Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Dosa Terindah

Dengan jarak yang sangat dekat ini, aku bahkan bisa melihat bulu-bulu halus di pipi Kusuma. Ingin rasanya aku menyentuh pipi itu, tetapi aku urungkan niat. Aku menjadi tak tega melihat ketakutan Kusuma. Mundur beberapa langkah, membiarkannya bebas.

 

"Pergilah, Dik." Sengaja aku membelakangi Kusuma, sehingga aku tak dapat melihat ekspresinya.

 

"Kenapa?" Suara serak Kusuma kembali membuatku ingin menatapnya. Aku kembali membalikkan tubuh.

 

     Wajah Kusuma sudah basah disiram air matanya. Dadanya naik turun, kedua tangannya mengepal kuat. Mungkinkah dia ingin menyerang 'ku? Entahlah. Mencoba untuk menetralkan rasa, aku jatuhkan tubuh di kursi berlapis busa.

 

"Pulanglah!" Sekali lagi aku memerintahkan Kusuma untuk segera pergi.

 

"Sekarang apa, Bang? Aku tak ubah seperti sampah 'kan? Aku paham, istrimu wanita yang cantik dan menawan. Apalah aku jika dibandingkan dengannya. Aku hanyalah sepah yang sudah kamu buang. Kenapa, Bang?!" Kusuma teriak nggak jelas, pintu menjadi sasaran emosinya.

 

Bugh! Bugh! Bugh!

Kusuma meninju pintu keras itu, dengan kedua kepalan tangannya yang lemah. Aku yakin, sekarang dia merasakan sakit di seluruh jari tangannya.

 

"Maafkan aku, Dik. Waktu itu, aku terlalu pengecut, sehingga hanya bisa lari dari tanggung jawab." 

 

"Heh, lalu sekarang? Bukankah sama saja, Bang? Kamu masih pengecut takada ubahnya."

 

"Apa maksudmu?"

 

"Sudahlah, nikmati saja kehidupan barumu. Biarkan aku seperti ini sampai ajal menjemput." 

 

     Kusuma menyeka air matanya dengan kasar, segera dia buka pintu, sementara di luar   hujan masih turun lebat. Aku berdiri menyusulnya ke pintu.

 

"Tunggu, Dik." 

 

Kusuma menahan langkahnya, berdiri mematung di ambang pintu. Aku segera berlari ke belakang, kembali ke depan membawakannya payung.

 

"Pakailah! Hujan terlalu lebat, nanti kamu sakit dan menggigil seperti waktu itu."

 

"Hujan deras yang turun saat ini, tidaklah seberapa jika dibandingkan penderitaanku selama ini. Air hujan takakan membuat aku menggigil lagi, bahkan hatiku sudah bersalju. Mungkin, beberapa tahun lagi akan berubah jadi bongkahan es." Kusuma segera melangkah, menerobos hujan dan mengabaikan payung di tanganku.

 

    Di teras, aku tatap kepergian Kusuma, sampai dia hilang di gerbang, berbelok menuju rumahnya. Aku menjatuhkan diri di kursi yang ada di teras. Menatap ribuan hujan yang menggenangi halaman. Pot-pot kesayangan Andin terisi penuh oleh air. Wanitaku itu memang suka merawat bunga. Aku yakin dia akan marah, jika pot itu tak segera aku selamatkan.

 

     Huft! Kubuang napas secara kasar, menoleh ke samping kanan, menatap perkarangan rumah Kusuma. Dari teras ini, aku dapat melihat dengan jelas asrinya perkarangan itu. Rumah kami hanya dibatasi  pagar yang terbuat dari beton. Namun, tingginya tidak mencapai satu meter. Aku juga tidak mengerti, kenapa pemilik rumah ini membuat demikian. Ya, rumah ini kami beli ketika sudah jadi, bahkan sudah ditempati oleh beberapa keluarga.

 

     Tatapanku beralih pada bunga yang ada di pot. Aku membayangkan jika bunga itu hidup, memiliki indra perasa, mungkin bunga itu sudah menggigil kedinginan. Semua itu mengingatkan aku pada kisah silam. Peristiwa malam itu, di mana aku menodai Kusuma merenggut kesuciannya.

 

*****

Kejadian 10 tahun silam ....

    Sore menjelang magrib, langit tampak mendung. Aku berpikir akan turun hujan, sementara perjalanan kami masih separuhnya lagi. Aku dan Kusuma berada di motor yang sama. Kusuma terlihat anteng berada di belakangku. Sesekali tawanya terdengar merdu. Gadis yang terlihat pendiam di sekolah, ternyata begitu menyenangkan. Kusuma rela menjemput aku ke kost-an, bahkan dia juga rela menungguku bila agak terlambat pulang. Memang, jurusan kami berbeda. Aku mengambil jurusan Otomotif, sementara Kusuma mengambil jurusan Perkantoran.

 

     Kutambah kecepatan laju motor, agar bisa sampai sebelum gelap. Namun, di tengah perjalanan yang agak sepi, hujan turun sangat lebat.

 

"Kus, kita berteduh dulu ya."

 

"Ih, Abang. Jangan panggil Kus gitu. Aku nggak suka." Kusuma menepuk pundakku.

 

"Maaf, Dik. Kita berteduh dulu yuk!"

 

"Nggaaak maaauuu, Bang. Aku pengen menikmati hujan seperti ini. Selama ini, Ibu selalu melarangku hujan-hujanan."

 

"Nanti sakit, Dik. Kita berhenti di warung itu saja," aku menunjuk warung yang ada di pinggir jalan. Sementara pakaian yang kami kenakan sudah basah diguyur hujan, yang datang tiba-tiba.

 

"Ya, sudah. Kalau Abang maksa."

 

    Aku segera menghentikan motor memasuki perkarangan di pinggir warung. Kulihat Kusuma sudah basah kuyup, bahkan pakaian yang dia kenakan menempel ketat di tubuhnya.

 

"Kita tunggu hujan reda dulu ya, Dik. Kayaknya hujan seperti ini awet."  Aku melangkah ke emperan warung. Lumayan nyaman, emperan itu cukup luas terbuat dari bambu yang disusun rapi.

 

    Aku memilih duduk agak jauh dari Kusuma, sementara dia duduk menjuntaikan kakinya. Udara yang bertiup membuat dingin semakin terasa. Bahkan gigi ini beradu satu dengan yang lainnya. Kulirik Kusuma, tampaknya dia mulai menggigil, mengusap kedua lengannya.

 

"Dik, kamu baik-baik saja?" Aku bertanya merasa cemas, takut terjadi apa-apa pada Kusuma. Pertanyaanku hanya dia jawab dengan anggukan kepala.

 

     Aku berusaha berpikir positif, mudah-mudahan Kusuma baik-baik saja. Mata ini mulai mengantuk, aku sampai menguap beberapa kali. Tas ransel yang sudah kuyup aku letakkan di emperan. Lalu, aku rebahkan tubuh, memunggungi Kusuma, meringkuk memeluk kedua lutut. Beberapa saat kemudian aku pun benar-benar terlelap.

 

     Aku terbangun ketika merasakan jemari yang begitu dingin menepuk pipi ini. Aku terkejut ketika melihat Kusuma sudah berada di dekatku. Dia duduk memeluk kedua lututnya, aku dapat mendengar gemertuk giginya menahan dingin.

 

"Bang, aku ...."

 

"Kamu kedinginan, Dik?" Aku kembali panik, sementara hujan belum juga reda.

 

"Iya, Bang. Rasanya aliran darahku mulai berhenti mengalir."

 

"Jangan bicara seperti itu. Tidak apa-apakah jika aku peluk kamu?" Aku mencoba meminta persetujuan Kusuma, karena selama kami pacaran aku tidak pernah memeluknya. Aku berusaha menjaga image-nya.

 

     Tak ada jawaban dari Kusuma, sehingga aku pun tidak berani memeluk tubuhnya. Kuraih tangannya, dia diam saja, segera aku usap-asap telapak tangannya dengan gerakan cepat. Berharap dengan begitu, ada kehangatan yang menjalar ke setiap pembuluh darahnya.

 

     Beberapa saat berlalu, Kusuma masih kedinginan. Aku coba mengambil ponsel dari tas, untunglah ponselku masih menyala. Menghidupkan senternya, alangkah terkejutnya aku ketika melihat sepasang bibir seksi Kusuma mulai membiru.

"Dik, kamu baik-baik saja, 'kan?" 

 

     Kusuma menggeleng, aku jadi teringat ucapannya di motor tadi. Mungkinkah dia punya semacam penyakit langka? Sehingga tidak bisa sedikit pun kehujanan?

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, aku tarik tubuh Kusuma dalam dekapan. Senter ponsel kembali aku matikan, paling tidak ada sedikit kehangatan dari pelukan ini.

 

    Pacuan jantung ini perlahan menjadi cepat. Ada getaran halus ketika tubuh Kusuma menempel erat di dada ini. Masih mencoba untuk menahan gejolak rasa yang tidak wajar ini. Namun, entah setan dari mana membuatku ingin berbuat lebih. Apalagi suasana jalanan terlihat sepi, sementara hujan masih belum reda. 

 

    Tanganku bergerak menyentuh pipi Kusuma yang terasa seperti bongkahan es. Kuraba pipinya yang halus itu, sensasi kehangatan mulai menjalar di tubuh ini. Kusuma masih diam aku perlakukan seperti itu.

Dalam kegelapan, aku mencoba untuk melepaskan dekapanku. Membiarkan tubuh Kusuma terlentang di depanku. Aku mendekatkan wajah ini ke wajah Kusuma, dengan bantuan jari tangan ini, aku meraba bibir Kusuma dalam kegelapan. Kusuma masih diam, apakah dia sudah tidur?

Aku takbisa menahan diri lagi. Segera 'ku kecup lembut bibir Kusuma. Bibirnya yang dingin, membuat gairahku menjadi memuncak. Kecupan itu berganti dengan hisapan lembut.

 

     Tiba-tiba, Kusuma menahan wajahku, dia segera duduk, sehingga ciuman kami terlepas.

Napas yang memburu membuat aku menjadi malu. Akankah Kusuma memarahiku? Jikapun iya, aku siap menerima konsekuensinya.

 

"Apa yang kamu lakukan, Bang?"

 

"Maafkan aku, Dik. Kamu marah?"

 

"Aku takut ayah marah, Bang."

 

"Maafkan aku, Dik." 

 

"Hmmm."

 

    Kusuma kembali merebahkan tubuhnya. Namun, kali ini dia tidur miring membelakangiku. Kembali aku nyalakan senter ponsel. Lewat cahaya terang itu, dapat aku lihat lekukan pinggul Kusuma.

Aku menelan ludah, keinginan seperti tadi kembali menyergap pikiran dan hati. Sensasi ciuman tadi dapat aku rasakan lagi. Tidak bisa lagi aku berpikiran jernih. Sebagai laki-laki tujuh belas tahun, aku sudah mengalami mimpi basah. Sekarang keinginan untuk merasakan yang sesungguhnya semakin mendesakku.

 

      Aku tarik pinggul Kusuma, lalu menaiki tubuhnya. Samar-samar aku melihat Kusuma melebarkan matanya. "Aku mencintaimu, Dik." Aku sibak kerudungnya, lalu membenamkan wajah ini di lehernya. Kuhirup kuat kulit leher nan lembut itu. Tanganku semakin takbisa dikendalikan lagi.

Satu persatu kancing baju Kusuma aku lepaskan. Suasana yang mendukung membuatku lupa diri, mungkin begitu juga dengan Kusuma. Desahan halus mulai terdengar dari bibirnya, ketika aku mulai menyentuh bagian tubuh intimnya. Di bawah terpaan angin sisa hujan aku renggut kesucian Kusuma, dan melepaskan keperjakaanku. 

     Malam itu, aku benar-benar merasakan kenikmatan surga dunia, seperti yang sering aku dengar dari teman-teman sekelasku. Jika sebelumnya aku hanya bisa mendengar saja, kini aku sudah merasakannya.

 

****

"San, kok belum berangkat?" tanya Ibu kost yang lewat di depan teras.

 

"Ini lagi menunggu teman, Bu." 

 

"Teman atau teman?" 

 

"Ya teman, Bu."

 

"Ya sudah, San. Pintu kamarmu jangan lupa dikunci."

 

"Baik, Bu."

 

    Sepertinya Kusuma marah karena kejadian kemarin, bahkan nomornya tidak bisa dihubungi. Aku yakin dia akan langsung memutuskan hubungan kami. Setelah mengunci pintu aku melangkah ke luar kost-an, menuju jalan raya. Terpaksa aku berangkat naik angkot lagi. Namun, ketika aku sampai di jalan sempit menuju jalan besar, aku melihat Kusuma dengan kepala yang tertunduk. Bergegas aku menghampirinya. 

 

"Dik, kok nomor kamu nggak bisa dihubungi?" 

 

"Eh, anu ... Bang. Ponselku rusak." Wajah Kusuma terlihat memerah. Lalu, tangannya terulur memberikan kunci motor padaku.

 

"Semoga ponselmu segera membaik," ucapku mengambil kunci dan segera meraih stang motor.

 

    Dalam perjalanan menuju sekolah, kami jadi banyak diam dan canggung. Aku berharap Kusuma tidak memandangku sebagai laki-laki berengsek, begitu juga sebaliknya. Aku mengendarai motor dengan jantung yang berdebar-debar, kejadian kemarin malam seakan kembali hadir di pelupuk mata.

 

"Bang ...." 

 

"Iya."

 

"Apakah aku wanita yang buruk?"

 

     Degh! Apa yang aku takutkan terjadi juga, Kusuma menanyakan hal yang sensitif seperti itu.

 

"Apakah aku laki-laki yang buruk?" Gleg, aku menelan saliva.

 

"Aku tahu, Bang. Sejak aku menerima cinta Abang, aku selalu merasa bersalah. Namun, aku juga tidak memungkiri setiap saat wajah Abang yang rupawan itu membuatku mabuk."

 

"Maksudnya?"

 

"Kata guru ngajiku, perempuan yang termudah-mudahan pacaran. Maka sesungguhnya dia sudah mengotori kesuciannya."

 

"Lalu kenapa kamu terima ungkapan cintaku, Dik?"

 

"Itu ... Itu karena aku memang sudah lama menyukai Abang."

 

    Apa yang dibicarakan Kusuma benar adanya, bahkan nenek selalu mengingatkan aku. Jangan coba-coba pacari anak perawan orang. Namun, semua nasehat nenek aku abaikan saja, semua gara-gara tawaran menggiurkan dari Syahyono. Walaupun begitu, aku benar-benar sudah menyukai Kusuma, bukan semata karena ambisius dengan hadiah yang diberikan Syahyono.

 

"Tapi aku yakin, Bang. Abang tidak akan meninggalkan aku, setelah yang kemarin malam. Aku berharap hubungan kita tetap merekat, sampai Abang siap menikahiku."

 

"Ya, aku janji, Dik. Aku akan menikahimu ketika aku sudah mampu. Soal yang kemarin, maafkan aku ya, Dik."

 

"Aku yang salah kok, Bang. Harusnya aku mencegah Abang. Tetapi ...."

 

"Maafkan aku, Dik."

 

*****

    Ponselku yang berdering menyadarkan aku dari ingatan silam. Aku langsung berlari menuju kamar, ternyata Andin yang menelepon, segera aku angkat.

 

"Halo, Mas. Eh, Bang. Aku mau nanya, Bidan Kusuma tadi ke rumah?"

 

     Aku terkejut mendengar pertanyaan Andin. Apakah Kusuma mengadukan semuanya? Jika iya, mampuslah aku. 

 

"Hmm, iya, Sayang. Ada apa memangnya?"

 

"Loh, kok malah nanya sih, Bang? Memangnya Bidan Kusuma tadi ngapain ke rumah?"

 

    Degh! Tenggorokan ini terasa tersekat. Tidak! Aku tidak mau terjebak oleh pertanyaan Andin. Bisa-bisa tamat riwayatku, dipenjarakan oleh ayah mertua.

 

"Beliau cuma datang menanyaimu," ucapku berbohong.

 

"Hehehehe, itulah, Bang. Aku lupa kalau ada janji dengan Bidan Kusuma." Di ujung sana Andin tertawa, sementara aku di sini hampir panik. Aku pikir, Kusuma mengadu pada istriku.

 

"Tuh, harusnya kamu ingat dong, Sayang."

 

"Iya ... Iya, Bang. Aku sudah hubungi beliau tadi. Meminta maaf atas kelupaan ini, beliau sudah memaklumi kok. Bidan Kusuma baik banget ya, Bang."

 

"Hmm, iya. Udah ya, Sayang. Aku mau mandi dulu."

 

"Iya, Bang." Andin langsung memutuskan panggilan.

 

    Akhirnya aku bernapas lega, untung saja Kusuma tidak mengadukan apa yang sempat terjadi. Nasib baik masih berpihak padaku.

 

Bersambung ....

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel