Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Kematian Nenek

Sepuluh tahun lalu, tepatnya ketika aku kelas dua belas SMK.

Usai rapat OSIS, Syahyono kembali menahan langkahku. Teman-teman yang lain sudah meninggalkan ruangan OSIS. Hanya tinggal aku dan Syahyono.

"Gimana, San? Udah final?" Syahyono memainkan alisnya. Aku masih bingung kemana arah pembicaraannya.

"Apanya, Yo?"

"Is, ketos kok lola. Aku yakin anak-anak milih kamu cuma modal tampang doang." Yono terlihat kesal, remaja berdarah campuran Jawa-Sumatera itu terlihat kesal. Bukan Yono namanya kalau tidak emosian dan suka merendahkan orang lain.

"Kalau ngomong yang bener," ucapku hendak beranjak keluar.

"Eh, eh, San. Mau kemana?"

"Ke kelas."

"Aku tahu kamu hanya orang kismin, San. Berdarah Medan, tetapi pengecut."

"Maksud kamu apa?"

"Saban hari kan aku tawari kamu. Semua itu nggak cuma-cuma kok. Kalau Kusuma mau menjadi pacarmu. Setiap bulan aku kasih kamu uang sampai kita tamat. Kalau Kusuma menolakmu juga, maka kamu harus mau kerjakan seluruh tugas sekolahku. Gimana, San?"

Dari pembicaraan Yono, aku dapat menyimpulkan bahwa dia ditolak oleh Kusuma. Namun, aku heran kenapa dia malah menyuruhku untuk menjadikan gadis itu pacar. Aku memang belum terlalu kenal dengan Kusuma, yang aku tahu dia juara umum di jurusan Perkantoran. Ya, aku hanya mengenalnya sebatas itu. Aku terlalu sibuk untuk memperhatikan para wanita di sekolah. Selain agar prestasiku tidak menurun, setiap hari aku juga disibukkan oleh kerja sampingan. Meskipun begitu, sebagai orang miskin seperti yang dikatakan Yono, aku cukup tertarik dengan tawaran itu.

"Berapa duit?"

"Hehehe, jadi kamu mau terima tantangan itu?" Yono tampak senang sekali. Aku mengangguk sebagai bukti bahwa aku menyetujui semuanya.

"Nah, gitu dong. Tampang oke, badan juga oke, masa jomblo. Malu, Bro."

"Banyak bacot. Duitnya berapa?"

"Dua ratus sebulan, gimana?"

"Halah, ogah ah, Yo."

"Aku naikin deh jadi empat ratus gimana?"

"Kurang, Yo. Kamu kan tahu, misal aku diterima, sudah pasti butuh dana lebih untuk beli pulsa dan lain-lain."

"Iya juga sih, belum lagi kalau ngajak gituan. Ya sudah, lima ratus deh. Deal?"

"Deal!" Kami saling berjabat tangan, sebagai tanda saling setuju.

Aku kembali ke kelas, sengaja mengambil jalan memutar ke kelas dua belas Administrasi Perkantoran. Di jurusan Perkantoran, aku mengenal seorang teman cewek. Dia adalah salah satu anggota OSIS, tentu saja aku bisa minta bantuan pada Siti.

Rasa gugup dan gengsi berusaha aku hempaskan. Ah, terlihat murahan, hanya karena uang aku justru menambah kesibukan baru nantinya. Sejauh yang aku dengar dari teman-teman yang sudah mahir pacaran. Si cowok juga harus meluangkan banyak waktu, hanya untuk membuat pacarnya nyaman. Sementara aku, belum pernah demikian. Apalagi aku hanya dibesarkan oleh nenek seorang. Ayahku pergi setelah menceraikan Ibu, sementara Ibu ikut minggat dari rumah. Hal itu juga yang membuat nenek memilih kembali ke Padang, meninggalkan kakek di tanah Medan. Keluarga yang hancur, bukan?

Sesampainya di teras kelas AP¹, beberapa perempuan sengaja keluar, termasuk Siti. Gadis itu menghampiriku, membuat aku menjadi salah tingkah. Apakah aku langsung to the point saja?

"Eh, tumben ketos kemari. Perasaan baru selesai rapat deh." Siti duduk tak jauh dariku.

"Hehe. Ada urusan pribadi, Ti. Kamu mau kan bantu aku?"

"Untuk ketos apa sih yang enggak. Bantu apa, San?"

"Hmm, kamu punya nomor Kusuma?" Tanpa panjang lebar, aku langsung menanyakan nomor kontak Kusuma.

"Uhum, ternyata selera kamu cewek seperti itu, San?"

"Loh, memangnya kenapa? Dia wanita yang cerdas 'kan?"

"Iya, sih. Sebentar ya, aku izin ke orangnya dulu."

"Jangan, Ti. Nanti biar aku yang minta izin langsung."

Siti tertawa ngakak, secepat mungkin dia menutup mulutnya.

"Iya, tenang saja. Nanti aku kirim ya, aku masuk dulu." Siti berlalu dari hadapanku. Terpaksa aku harus menunggu sampai Siti memberikan kontak Kusuma. Setidaknya, aku masih ada waktu untuk mempersiapkan mental.

*****

Sudah seminggu aku di rumah sendirian. Hari ini Andin akan kembali ke rumah ini. Aku sudah rindu kepadanya, entah kenapa jika dia ke rumah ibunya, pasti jarang berkomunikasi denganku. Mungkin, dia tidak ingin ada yang mengusik waktu dengan keluarganya.

Sudah seminggu juga, aku tidak pernah lagi melihat Kusuma duduk di teras rumahnya. Aku rasa kejadian waktu itu membuatnya trauma dan sangat tak nyaman.

"Baaaaang, aku pulang." Itu suara Andin. Aku segera menyusulnya ke luar.

Andin terlihat semakin cantik dengan daster selutut yang dia kenakan. Aku sampai tak berkedip melihat penampilan. Cantik sekali!

"Makasih ya, Bang. Abang sudah urus bunga-bungaku." Andin mendekat lalu mencubit pipi ini. Perutnya yang mulai membesar itu langsung aku elus. Kami pun masuk ke rumah.

"Sayang, kamu pulang kok nggak kasih kabar?"

"Loh, memangnya kenapa, Bang?"

"Enggak sih, lain kali kalau mau pulang kasih kabar dulu. Jangan pulang mendadak seperti ini."

Andin langsung cemberut, dia masuk kamar begitu saja. Aku ikuti dia ke kamar, wanita berpipi tembem itu asik dengan ponselnya. Kadang-kadang, aku merasa ada yang aneh dengan Andin. Sebenarnya dia mencintaiku atau tidak sih?

"Sayaaaaang, aku ngomong sama kamu loh."

"Iya, ngomong aja, Bang. Aku dengar kok."

"Bisa nggak, Yank. Kalau udah di rumah tinggalkan ponsel dulu?"

"Mau Abang apa sih? Aku jadi sedih nih. Harusnya Abang bisa ngertiin aku. Sesekali bisa kan jangan ganggu aku."

Eh, kok tiba-tiba Andin bicara seperti itu? Perasaan selama kami menikah aku tidak pernah berbuat yang macam-macam. Aku tidak pernah memaksanya, dan tidak pernah terlalu mengatur, mengekang, dan lainnya. Lalu, kenapa dia berkata demikian?

"Sebenarnya aku hanya rindu, Dek. Kamu pergi seminggu, selama itu juga aku menahan rindu. Aku berharap untuk ke depannya kamu bisa mengurangi kebiasaan itu."

Aku terus terang dengan perasaan ini. Andin hanya diam tanpa melepaskan ponselnya. Kami sudah menikah selama dua tahun, sejak Andin hamil sikapnya jadi berubah drastis. Ya, aku berpikir mungkin itu bawaan hamil. Namun, jika begitu terus aku jadi tak tahan juga.

Aku memilih untuk menenangkan diri di luar. Seperti biasa, aku akan menikmati waktu senja tiba, sampai malam menjelang. Baru sebentar aku duduk, ponselku berbunyi menandakan ada pesan yang masuk.

+6289978781213:

Kasihan sekali kamu!

Satu pesan dari nomor yang tidak dikenal. Siapa ini? Maksudnya apa mengirimkan pesan seperti itu?

Me:

Salah sambung!!!!!!!

+6289978781213:

Bukan! Pesan ini memang untuk kamu. Kesepian? Aku bisa mengisi hari-harimu.

Me:

Kamu siapa?

+6289978781213:

Lihatlah ke sekitarmu. Aku di sini.

Aku melirik ke arah rumah Kusuma. Namun, hasilnya nihil tidak ada siapa-siapa di sana. Pintu rumah Kusuma tertutup dengan rapat.

Kenapa aku berpikir nomor iseng ini Kusuma? Mungkinkah aku masih ....

"Bang, kamu lagi ngapain?" Tiba-tiba Andin muncul di ambang pintu.

"Nggak ada, Dek. Kamu butuh bantuan?"

"Pinjam aku hp kamu, Bang."

"Untuk apa?"

"Sebentar," Andin langsung merampas ponselku. Itu sudah kebiasaannya, seakan tidak menghargai aku sebagai suaminya.

Aku hanya bisa bersabar dengan sifat manjanya itu. Memang, Andin adalah anak orang kaya. Aku menikahinya, setelah bekerja di bengkel milik ayahnya. Sekarang bengkel itu aku yang kelola. Ayah mertua memang terlihat keras, tetapi tidak aku pungkiri ia sudah banyak berbuat baik padaku. Hingga pada akhirnya aku tak mampu menolak permintaannya, agar menikahi Andin.

Semua itu adalah alasan kenapa aku memutuskan hubungan dengan Kusuma. Ah! Ternyata aku hanyalah laki-laki yang pengecut. Betul seperti yang dikatakan Syahyono dulu, aku laki-laki berdarah Medan, tetapi sangat penakut dan pengecut. Konsekuensinya, aku sampai mengorbankan Kusuma, meninggalkannya, pergi hanya meninggalkan satu pesan, tanpa berani untuk menemuinya.

****

Beberapa bulan usai kelulusan sekolah ....

Kematian nenek membuatku terpaksa memutuskan kembali ke tanah kelahiranku. Rencana kuliah pun aku tinggalkan begitu saja. Aku berpikir untuk kerja saja, agar bisa punya modal, merintis usaha, lalu segera menikahi Kusuma.

Di bawah langit cerah yang dihiasi bulan dan bintang. Aku pamit pada Kusuma. Kami duduk di kursi santai di depan rumah Kusuma. Berkat bantuan uang yang diberikan Yono, aku bisa membeli motor second. Cukup membantu juga, dengan begitu Kusuma tidak repot-repot lagi menjemputku.

"Abang mau bicara apa?"

"Dik, aku mau kembali ke Medan."

"Abang nggak jadi kuliah?"

"Mungkin lebih baik aku mencari kerja, Dik."

"Kenapa harus ke Medan? Kenapa Abang tidak kerja di bengkel waktu itu."

"Gajinya terlalu kecil, Dik. Aku mau kerja di bengkel yang besar. Agar bisa menghidupi kita kelak."

"Kenapa tidak kerja di sini saja, Bang? Atau Abang cuma ingin lari dariku?" Mata Kusuma mulai berembun.

"Bukan, Dik. Di sini tidak ada siapa-siapa lagi. Nenek sudah meninggal, kalau aku kembali ke Medan, mungkin aku masih bisa bertemu Ibu."

"Lalu aku ini apa, Bang?"

"Kamu pacarku, wanita yang akan menjadi ibu untuk anak kita kelak."

"Apakah Abang pikir hubungan jarak jauh bisa diandalkan?"

"Kita fokus ke karir dulu, Dik. Kamu capai cita-citamu. Lalu, aku capai cita-citaku."

"Sebatas itu hubungan selama ini, Bang? Sudah setahun lebih kita pacaran. Kamu tega meninggalkan aku." Air mata Kusuma mengalir membasahi pipinya. Aku jadi serba salah, apakah harus memeluknya untuk membuatnya tenang. Namun, aku takut kami mengulang dosa waktu itu.

"Dik, aku janji akan datang melihatmu ke Padang. Bagaimanapun caranya, akan aku usahakan."

"Benarkah, Bang? Kamu janji? Apakah kamu siap berkunjung sekali tiga bulan?" Kusuma menatapku lekat.

"Iya, Dik. Akan aku usahakan."

"Aku takut nggak kuat, Bang." Kusuma menenggelamkan wajahnya di telapak tangan.

"Nggak kuat menahan rindu?"

"Tentu saja, apakah Abang tak akan rindu padaku?"

"Tentu saja, Dik. Tetapi aku sudah janji padamu. Ya sudah, hapus air matamu, Dik. Nanti cantik wajahmu luntur."

"Abang berangkat kapan?"

"Mungkin besok siang, Dik."

"Secepat itu?"

"Iya, Dik. Lebih cepat lebih baik. Sudah malam, aku pulang dulu ya. Sabar ya, Sayang." Aku segera berdiri, lalu mengusap pucuk kepala Kusuma yang ditutupi kerudung sebatas dadanya.

"Abang ...." Kusuma menangkap tanganku ikut berdiri, sebelah tanganku dia genggam kuat.

"Ada apa, Dik?"

"Aku kangen." Kusuma menunduk lalu membawa tanganku ke pipinya.

Aku berpikir mungkinkah Kusuma ingin aku melakukan itu lagi? Setelah sekian lama kami berusaha menjaga batas-batasnya. Dada ini menjadi berdebar-debar, kutatap wajah Kusuma lekat, pantulan cahaya rembulan yang samar, tidak menjadi penghalang melihat wajah cantiknya. Apalagi lampu teras rumah Kusuma begitu terang.

Kusuma melepas genggaman tangannya di pergelanganku. Dia biarkan aku mengontrol gerakan tangan di pipinya. Kuusap lembut setiap inci kulit wajahnya yang halus. Kusuma memejamkan matanya, seakan meresapi sensasi dari setiap sentuhanku.

Aku melangkah lebih dekat, membingkai wajah Kusuma dengan kedua tanganku. Mata Kusuma terbuka, kedua tangannya menyentuh lenganku. Kami saling menatap dengan perasaan masing-masing.

"Bang, aku sendirian di rumah. Ayah dan Ibu sedang pergi, akan kembali besok siang."

Ucapan Kusuma seperti benteng kokoh yang sudah roboh. Seakan-akan isyarat bahwa dia mengizinkan aku masuk. Namun, aku masih mengutamakan logika untuk tidak mengulang dosa itu.

"Jangan, Dik. Sudah malam, aku harus pulang." Aku mencoba menghindar, karena memang malam semakin larut, jarak rumah Kusuma ke rumah mendiang nenek memakan waktu satu jam perjalanan. Aku tidak mau kemalaman di jalan.

"Kenapa Abang tidak tidur di sini saja?"

Aku terkejut mendengar penuturan Kusuma. Apakah dia sudah hilang akal? Menginap di rumahnya? Tentu saja akan membuat celah itu semakin besar.

"Aku takut, Dik." Aku lepaskan wajah Kusuma, kembali duduk di kursi.

"Jika Abang takut, lalu kenapa dulu melakukan itu?"

"Kenapa kamu bahas itu lagi, Dik? Apakah kamu ingin kita mengulang dosa itu? Kamu senang aku menjadi laki-laki yang berengsek?" Aku bicara penuh penekanan.

Kusuma menunduk dalam-dalam, isakannya kembali terdengar. Aku jadi merasa bersalah sudah membuatnya bersedih.

"Maafkan aku, Dik."

"Gelas yang retak tidak akan pernah kembali utuh, Bang. Abang sudah meretakkan gelas itu." Kusuma kembali menangis.

"Aku memang sudah merusakmu, Dik. Karena itulah aku ingin memperbaiki semuanya. Sabar ya, Dik. Aku janji akan menghalalkanmu."

"Jadi, kamu tidak mau nginap di sini, Bang? Aku kesepian, ayah dan ibu tidak pernah mengerti perasaanku. Sejak Abang menjadi pacarku, hidupku jadi lebih berwarna."

"Jangan menangis lagi." Kuusap wajah Kusuma yang sudah basah oleh air mata. Sebelum pergi, aku kecup keningnya beberapa saat, lalu melangkah meninggalkannya, tanpa berani menoleh ke belakang.

Di perjalanan, kepalaku menjadi pusing. Merasa menyesal sudah menolak tawaran Kusuma. Ah, sudahlah! Aku jadikan rindu yang tertahan ini, menjadi motivasi agar lebih keras lagi menggapai cita-cita.

****

"Bang, ini siapa?" Andin kembali membawa ponselku di tangannya.

"Nggak tahu."

"Jangan-jangan, itu selingkuhanmu, Bang?" Andin langsung menuduh tanpa bukti.

"Aku nggak selingkuh, Dek."

"Lalu ini apa?!" Andin menunjukkan satu pesan panjang dari nomor yang masuk tadi.

Aku melotot, melebarkan mata, tetapi aku jujur tidak mengenal nomor itu. Selama ini pun aku tidak pernah bermain api di luar sana.

"Kamu mau ngeles gimana lagi, Bang?" Suara Andin mulai meninggi. Aku terpaksa menuntunnya masuk ke rumah. Tidak enak jika sampai didengar Kusuma.

"Lepaskan aku, Bang. Jelaskan semua ini, tega ya kamu. Aku ini sedang hamil anak kamu, Bang. Tega-teganya kamu selingkuhi aku." Andin memukul dada ini. Aku biarkan dia puas melampiaskan amarahnya itu.

"Dek, kalau aku selingkuh mana mungkin aku mau meminjamkan ponselku padamu. Coba pikir pakai logika."

Andin berhenti memukul, dia mendongak menatapku dengan matanya yang basah.

"Kamu nggak bohong, Bang?"

"Aku berkata jujur."

"Maafkan aku," Andin memeluk tubuh ini. Aku pun membalas pelukannya.

"Awas saja kalau kamu selingkuh, Bang. Aku sunat kamu sekali lagi."

Aku terkekeh mendengar ancaman Andin. Jika dia menyunatku sekali lagi. Lalu bagaimana aku bisa memberikan nafkah batin untuknya. Istriku belum juga bersikap dewasa.

Aku kembali menatap pesan itu. Timbul pertanyaan besar. Siapakah dibalik nomor ini?

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel