Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Kala Melepas Rindu

****

+6289978781213:

Aku mencintaimu, takbisa hidup tanpamu. Tolong, hargai perasaanku. Kamu tidak pernah tahu bagaimana derita hatiku. Setiap hari hanya memikirkan. Kamu juga tidak tahu 'kan? Seberapa besar dalamnya luka hati ini. Kamu juga tidak tahu, seberapa besar pengaruh cintamu untuk hidupku.

**

Aku kembali membaca pesan tanpa nama itu. Menelisik dari kata-katanya, aku berpikir apakah itu Kusuma? Namun, tidak mungkin, aku tidak pernah memberikan nomor yang sekarang padanya.

Aku mengusap wajah, merasa aneh dengan semua ini. Sejauh ini, aku juga tidak pernah mengumbar janji kepada wanita di luar sana. Lalu, siapakah pemilik nomor ini? Di satu sisi aku sangat penasaran, tetapi di sisi lain aku takut rasa penasaran itu menjadi bumerang untukku.

Kepalaku terasa sakit memikirkan semuanya. Pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh siapa pun itu, membuat mata ini enggan dipejamkan. Aku menghela napas dalam-dalam, mungkin akan lebih baik aku abaikan saja pesan itu. Bisa saja hanya orang iseng, dan kurang kerjaan.

Aku letakkan ponsel di meja, lalu naik ke ranjang. Andin sudah tertidur lelap, dasternya yang tersingkap hingga paha membuatku ‘Ingin’. Namun niat itu aku urungkan, tidak tega membangunkan Andin. Memang, sejak dia hamil aku jadi sering menahan hasrat. Hal itu juga yang membuat aku berontak, ketika pertama kali bertemu Kusuma. Hais, dasar payah!

Netra ini menatap lurus ke lampu kamar yang redup, seperti itulah hidupku sejak memutuskan untuk pergi meninggalkan Kusuma. Wanita itu, sulit sirna dari ingatanku, apalagi semenjak kami bertemu kembali. Robb ... jangan biarkan hati ini kembali berangan-angan akan indahnya dosa di masa silam. Aku sudah berusaha sekian tahun untuk melupakannya. Memilih untuk menempuh hidup yang baru, tetapi kenapa takdir justru membuat kami bertemu kembali.

Kota Bekasi ini, aku rasa sudah sangat jauh dari Kota Padang. Lalu, kenapa aku masih bertemu lagi dengan Kusuma? Apakah ini kebetulan, atau memang sudah menjadi takdir yang dibuatkan untuk kami. Aku berpikir untuk lari saja dari kita ini. Mungkin, aku bisa memboyong Andin ke Kota Asahan. Apakah itu bukti bahwa aku pengecut?

Ponselku tiba-tiba berdering, sepertinya ada panggilan masuk. Aku bangkit dari pembaringan, melangkah menuju meja rias. Jantung ini langsung berdebar ketika melihat nomor siapa yang sedang memanggil. Agak ragu, tetapi tetap aku angkat.

“Hallo?” Ponsel aku tempelkan di telinga, di ujung sana aku tidak mendengar apa-apa, beberapa saat kemudian panggilan itu berakhir.

Aku menjadi dongkol, benar-benar orang yang kurang kerjaan. Rasa gerah muncul begitu saja, aku putuskan untuk mendinginkan tubuh ke teras. Sudah pukul 23.44, suasana sudah sepi, aku buka pintu menjatuhkan diri di kursi santai yang ada di teras. Ponsel masih aku genggam, hanya sesaat aku duduk ponsel itu kembali berbunyi dengan nada yang berbeda.

Dengan rasa penasaran, aku kembali membuka pesan dari nomor yang sama, seperti yang masuk sore tadi.

**

+6289978781213:

Suaramu merdu. Aku rindu ...!

Me:

Maaf, Anda ini siapa? Dari mana dapat nomorku?

+6289978781213:

Kamu serius mau tahu?

Me:

Ya!

+6289978781213:

Lihatlah ke sekitarmu! Aku sedang menatapmu di bawah cahaya rembulan. Datanglah kemari!

**

Spontan aku menoleh ke arah rumah Kusuma. Betapa aku terkejut di sedang duduk di teras rumahnya. Rambutnya tergerai begitu saja. Apakah dia sudah kehilangan akal? Apa yang dia lakukan di luar tanpa menutupi rambutnya. Aku melihat Kusuma menunduk, mungkin sedang mengetik pesan lagi.

**

+6289978781213:

Kamu tidak merindukan aku? Bukankah sudah lama kita tidak bertemu?

**

Tenggorokanku terasa kering, sekali lagi aku melihat ke arah Kusuma. Tampak jelas dia tersenyum, sembari mengibaskan rambutnya. Mungkinkah dia sedang mabuk?

**

Me:

Apa yang kamu lakukan, Dik?

+6289978781213:

Seperti yang kamu lihat. Aku tengah merindukan aroma tubuhmu. Entah kapan aku bisa menghirup keringatmu yang memabukkan itu.

Me:

Jangan seperti itu, Dik. Jangan jatuhkan harga dirimu seperti itu.

+6289978781213:

Harga diriku sudah lama jatuh! Kamulah penyebabnya! Janjimu palsu, Bang! Kau menghilang setelah memutuskan cinta sepihak. Ternyata kamu sudah dirampas oleh wanita murahan itu!

Me:

Apa maksudmu?

**

Aku syok membaca pesan Kusuma yang terakhir. Sementara dia sudah tidak ada lagi di teras. Mungkin dia sudah masuk ke rumahnya.

**

Me:

Jelaskan, Dik. Apa yang kamu bicarakan? Wanita murahan? Siapa yang kamu maksud?

+6289978781213:

Jika kamu ingin tahu, Bang. Ayo kita ketemuan!

**

Ketemuan? Tidak! Mungkin, Kusuma hanya ingin menjebakku. Dia sengaja menerorku seperti itu, tetapi aku tidak akan gampang percaya. Jika bertemu dengannya, aku takut! Takut tidak bisa menahan diri. Seperti waktu itu, perjumpaan melepas rindu setelah sekian lama bertemu. Aku jadi tak bisa membayangkan jika itu terjadi lagi. Seperti kisah di masa lalu itu, sekitar beberapa tahun silam.

****

Pertemuan pertama aku dan Kusuma di sebuah hotel, di Kota Padang. Kusuma bersedia mengeluarkan uang untuk biaya penginapan hotel. Sebenarnya aku agak sungkan, tetapi mau bagaimana lagi, ongkos Medan ke Padang cukup menguras kantong.

Di kamar hotel, kami saling melepas rindu bak sepasang kekasih yang lama tak berjumpa. Memang, kami sudah sangat lama tak bersua, ini kali pertama setelah aku kembali ke Medan.

“Abang lagi capek?” tanya Kusuma membuka kerudung yang menutupi sampai dadanya itu.

“Loh, kerudungnya jangan dibuka, Dik.” Protesku kurang suka, karena itu membuatku menjadi sulit menahan diri.

"Kenapa, Bang? Abang jadi nafsu ya?" Kusuma malah cekikikan menutup bibirnya yang tipis itu.

Sebenarnya di mataku Kusuma adalah wanita yang sangat sempurna. Kulitnya putih bersih, dengan pipi agak berisi, alis yang rapi, mata sedang dengan bulunya yang lentik, dan sepasang bibirnya yang tipis merah merona. Kusuma juga memiliki bentuk tubuh yang ideal. Pinggangnya ramping, membuat pinggulnya lebih terekspos, apalagi seperti saat ini, Kusuma memakai setelan baju panjang berkancing dipadu celana panjang. Laki-laki mana yang tidak akan mabuk olehnya?

Kusuma beranjak mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dia mengeluarkan laptop, lalu membawanya ke tempat tidur. Dengan cekatan tangannya mulai membuka, dan menyalakan benda itu.

Dari pembaringan, aku dapat mencium wanginya parfum yang dipakai oleh Kusuma. Berada di satu ruangan yang sama, tertutup rapat membuatku jadi berhalusinasi, andai saja kami sudah menikah, tentu kami bisa saling melepas hasrat. Aku sampai memejamkan mata membayangkan pergumulan kami di ranjang.

"Abang kenapa? Merem melek seperti itu, hayo lagi mikirin apa," ucap Kusuma mendekatiku. Aku jadi salah tingkah, tidak mungkin aku berkata jujur padanya.

"Nggak ada, Dik. Kecapean aja, dua hari semalam di bus," ucapku berkelit.

"Nonton yuk, Bang."

"Nonton apa?"

"Film." Kusuma membawa laptop ke dekatku, lalu meletakkannya di depan kami.

"Film apa sih, Dik?"

"Abang pengennya nonton apa?" tanya Kusuma menatapku lekat. Ditatap seperti itu, rasanya bunga-bunga berhamburan di kamar ini. Ingin rasanya aku menarik dagunya, lalu menciumnya lama.

"Aku nggak tahu, Dik. Nggak hobi nonton soalnya."

"Ya sudah, aku putar film romantis aja ya, Bang. Tapi awas kalau nggak ikut nonton." Kusuma mulai memainkan kursor dengan lincah. Lalu dia meng-klik satu file yang segera diputar.

"Bukan film anu kan, Dik?"

"Is, Abaaaang. Sering nonton begituan ya?" Kusuma mencubit pipiku manja.

"Enggaklah, enak saja nuduh."

"Eh, tapi Abang pernah nggak nonton film begituan?"

"Menurut kamu?" Aku balik bertanya, Kusuma menjawab dengan gelengan. Pikiranku tiba-tiba menerawang ke rumah di mana aku dilahirkan.

"Abang yang lebih tahu," ucap Kusuma lagi.

"Abang nggak mau menonton begituan, tetapi justru sering melihatnya secara langsung." Kutatap wajah Kusuma. Tampak dia sangat syok dan menatap tajam.

"Maksud Abang apa?"

Aku bangkit, lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Tatapanku beralih ke jendela yang tertutup rapat. Haruskah aku menceritakan aib ibuku pada Kusuma?

"Kok malah bengong, ceritakan, Bang!" Kusuma memaksa.

"Katanya mau nonton," ucapku tersenyum menatap film yang sedang berlangsung.

"Sebenarnya aku sudah selesai nonton film itu, Bang. Tapi pengen nonton sama Abang." Kusuma menggeser duduknya, mendekat bahkan sangat dekat. Lalu dia memelukku, menempelkan kepalanya di dadaku.

"Ya, sudah ayo kita nonton," ajakku mengusap rambut Kusuma. Dia mendongak lalu menatap mataku.

"Abang semakin ganteng saja," ucapnya memuji.

"Mau nonton, kan?"

"Eh, iya." Kusuma melepas pelukannya. Lalu kami duduk mulai memperhatikan film.

"Bang, selama di sana. Abang tidak duakan aku, 'kan?"

"Nggak kok, Dik. Di sana aku sibuk kerja, pergi pagi pulang tengah malam."

"Memangnya nggak ada cewek yang dekati Abang?"

"Hmm, ada sih."

"Terus?"

"Ya, Abang kan sudah punya pacar nggak ada terusnya."

"Eh iya, Bang. Teman-teman aku ikut histeris melihat foto Abang. Mereka sampai minta dikenalkan, kadang juga ikut ngomporin juga. Katanya 'Hati-hati loh, Ma. Cowok cakep kayak gitu pasti banyak yang mau. Awas! Ntar disambar wanita lain,' begitu kata temanku, Bang."

"Nggak mungkinlah, Dik. Aku kan sudah janji. Lagian aku sudah punya kamu."

Kusuma tersenyum, lalu meraih tanganku, menggenggamnya erat. Kami teruskan nonton film itu. Beberapa saat berlalu, Kusuma tiba-tiba mempercepat menit filmnya."

"Loh, kok dipercepat, Dik?"

"Nggak apa-apa kok, Bang. Itu tadi ada adegan agak gimana gitu."

"Wah ... Bagus dong."

"Is, Abang pengen liat?"

"Iya, ngapain nonton dipercepat seperti itu. Nggak seru."

Kusuma pun kembali memutar adegan yang sengaja dia lewatkan. Di situ aku melihat sepasang kekasih yang sedang berciuman. Duh, tiba-tiba aku jadi 'Ingin'.

"Abang lihat apa tadi?" Kusuma mematikan film yang belum selesai.

"Nggak lihat, Dik."

"Is, aku bosan," Kusuma segera mematikan laptop.

"Loh, kok dimatikan?"

"Habisnya Abang bosanin sih. Memangnya Abang nggak rindu?"

"Rindu kok, Dik. Kamu bosan jadi pacar aku?"

"Bukan gitu, maksudnya tapi ...."

"Tapi apa? Apakah kamu ingin kita melakukan seperti di film itu?"

"Ha?!" Kusuma melotot.

"Memangnya boleh, Dik?" Kurangkul pundak Kusuma, wajah kami sangat dekat.

"Aku bisa saja melakukan semuanya, Dik. Tapi, kamu tahu tidak?! Semua berimbas kepada ibuku."

Aku melepas pundak Kusuma, pikiranku kembali ke kampung sana. Kutarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan sekali hentakan.

"Ibu ...? Ibu kenapa, Bang?"

Kusuma menatapku bingung, mungkin dia ingin tahu segalanya. Namun, aku masih berpikir. Apakah aku harus menceritakan semuanya?

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel