Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. Tiga Hari Bersama

*****

“Ibu kenapa, Bang?” Kusuma kembali menerorku dengan pertanyaan itu.

“Ibu ... Ibu menjadi wanita malam, Dik.” Aku tatap Kusuma, ingin tahu bagaimana reaksinya.

“Abang serius? Lalu, apakah Abang jijik melihat ibu?” Wajah Kusuma tampak menegang.

“Ya, tentu!”

“Berarti Abang juga jijik melihatku?” Kusuma menutup wajahnya dengan bantal.

“Eh, kenapa bicara begitu?”

“Bukankah aku tak ada ubahnya, Bang?”

“Jangan bicara seperti itu, Dik. Di mataku kamu bukan perempuan murahan, kecuali ....”

“Kecuali apa?” Kusuma membuang bantal asal.

“Kecuali, kamu melakukan dengan banyak laki-laki. Lagi pula selama pacaran kita hanya melakukan sekali kan, Dik? Selebihnya kita cuma pelukan dan ciuman.”

“Bukankah itu sama saja, Bang?”

Aku diam sejenak, mencoba berpikir sekaligus berusaha memilih kata-kata yang tepat. Jika dilihat dari hukum agama, tentu apa yang kami lakukan sudah sangat fatal. Bahkan kami harusnya sudah dicambuk seratus kali. Namun, aku pribadi tetap meyakini bahwa, apa yang kami lakukan adalah dosa besar. Walaupun sejauh ini aku masih ingin melakukannya lagi.

“Sudahlah, Dik. Lupakan saja. Besok kamu ke kampus?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Nggak, Bang. Besok aku libur.”

“Kamu bolos, Dik?”

“Enggak kok, Bang. Besok memang libur. Abang kapan pulang?”

“Mungkin dua hari lagi.”

"Cepat sekali, Bang. Kenapa tidak seminggu lagi?" Kusuma terlihat kecewa.

"Aku kerja sama orang, Dik. Mana bisa libur seenaknya saja. Lagian aku takut kita memupuk dosa lebih banyak lagi."

Huft! Kusuma mendesah resah, aku bisa menebak dia menginginkan sesuatu, tetapi mungkin dia malu. Aku tersenyum tipis, mencoba untuk menghiburnya. Wajah kecewanya masih saja tak berubah. Kucubo untuk mengurai rambutnya yang hitam berkilau itu. Menyisipkan anak rambutnya di balik telinga. Semua itu membuatku leluasa menatap leher jenjangnya. Leher yang pernah aku rasakan kelembutannya itu.

"Is, kok kusut gitu sih?" Kucubit pipi wanita yang ada di depanku. Dia malah semakin merajuk, memonyongkan bibirnya.

"Adik minta apa dari Abang?" tanyaku lagi. Kusuma masih diam menekuk wajahnya. Sepertinya dia sedang menginginkan sesuatu.

"Bilang saja, Dik. Kalau sanggup aku belikan." Aku masih belum paham apa yang diinginkan Kusuma. Dia masih diam tak bersuara.

"Minta cium?"

"Ha?!" Kusuma kaget sekaligus melotot.

"Peluk?" ujarku. Kusuma mengembuskan napas.

"Atau dua-duanya? Hei, jujur saja, Sayang." Aku raih dagunya. Kusuma malah melipat tangannya di depan dada.

Huft! Aku merasa putus asa, segera bangkit dari kasur, menuju tas ransel yang aku bawa. Mengambil handuk dan pakaian buat ganti.

"Aku mandi dulu ya, Dik. Biar tidurnya enak," ucapku ngeloyor ke kamar mandi. Kusuma masih diam, tak menyahut. Ya sudahlah, mungkin dia memang benar-benar bosan.

***

Usai mandi, badan ini terasa segar dan lebih enakan. Ketika keluar dari kamar mandi, aku lihat Kusuma sedang tidur telentang di kasur. Dia menatapku lalu tersenyum, aku pun membalas senyumnya sambil mengeringkan rambutku yang lurus.

“Abang keramas?”

“Hmm, kenapa, Dik?”

“Habis ngapain kok keramas?” Pertanyaan Kusuma membuatku mengernyitkan dahi. Memangnya orang junub doang gitu yang boleh keramas.

“Nggak ngapa-ngapain, cuma kepengen mandi keramas aja sih, biar segar.” Aku keringkan handuk, menggantungnya asal. Lalu, menyusul Kusuma ke ranjang.

“Adik pengen apa tadi?” Kutatap wajah Kusuma, rambut lurusnya terlihat sedikit kusut.

“Ceritakan apa yang Abang lihat.”

“Tentang apa?”

“Soal beberapa waktu lalu.”

“Untuk apa sih, Dik?”

“Aku masih penasaran, Bang. Ayo, ceritakan. Aku cuma minta itu.”

“Serius?”

“Iya, serius.”

Aku kembali menerawang ke kampung halaman, sambil berpikir apakah tepat jika aku menceritakan hal tabu seperti itu? Apalagi itu menyangkut aib ibu kandungku. Wanita yang sudah melahirkan aku, dan mengalir air susunya di darahku. Ya, walaupun aku tidak setuju dengan kebiasaan ibu.

“Aku takut, Dik.”

“Is, Abang takut apa? Aku janji tidak akan menceritakan kepada siapa pun.”

“Abang takut terbawa suasana, nanti malah pengen gituan.”

“Kalau iya, mah nggak apa-apa, Bang. Lora saja setiap minggu main sama pacarnya.” Kusuma bicara dengan begitu entengnya. Mungkinkah, dia sudah terpengaruh oleh pergaulan yang salah?

“Dik ... Kamu ....” Kusuma menarik lenganku, membuatku terhuyung ke arahnya. Kemudian dia mengalungkan kedua tangannya di leher ini.

“I love you,” ucap Kusuma menarik tubuhku. Jarak wajah kami semakin dekat.

“Dik, kamu? Love you to,” tatapan dan senyuman Kusuma membuatku tergoda. Apalagi aroma tubuhnya melekat kuat di Indra penciuman ini. Bayangan erotis di kampung halaman sana membuatku jadi bergairah. Kusuma memejamkan matanya, seakan sudah pasrah menerima apapun yang akan aku perbuat.

Tatapan ini terpesona melihat bibir Kusuma yang tertutup rapat. Tak tahan lagi, segera kusambar bibirnya, mengecupnya lembut. Belum ada balasan dari Kusuma, namun pagutannya semakin erat. Awal yang membuat tubuh memanas itu, membuatku melakukan lebih. Seperti waktu itu, ciumanku berpindah ke leher jenjangnya, mengecupnya lembut. Membuat Kusuma tak tahan menahan desahnya. Setelah itu, kami semakin lupa diri, bahkan pura-pura tidak ada Tuhan yang sedang mengawasi kami. Pergumulan itu berujung dengan nafas yang terengah-engah, melepaskan puncak dahaga berahi.

Kusuma menenggelamkan wajahnya di dada bidangku. Beberapa saat kemudian, aku merasakan dadaku yang telanjang tanpa busana, basah oleh air matanya. Aku terkesiap, menarik wajah Kusuma, ternyata dia menangis.

Kuhapus air matanya dengan pipi ini, Kusuma semakin terisak, lalu memelukku semakin erat. Tubuh kami kembali menempel bersatu dengan keringat kenikmatan yang baru sekejap berlalu. Aku biarkan Kusuma melepas seluruh emosi jiwa yang sedang dia rasakan. Walaupun aku tidak tahu pasti apa yang membuatnya terisak.

“Bang, aku takut,” ucap Kusuma dalam isakan.

“Takut hamil, Dik?” tanyaku mengusap rambutnya. Kusuma menggeleng.

“Lalu?”

“Aku takut kehilangan kamu, Bang.”

“Aku janji tidak akan meninggalkanmu, Dik. Aku bukan laki-laki yang hanya mengumbar janji palsu. Maafkan aku sudah melakukannya lagi. Itu artinya aku sudah menyentuhmu untuk kedua kalinya.”

“Jangan bicara begitu, Bang. Aku merasakan Abang laki-laki yang baik. Akulah yang sudah terbuai oleh godaan tersebut.”

“Tidak! Kita berdua salah, Dik. Namun, akulah yang lebih salah. Harusnya aku tidak terbuai dan memanfaatkan keluguanmu.”

“Abang, sudahlah. Aku akan baik-baik saja, asalkan Abang tidak pergi meninggalkanku.”

Aku mengangguk, membuktikan bahwa aku berjanji tidak meninggalkannya. Usai melakukan dosa itu, kami langsung membersikan diri mandi bersama. Selama berada di kamar mandi, aku terus melihat senyum yang terpancar dari bibir Kusuma. Oh, Robb ... Aku sudah merusak kehidupan seorang wanita yang lugu, dengan dalih hubungan yang tak halal ini.

Kusuma sebenarnya bukan gadis nakal yang gampang mengumbar kecantikannya. Semua itu terbukti ketika aku tahu, bahwa akulah cinta pertamanya, begitu juga sebaliknya Kusuma adalah wanita pertama yang aku cintai. Selain itu, Kusuma juga haus akan kasih sayang ayah dan Ibunya. Dia selalu merasa kesepian, karena ayah dan ibunya tidak terlalu memperhatikannya. Kehadiranku membawa warna baru dalam hidup Kusuma. Sungguh jahat! Aku sudah memanfaatkan itu semua.

Tiga hari lamanya kami melepas rindu, tetapi aku tidak melakukan itu. Selama tiga hari, hanya sekali kami melakukan aktifitas terlarang itu. Selebihnya, aku sengaja mengajak Kusuma jalan-jalan, menghabiskan waktu menikmati indahnya tempat wisata di Kota Padang. Pun, aku tidak mengizinkan Kusuma ikut tidur di kamar hotel. Semua itu agar kami tidak terbuai oleh rayuan syaitan.

Tiga hari terasa sangat singkat bagiku, aku segera membereskan barang bawaanku. Bahkan Kusuma pun bersikukuh untuk bolos karena ingin mengantarku ke terminal. Sebenarnya aku tak ingin dia ikut serta mengantar, karena akan membuat hati ini semakin berat untuk pergi.

“Abang, berjanjilah untuk tetap setia,” ucap Kusuma ketika kami sedang duduk menunggu kedatangan bus.

“Iya, Sayang. Aku janji.” Kusuma tersenyum, menggenggam erat jemari tangan ini.

“Abang, jangan lupa ke sini lagi, sesuai janji kamu dulu.” Kusuma kembali mengingatkan.

“Iya, Dik. Berjanjilah untuk serius mengikuti studymu. Gapai cita-citamu, seperti biasa kita akan tetap saling komunikasi, kecuali ketika aku sedang di bengkel.” Kusuma kembali mengangguk lalu tersenyum.

Entah kenapa ada rasa mengganjal di hatiku yang paling dalam. Setelah melebur rasa cinta bersama, meneguk kenikmatan surga dunia dengannya, aku malah pergi. Ingin rasanya aku segera menikahi Kusuma. Menjalani kehidupan rumah tangga, dengan berjuta ganjaran pahala. Bukan! Bukan seperti saat sekarang ini, kami menuai dosa di setiap helaan napas. Namun, untuk saat sekarang, aku belum mampu menghalalkan cinta kami.

“Bang,” suara Kusuma terdengar lirih.

“Iya, Dik.”

“Busnya sudah datang, Bang. Ayo, aku antar.” Kusuma berdiri, menggandengku. Aku pun ikut berdiri, kami berjalan beriringan menuju bus. Walaupun langkah ini terasa berat, dan tak tega meninggalkan Kusuma.

Aku berusaha tersenyum, walaupun terasa sulit. Ada benda runcing yang menusuk ulu jantung ini. Sakit! Sakit sekali ....

“Hati-hati ya, Bang.” Kusuma tersenyum dengan sudut mata yang sedikit basah. Ah, aku tidak kuat melihat tangisan perpisahan ini.

“Iya, Dik. Jaga dirimu baik-baik.” Sebelum menaiki bus, sekali lagi aku usap pipi Kusuma, tidak peduli dengan orang sekitar. Kusuma tersenyum dengan air mata yang sudah meleleh.

Merasa tak kuat melihat semua itu, aku segera naik agar tidak melihat air mata Kusuma. Segera duduk di bangku, sesuai tiket yang sudah aku pesan. Huft! Aku berharap hubungan kami baik-baik saja, lancar sampai jenjang pernikahan. Ketika bus mulai melaju pelan, masih aku sempatkan untuk menatap Kusuma yang berdiri menyeka air matanya.

Bersabarlah, Dik. Aku akan segera menghalalkan cinta kita. Aamiin ....

*****

Rasa dingin yang menusuk kulit membuat aku terbangun, ternyata aku ketiduran di teras. Rona fajar yang mulai membayang membuatku segera beranjak. Bukan untuk mengulangi tidur, melainkan mempersiapkan sarapan pagi untuk Andin. Ayahnya sudah banyak membantu, oleh karena itu aku merasa tidak enak jika mengecewakannya. Walaupun selama ini Andin tidak pernah, memperlakukan aku layaknya seorang suami.

Satu mangkok sayur brokoli bening, sudah terhidang di balik tudung saji. Tanpa terasa pagi sudah menyambut riang. Aku bergegas membangunkan Andin, melangkah ke kamar. Di kamar aku melihat Andin sudah bangun, tetapi justru asik memainkan ponsel.

"Sayang, mandi dulu. Jangan sibuk mainkan ponsel terus."

Andin menoleh menunjukkan wajah tak suka, ketika aku tegur. Dia melemparkan ponselnya asal, lalu menyibak selimut, segera turun dari ranjang.

"Abang tidur di mana?" Selidiknya.

"Ketiduran di teras."

"O, aku sudah tahu kok. Oh, iya, pagi ini aku mau cek kehamilan. Abang harus temani aku."

"Baiklah, tetapi ke bidan lain saja ya," ucapku meminta negosiasi.

"Eh, Abang apaan sih? Aku sudah nyaman periksa ke Bidan Kusuma. Jadi, aku harus cek di sana sampai melahirkan juga di sana. Aku mandi dulu, jangan lupa susu untukku. Sudah Abang buatkan?"

"Ya, segera."

Andin masuk ke kamar mandi, aku masih mematung merasa tak percaya. Haruskah aku bertemu dengan Kusuma lagi? Andin terlalu susah diajak kompromi, apalagi dia tidak tahu bagaimana hubunganku dengan Kusuma, di masa lalu. Aku merasa masalah baru akan segera muncul di antara aku, Andin dan Kusuma.

Apakah aku harus berterus terang pada Andin? Bahwa Kusuma adalah mantanku, mungkin dengan begitu dia akan menjaga jarak dengan Kusuma. Entahlah!

-----------

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel