6. Benar-benar wanita yang aneh
Sementara itu, Liang Xun hanya menatapnya lekat-lekat, wajahnya datar tapi matanya menyimpan sesuatu. Entah geli, entah tertarik. Yang jelas, ini pertama kalinya ia bertemu seseorang yang dengan polosnya percaya begitu saja pada alasan konyolnya.
Setelah urusan di kantor catatan sipil selesai, Bai Lian menggandeng tangan Liang Xun dengan penuh semangat, seolah baru saja memenangkan sebuah lotre.
“Ayo, mulai sekarang kau tinggal di apartemenku. Ingat, sesuai perjanjian, kita hidup bersama selama tiga bulan. Jangan khawatir, tempatku nyaman kok!”
Liang Xun hanya melirik sekilas, ekspresinya datar. Namun dalam hati ia masih tidak habis pikir—kapan terakhir kali ada orang yang bisa menariknya seenaknya begini?
Meski ragu namun Liang Xun mengikuti langkah Bai Lian, karena kini mereka sudah menikah? Ya, menikah. Meski ia sendiri masih cukup geli mengingat apa yang terjadi dengan hari ini.
Sungguh, ia tak pernah berbuat konyol seperti ini sebelumnya, bahkan dalam hidupnya.
Liang Xun sepintas melirik gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya. Gadis itu berjalan dengan tampak riang. Melihatnya, membuat perasaannya menghangat, perasaan yang belum pernah ia rasakan.
Begitu tiba di apartemen Bai Lian, pintunya terbuka pada sebuah ruang tamu kecil dengan sofa abu-abu, meja kayu sederhana, dan rak buku yang penuh sesak dengan novel romantis serta boneka kecil.
“Ini… sederhana.” Liang Xun berkata dengan mata yang melihat ke sekeliling, dan menurunkan kopernya.
Hal ini tidak sulit baginya, karena Liang Xun selalu membawa cadangan pakaiannya di dalam koper di mobilnya.
“Ya, sederhana tapi hangat! Kau jangan harap aku punya villa mewah, tapi minimal kulkas selalu penuh mi instan dan air mineral. Itu cukup, kan?” balas Bai Lian dengan bangganya.
Liang Xun menoleh padanya, hampir tidak percaya dengan kalimat itu.
“Mi instan… dan air mineral?” sudut bibir Liang xun berkedut.
“Benar! Dua hal paling penting untuk bertahan hidup. Aku tidak sempat masak, jadi itu solusi terbaik.”
Pengawal yang membantu mengangkat koper hampir tersedak lagi, buru-buru menunduk. Liang Xun hanya mendengus pelan, tidak tahu harus tertawa atau geleng kepala.
Sebagai seorang ketua triad besar, uang tentu saja bukanlah masalah baginya. Dan tentu saja ia tak akan memakan makanan murahan seperti itu.
Bai Lian kemudian menunjuk kamar.
“Itu kamarku. Dan… eh, karena kita suami-istri, ya sudah… pakai saja kamar itu juga. Tapi ingat! Jangan coba macam-macam. Kita cuma pasangan kontrak. Jadi ranjang tetap ada batas imajiner di tengah!”
Liang Xun menaikkan satu alis, menatapnya penuh arti. “Batas imajiner?”
“Ya. Kau injak batas itu sekali saja… aku tendang kau keluar jendela.” Ucap Bai Lian dengan sangat serius.
Liang Xun menahan tawa, menunduk agar Bai Lian tak melihat senyum di wajahnya. Untuk seseorang yang seharusnya terpaksa menikah, wanita ini benar-benar penuh kejutan.
Malam itu, apartemen Bai Lian terasa lebih ramai dari biasanya. Biasanya ia hanya pulang kuliah atau kerja sambilan, langsung rebah di kasur, atau sibuk menulis catatan di laptop. Sekarang, di kamar yang sama ada seorang pria asing—yang sah menjadi suaminya secara hukum.
Bai Lian sudah berbaring di sisi kanan ranjang, mengenakan piyama bergambar kelinci dengan rambut dikuncir asal. Di tangannya ada bantal guling yang dipeluk erat.
“Ingat, ini garis batas kita. Kau tidak boleh melewatinya.” Ucapnya, lagi-lagi dengan serius seraya menunjuk garis imajiner di tengah ranjang.
Liang Xun, yang hanya mengenakan kaus hitam longgar, duduk di tepi ranjang dengan wajah datar. Ia tidak menjawab, hanya merebahkan diri dengan tenang di sisi kiri.
Beberapa menit hening. Lalu—
Kriuk…
Suara perut Bai Lian berbunyi keras.
Bai Lian buru-buru menutup perutnya dengan bantal.
“A-aku belum sempat … Kau jangan salah paham! Aku memang selalu sibuk, bukan berarti aku sengaja diet.” Bai Lian berkata dengan malu-malu.
Liang Xun menoleh, sudut bibirnya terangkat tipis.
“Jadi, mi instan di kulkas tadi hanya pajangan?”
“...”
Lima menit kemudian, mereka berdua sudah duduk di meja makan mungil dengan dua mangkuk mi instan panas. Bai Lian makan lahap, sementara Liang Xun hanya mengaduk mi dengan tenang.
“Kenapa kau tidak makan? Tidak suka mi instan?” Bai Lian menatap Liang Xun.
“Bukan itu. Aku hanya tidak pernah membayangkan… malam pertama pernikahan akan seperti ini.”
“Hah? Kau maunya apa? Lilin aromaterapi, musik romantis, dan sampanye? Jangan mimpi, kontrak kita murni bisnis.” Tanya Bai Lian dengan mulutnya yang penuh dengan mi.
Liang Xun menatapnya lama. Ada senyum samar di wajahnya, meski cepat disembunyikan.
***
Tengah malam, lampu sudah padam. Bai Lian tertidur pulas sambil mendengkur halus, pelukannya pada bantal guling begitu erat sampai guling itu nyaris terlempar ke wajah Liang Xun.
Liang Xun membuka mata, menoleh, menatap wajah polos istrinya—ya, gadis ini memang sudah secara resmi menjadi istrinya yang tercatat di catatan sipil—yang tertidur tanpa beban.
“Benar-benar wanita aneh…” Liang Xun berbisik pelan, nyaris tak terdengar.
Ia membalikkan tubuh, berbaring telentang sambil menatap langit-langit gelap. Namun anehnya, untuk pertama kali sejak sekian lama, ia merasa sedikit… tenang. Biasanya, di malam-malam sunyi seperti ini, pikirannya selalu dipenuhi hitungan risiko, kemungkinan pengkhianatan, atau wajah-wajah orang yang harus ia waspadai. Tapi sekarang, yang terdengar hanyalah dengkuran kecil yang ritmis, sederhana, dan… lucu.
Liang Xun terkekeh pelan, hampir tak percaya dirinya sendiri. Ia, seorang pria yang terbiasa hidup dalam dunia penuh darah dan bayangan, bisa merasa damai hanya karena ada gadis aneh yang mendekap guling seperti itu di sebelahnya.
Ia mengalihkan pandangan kembali pada Bai Lian. Rambutnya berantakan, bibirnya sedikit terbuka, bahkan ada bekas bantal di pipinya. Sama sekali tidak anggun. Tapi justru karena itu—terlalu nyata, terlalu jujur—ia merasa sesuatu yang asing mengisi dadanya.
“…Random sekali,” gumamnya, kali ini dengan senyum samar.
Rasanya seperti terjebak dalam sebuah permainan aneh yang tidak ia pahami aturannya. Tapi untuk sekali ini, ia tidak ingin buru-buru keluar. Ia biarkan dirinya menikmati absurditas itu—sekadar jeda dari dunia yang selama ini selalu menuntutnya untuk waspada.
Matanya perlahan terpejam kembali, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tertidur tanpa mimpi buruk.
Cahaya matahari pagi menembus celah tirai, menyapu lembut kamar kecil itu. Bai Lian menggeliat, lalu mengerjap-ngerjapkan mata. Ia meraba bantal gulingnya… tapi aneh, kenapa guling itu terasa keras sekali?
Saat matanya benar-benar terbuka, ia hampir menjerit—guling yang ia peluk sepanjang malam ternyata bukan guling, melainkan lengan Liang Xun!
“A—ah!” serunya pelan, buru-buru melepaskan pelukan dengan wajah memerah.
Liang Xun membuka mata dengan tenang, matanya setengah terpejam, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Jadi sekarang aku gulingmu, hm?” suaranya serak karena baru bangun tidur, tapi justru terdengar lebih dalam dan… berbahaya.
Bai Lian makin panik. “S-salahmu! Kenapa kau tidak bilang kalau—kalau aku—eh, pokoknya salahmu!”
Liang Xun menatapnya sebentar, lalu malah tertawa kecil. Tawa itu ringan, tapi anehnya mampu membuat jantung Bai Lian berdebar lebih cepat. “Tenang saja. Aku tidak keberatan.”
“Tidak keberatan?!” Bai Lian hampir melempar bantal ke wajahnya. “Aku kan… aku kan… ASTAGA! Ini memalukan sekali!”
Liang Xun bangkit dari tempat tidur, berjalan ke arah dapur kecil tanpa menanggapi dramanya. “Kalau begitu, untuk menebus rasa malu itu, buatkan aku kopi. Hitung saja ini sebagai hukuman.”
Bai Lian ternganga. “Hei! Kau pikir aku pembantu rumah tangga?!”
Tapi pria itu hanya mengangkat bahu santai, mengambil gelas, dan dengan wajah dingin berusaha menyembunyikan senyum yang sejak tadi tak bisa benar-benar ia tahan.
Bai Lian menatapnya sebal sambil meraih bantal guling, memeluknya lagi. Namun jauh di dalam hatinya, ada perasaan aneh—hangat sekaligus canggung—yang tak bisa ia definisikan.
-To Be Continue-
