Bab 5. Jarak Yang Tak Terlihat
Dendam Yang Membara.
Jam istirahat, suasana kantin SMA Negeri 6 masih ramai. Alya duduk sendirian di pojok, sibuk mengaduk es tehnya padahal dari tadi belum ia minum. Tatapannya kosong, masih kepikiran insiden di kelas pagi tadi.
Tiba-tiba seseorang menarik kursi di hadapannya.
“Kenapa bengong?” Suara Arka terdengar datar tapi hangat.
Alya langsung tersentak. “Eh… a-aku… nggak apa-apa.”
Arka menatapnya tajam, lalu bersandar dengan santai. “Nggak usah dipikirin. Anak-anak kelas cuma hobi bikin drama. Kalau ada yang macam-macam lagi, bilang sama aku.”
Hati Alya berdesir. Ia ingin berterima kasih, tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa mengangguk pelan.
Sementara itu, dari meja lain, Risa dan Niken mengintip penuh amarah.
“Gila ya, bukannya malu, malah makin dilindungin Arka,” gumam Niken dengan wajah kesal.
“Tenang, Nik,” Risa menyeringai licik. “Kita bikin Alya benar-benar jatuh. Kalau cuma foto, Arka masih bisa belain. Tapi kalau ada bukti lain, hah… kita lihat aja.”
Niken menatap penasaran. “Maksudmu?”
Risa mendekat, berbisik. “Kita bikin Alya seolah-olah cewek murahan. Biar semua orang percaya kalau dia nggak pantas sama Arka.”
Niken langsung terkekeh, “Ide bagus! Aku ada temen anak jurnalistik, gampang banget bikin gosip tambah panas.”
Di pojokan kantin, Alya yang sedang bicara dengan Arka tak menyadari bahwa badai baru sedang disiapkan untuknya.
Arka, dengan tenang, menatapnya lagi. “Mulai sekarang, jangan jalan sendirian. Aku nggak pengen ada yang ganggu kamu lagi.”
Alya terdiam. Pipinya panas, jantungnya berdebar keras. Kenapa dia begitu perhatian? Apa Arka… benar-benar peduli padaku?
Perpustakaan SMA Negeri 6 sore itu sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berdecit pelan. Alya berjalan masuk sambil memeluk beberapa buku. Ia sengaja datang untuk menenangkan pikiran, jauh dari tatapan iri teman-temannya.
“Hey!.”
Suara familiar itu bikin langkah Alya berhenti. Arka sudah duduk di pojok ruangan dengan tumpukan buku di mejanya.
“Kamu… di sini juga?” Tanya Alya gugup.
Arka mengangguk, lalu menepuk kursi di sebelahnya. “Duduk sini.”
Alya menurut. Deg-degan. Tangannya gemetar waktu membuka buku catatan. Ia bisa merasakan tatapan Arka sesekali mengarah padanya.
“Ternyata kamu juga sering ke sini?” Tanya Arka tiba-tiba.
“Lumayan. Perpus itu… tempat paling aman,” jawab Alya pelan.
Arka tersenyum tipis. “Pantesan aku jarang lihat kamu di kantin. Ternyata sembunyi di sini.”
Alya nyaris tersipu. Ia ingin tertawa, tapi buru-buru menunduk.
Tiba-tiba, Arka menggeser sebuah buku tebal ke arahnya. “Ini… buat kamu.”
Alya melotot. “Hah? Buat aku?”
“Iya. Aku tahu kamu suka nulis. Buku ini ada banyak catatan tentang psikologi remaja. Mungkin bisa bantu kamu bikin cerita lebih dalam.”
Alya terdiam. Jantungnya seakan meledak. Arka tahu aku suka nulis? Dari mana dia tahu?
Sebelum ia sempat bertanya, Arka menatapnya serius. “Alya… jangan gampang goyah sama omongan orang. Aku percaya kamu lebih kuat dari yang mereka kira.”
Alya langsung terdiam, matanya berkaca-kaca. Rasanya seperti ada yang menepuk lembut hatinya.
Namun di luar perpustakaan, tanpa mereka sadari, Risa sudah mengintip dari balik pintu dengan kamera ponselnya. Jepret. Jepret. Senyum licik mengembang di bibirnya.
“Pas banget… besok gosip ini pasti bikin gempar. Alya sok alim, ternyata genit sama Arka di perpus. Hahaha…”
Gosip Membakar.
Keesokan paginya, suasana kelas XI IPS 2 SMA Negeri 6 Surabaya riuh. Semua siswa sibuk membicarakan satu hal, foto Alya dan Arka di perpustakaan.
“Eh, lihat deh… Alya tuh pura-pura kalem, tapi diam-diam deketin Arka,” bisik Niken sambil memamerkan ponselnya.
Risa menambahkan dengan nada sinis, “Iya, gayanya sok-sok pendiem. Padahal liat tuh, tatapan matanya ke Arka, duh… genit banget.”
Beberapa cewek langsung ikut tertawa. Grup WhatsApp kelas pun penuh dengan foto yang disebar Risa semalam. Caption-nya kejam:
“Putri Perpus udah punya target nih. Hati-hati cewek-cewek, Arka bakal direbut!”
Alya masuk kelas sambil menunduk, tapi suara-suara bisikan itu menusuk telinganya.
“Pantas aja dia diem-diem bae, ternyata licik…”
“Ya ampun, nggak nyangka…”
“Arka mah kasihan, dimanfaatin.”
Langkah Alya makin berat. Ia berusaha duduk, tapi kursinya terasa seperti jarum. Matanya panas, dadanya sesak. Kenapa semua orang begitu kejam? Aku nggak salah apa-apa…
Arka yang baru masuk kelas langsung sadar ada yang nggak beres. Ia melihat Alya menunduk, wajahnya pucat. Ponselnya pun bergetar. Grup kelas. Foto dirinya dengan Alya di perpus.
Bibir Arka mengeras. Ia menutup ponselnya dan menatap lurus ke arah Risa dan gengnya yang cekikikan. Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke arah Alya.
“Pindah tempat duduk,” katanya pelan.
Alya mendongak dengan mata berkaca-kaca. “Hah?”
Arka menarik kursinya ke sebelah Alya, duduk di sana, lalu meletakkan buku-bukunya di meja. Semua orang terdiam, bengong.
“Mulai hari ini aku duduk di sini. Ada yang protes?” Suara Arka tegas, dingin.
Risa dan gengnya terdiam, pura-pura sibuk dengan ponsel. Sementara bisik-bisik di kelas makin pelan.
Alya menunduk, air matanya hampir jatuh. Dia nggak marah… dia justru melindungi aku…
Tapi semakin Arka melindungi, semakin Alya tersiksa. Dalam hati ia berteriak: Kenapa aku harus jadi beban buat dia? Kenapa aku bikin hidupnya ribet gara-gara gosip bodoh ini?
Luka Di Rooftop.
Arka yang duduk di samping Alya memang bikin kelas mendadak sunyi. Tapi diam-diam, gosip malah makin deras. Risa cs nggak tinggal diam, mereka bisik-bisik sambil sesekali melirik Alya dengan tatapan penuh ejekan.
Saat jam istirahat, Alya buru-buru keluar kelas. Nafasnya tersengal, dadanya sesak. Ia naik ke rooftop sekolah, tempat sepi yang jarang dikunjungi. Angin Surabaya berhembus kencang, rambutnya berantakan, tapi ia tak peduli.
Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya pecah.
Kenapa harus aku yang jadi sasaran? Kenapa orang-orang selalu salah paham? Aku cuma… aku cuma ingin dekat sama Arka, tapi bukan begini caranya…
Tangannya menggenggam pagar besi erat-erat, tubuhnya gemetar. Sakit sekali rasanya dihujat, dijadikan bahan gosip.
Di saat itu, pintu rooftop terbuka.
“Alya…” Suara itu dalam, berat, tapi lembut. Arka.
Alya buru-buru mengusap air matanya, tapi wajahnya sudah basah.
“Kenapa kamu ke sini? Jangan buang waktumu buat aku, Arka…” Suaranya bergetar.
Arka mendekat, menatap lurus ke matanya. “Karena kamu penting, Alya. Aku nggak suka orang-orang ngerendahin kamu. Kalau ada yang nyakitin kamu, berarti dia nyakitin aku juga.”
Deg. Hati Alya serasa diremas. Kata-kata itu bikin dirinya makin tak berdaya. Ia menggigit bibir, menahan tangis.
“Tapi… gara-gara aku, sekarang semua orang ngehujat kamu juga…”
Arka tersenyum miring, tapi tatapannya tegas.
“Biarin aja. Kalau mereka mau ngomongin aku, silakan. Tapi jangan pernah biarin mereka bikin kamu merasa rendah.”
Alya terisak, menunduk. Kenapa dia selalu kayak gini… kenapa justru aku yang makin tersiksa…
Arka lalu mengulurkan tangan, menyentuh pundaknya dengan hati-hati.
“Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, jangan kabur sendirian. Aku ada buat kamu, Alya.”
Mata Alya basah lagi, tapi kali ini campuran sakit dan hangat.
Arka Menantang Balik.
Keesokan harinya, suasana kelas makin panas. Gosip soal Alya masih beredar, bahkan ada yang bikin meme iseng dengan foto mereka di perpus.
Risa berdiri di depan meja sambil cekikikan, pura-pura keras-keras baca chat.
“Eh guys, katanya Arka tuh kasihan sama Alya ya? Udah jelas-jelas nggak selevel, dipaksain deket. Hadeh…”
Suasana kelas mendadak hening. Arka menutup bukunya perlahan, lalu berdiri. Tatapannya tajam menusuk ke arah Risa.
“Lo kalau berani, ngomong sama gue, jangan ngehina orang lain.”
Risa melotot, sedikit kaget. “Lo kok baper sih, Ka? Kan cuma bercanda.”
“Gue ulang sekali lagi,” suara Arka tegas, dingin, “kalau ada yang berani hina Alya, berarti lo nyari masalah sama gue.”
Semua terdiam. Jantung Alya berdegup kencang. Risa pucat, nggak berani jawab, cuma menunduk dengan wajah kaku.
Arka menatap seisi kelas.
“Gue nggak peduli kalian mau gosipin apa. Tapi jangan pernah kalian ngerendahin dia di depan gue. Gue benci pengecut yang cuma bisa ngomong di belakang.”
Kelas hening. Tak ada yang berani bersuara. Alya di sampingnya menunduk, matanya panas. Ia merasa bersalah, tapi juga… terlindungi.
Sejak kejadian Arka menegur Risa di kelas, gosip malah makin menggila. Ada yang bilang Alya sengaja manja biar dilindungi Arka. Ada juga yang bisik-bisik kalau Alya “naik level” gara-gara deket sama cowok populer.
Alya benar-benar nggak kuat.
Setiap langkah di koridor sekolah seperti jadi sorotan. Tatapan penuh iri menusuknya, membuat dadanya makin sesak.
Arka terlalu baik sama aku… aku yang jadi beban… aku harus menjauh…
Hari itu, Alya pura-pura sibuk di perpustakaan. Dia sengaja menolak ajakan Arka buat pulang bareng.
“Maaf, Ka. Aku banyak tugas, pulang duluan aja.”
Arka menatapnya, sedikit heran. “Kamu yakin?”
Alya tersenyum tipis, memaksa. “Iya. Aku nggak apa-apa kok.”
Tapi begitu Arka pergi, Alya meremas rok seragamnya erat-erat. Air matanya jatuh diam-diam di balik rak buku.
Arka bukan tipe cowok yang gampang curiga. Tapi perubahan Alya bikin dia nggak tenang. Gadis itu mulai jarang menatap matanya, sering cari alasan buat menjauh.
Di lapangan basket, bahkan teman-temannya ikut komentar.
“Eh Ka, katanya Alya lagi mundur teratur tuh. Takut jadi bahan gosip kali ya, hahaha.”
Arka melempar bola keras-keras ke ring, membuat semua terdiam. Wajahnya dingin.
Mereka pikir gampang buat aku ngelepas Alya? Nggak semudah itu…
Malamnya, Arka menunggu di depan rumah Alya. Motor hitamnya terparkir di bawah lampu jalan. Alya kaget begitu keluar gerbang, membawa sampah kecil.
“Arka? Ngapain di sini?”
Arka menatapnya, tatapannya tajam tapi penuh keresahan.
“Kamu kenapa, Ly? Akhir-akhir ini selalu ngindar. Kamu pikir aku nggak sadar?”
Alya menggigit bibir. Dadanya terasa sesak.
“Aku cuma… nggak mau kamu terus disalahin gara-gara aku. Aku nggak mau jadi beban.”
Arka melangkah mendekat, jarak mereka hanya sejengkal.
“Denger aku baik-baik, Alya. Aku yang milih deket sama kamu. Aku yang pengen jaga kamu. Jadi jangan pernah bilang kamu beban. Kamu ngerti?”
Air mata Alya jatuh lagi, deras. Ia ingin berkata sesuatu, tapi suaranya tercekat.
Arka menghela napas dalam, lalu perlahan mengangkat tangan, mengusap pipi Alya yang basah. Sentuhan itu membuat dunia Alya berhenti sesaat.
“Aku nggak akan mundur, Ly. Jadi jangan kamu yang pergi…”
Alya mengangguk .
*****
