Gila, ini aneh banget. Kita bahkan enggak kenal,” ujar Nayara masih menahan emosi.

“Tapi aku tahu kamu. Kamu Nayara, mahasiswa FK semester enam. Wajah kamu masuk feed TikTok kampus beberapa kali. Dan aku udah perhatiin kamu sejak bulan lalu,” ungkapnya santai.

Amel langsung menarik Nayara ke samping, “Ini orang creepy banget, Nay. Enggak usah ditanggepin.”

Tapi Nayara justru berdiri diam, matanya masih menatap tiket itu. Detak jantungnya makin kencang. Antara takut, penasaran, dan entah apa lagi.

“Kalau aku enggak setuju, lo bakal kasih tiket itu ke orang lain?” tanya Nayara dengan suara pelan.

Yoon menggeleng, “Enggak. Tiket ini cuma buat kamu. Tapi kalo kamu tolak, aku balik pulang. Konser enggak penting buatku.”

Michelle mendekat ke Nayara, lalu berbisik, “Gue enggak yakin dia jahat, Nay. Tapi ini kayak drama banget. Lo serius mau ambil itu?”

“Gue juga bingung,” jawab Nayara pelan.

Waktu makin tipis. Pintu konser sebentar lagi ditutup. Mereka berdiri di antara keputusan mendadak dan malam yang udah ditunggu sejak lama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel