Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Foto Yang Menggemparkan

Tatapan Sirik.

Sejak kejadian di kantin itu, gosip tentang Alya dan Arka makin menggila. Grup WhatsApp kelas, Line, bahkan status Instagram penuh dengan kode-kode nyinyir.

“Eh, serius Arka sekarang deket sama Alya? Kok bisa sih?”

“Kayaknya nggak level deh…”

“Duh, kasian yang udah ngejar Arka dari dulu, kalah start sama Alya.”

Alya yang membaca semua itu hanya bisa menggigit bibir. Setiap masuk kelas, ia merasa seperti dikelilingi panah-panah tatapan iri yang menusuk jantungnya.

Apalagi dari geng cewek populer di sekolah: Risa, Dinda, dan Vania.

Mereka terkenal cantik, gaul, dan selalu tampil modis. Selama ini, mereka yakin Arka hanya akan melirik “selevel” dengan mereka.

Kini, kenyataan membalik.

Saat jam istirahat, Alya sedang membereskan bukunya ketika Risa tiba-tiba mendekat dengan senyum tipis penuh sindiran.

“Alya… kamu jago juga ya. Baru sebentar deket sama Arka, langsung jadi pusat perhatian satu sekolah.”

Dinda menimpali sambil memainkan rambutnya.

“Iya, bener. Padahal biasanya Arka cuek banget sama cewek. Eh, kok sama kamu bisa manis gitu? Aneh deh.”

Vania menatap Alya dari atas sampai bawah, lalu terkekeh kecil.

“Mungkin Arka lagi bosan aja. Lagi cari hiburan.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya. Ia ingin membalas, tapi tenggorokannya tercekat. Semua tatapan di kelas terasa ikut menghakiminya.

Sialnya, Arka yang tadi duduk di bangku belakang, tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah mereka. Suasana langsung hening.

Arka menaruh tangannya di meja Alya, menatap Risa cs dengan tatapan dingin.

“Kalian punya masalah sama dia?”

Tiga cewek itu langsung terdiam. Senyum sinis mereka seketika lenyap, digantikan kegugupan.

“E-eh, nggak kok, Ka. Cuma… ngobrol aja.” Risa mencoba tertawa kecil, tapi jelas terlihat gugup.

Arka tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya duduk di kursi kosong tepat di samping Alya.

“Kalau mau ngomongin dia, ngomong aja di depan aku,” katanya datar.

Hening.

Risa, Dinda, dan Vania langsung kabur dengan wajah kaku.

Sementara Alya, jantungnya berdetak kencang, campur aduk antara malu, lega, dan… deg-degan.

Gosip Jahat Mulai Menyebar.

Pagi itu, suasana SMA Negeri 6 Surabaya terasa agak berbeda. Bukan karena pelajaran, bukan juga karena ulangan mendadak, tapi karena bisik-bisik yang beredar di sepanjang koridor.

"Alya itu ya, bisa-bisanya deket sama Arka. Padahal siapa sih dia?" Bisik seorang siswi dengan nada sinis.

"Aku dengar, katanya Alya tuh yang ngejar-ngejar Arka duluan. Kasian banget ya, kayak nggak punya harga diri," sambung yang lain sambil cekikikan.

Alya melangkah cepat menuju kelasnya, pura-pura tak mendengar. Tapi hatinya jelas bergetar. Dari sudut matanya, ia bisa melihat beberapa cewek sengaja menatapnya dengan tatapan penuh sindiran.

Yang paling gencar tentu saja Risa dan gengnya. Mereka memang tidak pernah suka melihat Alya jadi pusat perhatian. Terlebih setelah kejadian di kantin, gosip semakin liar. Risa bahkan nekat mengedit foto Alya dan Arka yang terlihat seolah-olah sedang pegangan tangan di perpustakaan. Foto itu langsung tersebar di grup kelas dan akun-akun anonim sekolah.

“Aduh, kasian banget Arka, digituin sama cewek kampung kayak Alya,” komentar salah satu akun anonim yang jelas ditulis dengan sengaja untuk mempermalukan Alya.

Saat istirahat, Alya memilih mengurung diri di toilet. Ia menatap wajahnya di cermin, matanya sedikit berkaca-kaca.

“Kenapa harus aku? Aku nggak pernah minta ini semua…” Bisiknya lirih.

Tiba-tiba pintu toilet diketuk. Suara lembut menyusul, “Alya? Kamu nggak apa-apa?”

Itu suara Nisa, sahabatnya.

Alya buru-buru menyeka matanya, berusaha terlihat kuat. “Aku baik-baik aja, Nis.”

Padahal hatinya terasa remuk.

Yang Alya tak tahu, dari ujung koridor, seseorang sedang memperhatikan semua tingkahnya. Arka, dengan ekspresi dinginnya, memperhatikan siapa saja yang sedang bisik-bisik tentang Alya. Sesekali matanya menyipit, seolah menyimpan amarah yang tidak ia tunjukkan terang-terangan.

Di dalam hati, Arka bertekad, aku nggak bakal biarin mereka seenaknya ngerendahin dia.

Rahasia di Antara Rak Buku.

Perpustakaan SMA Negeri 6 Surabaya sore itu hampir sepi. Hanya ada beberapa murid yang masih sibuk dengan buku catatan dan komputer lama di pojok ruangan.

Alya melangkah masuk pelan, masih dengan perasaan campur aduk. Sejak pagi ia menahan diri, pura-pura kuat meski telinganya panas mendengar gosip kejam yang menempel di mana-mana. Ia hanya ingin bersembunyi sejenak di balik rak buku.

Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok tinggi dengan seragam rapi berdiri di dekat rak bagian belakang. Arka.

Alya spontan ingin berbalik, namun suara Arka terdengar tenang, memanggil namanya.

"Alya."

Suara itu cukup membuatnya berhenti. Arka melangkah pelan, membawa satu buku tebal di tangannya. Tatapannya, seperti biasa, dingin dan sulit ditebak. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini matanya terasa lebih lembut.

“Kamu ngapain nyari aku?” Alya mencoba terdengar biasa, meski jantungnya berdebar tak karuan.

Arka menaruh buku itu di meja, lalu menatap langsung ke matanya.

“Karena aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja,” ucapnya pelan.

Alya tercekat. Ia refleks mengalihkan pandangan. “Aku… aku nggak apa-apa kok.”

“Jangan bohong.” Arka bersandar pada meja, kedua tangannya terlipat. “Aku denger gosip itu. Mereka semua salah. Dan aku nggak akan diem.”

Deg. Alya menatapnya, terkejut dengan ketegasan suara Arka. Cowok itu memang dingin, tapi kali ini ia benar-benar terdengar seperti seseorang yang ingin melindungi.

“Arka, tolong jangan bikin masalah. Aku nggak mau kamu jadi ikutan disalahin,” Alya berusaha menahan suaranya agar tidak pecah.

Arka justru mendekat satu langkah, jaraknya kini hanya tinggal sejengkal. Ia menatap Alya lekat-lekat.

“Biarin. Kalau mereka mau ngata-ngatain, biar aku yang hadapin. Aku nggak suka lihat kamu disakiti.”

Alya membeku. Kata-kata itu membuat seluruh tubuhnya panas dingin. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu.

Hening beberapa detik, hanya detak jantung Alya yang seolah bergema di ruang perpustakaan yang lengang.

Arka lalu menghela napas, suaranya melunak.

“Alya… kalau kamu capek, kamu boleh cerita ke aku. Aku nggak janji bisa selalu bikin semua beres. Tapi aku janji, aku bakal dengerin.”

Mata Alya langsung berkaca-kaca. Ia menunduk, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar tidak sendirian.

Foto Yang Membakar Api.

Sore semakin merambat, cahaya matahari menembus kaca besar perpustakaan SMA Negeri 6 Surabaya. Alya masih berdiri di dekat meja, wajahnya sedikit memerah setelah percakapan dengan Arka.

Arka sendiri sudah kembali ke posisi awal, membuka buku di tangannya, seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi Alya tahu—ada sesuatu yang berbeda. Ada perhatian yang tersembunyi di balik tatapan cowok itu.

Tanpa mereka sadari, di balik rak buku paling ujung, dua pasang mata sedang mengawasi dengan penuh rasa iri. Risa dan temannya, Niken.

“Gila, lihat deh…” bisik Niken sambil mengangkat ponselnya, mengarahkan kamera ke arah Alya dan Arka. Klik!

Foto pertama terambil Arka berdiri sangat dekat dengan Alya, ekspresinya serius, seolah melindunginya.

“Wah, ini bisa jadi bahan bakar gosip baru,” Risa tersenyum miring, matanya berbinar penuh kepuasan. “Biar satu sekolah tahu, Alya itu sok-sokan dekat sama Arka. Padahal siapa dia? Anak baru yang nggak jelas.”

Niken menahan tawa, kembali memotret. Kali ini sudut fotonya membuat mereka berdua tampak seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi momen rahasia.

“Kalau foto ini aku sebar ke grup kelas… kebayang nggak, gimana hancurnya muka Alya besok pagi?” Risa mendesis penuh kemenangan.

Mereka pun berjalan cepat keluar dari perpustakaan, meninggalkan Alya dan Arka yang masih tidak tahu apa-apa.

Sementara itu, Alya akhirnya memberanikan diri angkat bicara.

“Arka…” suaranya pelan. “Makasih ya… udah mau ada buat aku.”

Arka menutup bukunya, menatap Alya sekilas, lalu mengangguk singkat.

“Udah. Jangan terlalu mikirin omongan orang.”

Hanya itu jawabannya, tapi cukup membuat Alya merasa hangat di tengah luka yang ia simpan.

Namun, tanpa ia tahu, badai baru sudah menunggunya besok pagi. Foto-foto itu siap disebarkan, dan sekali lagi namanya akan jadi pusat perhatian satu sekolah…

Pagi itu suasana kelas XI IPS 2 SMA Negeri 6 Surabaya ramai luar biasa. Bisik-bisik, tawa kecil, dan beberapa tatapan sinis langsung mengarah ke Alya begitu ia masuk kelas.

Alya mengernyit, bingung. Ia bahkan belum sempat duduk ketika seorang cewek nyeletuk, “Eh, princess kita datang tuh. Gimana rasanya jadi pacarnya Arka, Alya?”

Kelas langsung meledak dengan tawa dan siulan.

Alya tertegun. Jantungnya berdetak keras. Apa maksud mereka?

Baru saja ia ingin bertanya, Niken menyodorkan HP-nya sambil pura-pura polos.

“Eh, jangan marah, ya. Nih… cantik banget fotonya.”

Di layar terlihat jelas foto dirinya dengan Arka di perpustakaan. Sudut foto membuat seolah Arka sedang menatapnya penuh kasih, sementara ia terlihat malu-malu.

“Wah, mesra banget. Kayak adegan drama Korea,” Risa menimpali dengan nada penuh racun.

“Pantes aja sok diem-diem bae, ternyata udah jadian sama Arka!”

Gelak tawa makin riuh. Beberapa cewek langsung pasang muka cemberut, jelas-jelas iri.

Alya hanya bisa memeluk buku di dadanya, wajahnya panas, matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin menjelaskan, tapi suara-suara sinis itu menutup semua keberaniannya.

Hening mendadak terjadi saat pintu kelas terbuka.

Arka masuk dengan langkah santai, tas disampirkan di satu bahu. Suasana yang tadinya gaduh langsung mengecil, namun sorot mata teman-teman Alya berpindah ke cowok itu.

Risa cepat-cepat menyembunyikan senyum liciknya, berharap Arka akan membenarkan gosip tersebut.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Arka meletakkan tasnya di meja, menatap seluruh kelas dengan dingin.

“Lucu, ya? Kalian semua sibuk bikin gosip nggak penting.”

Semua langsung diam.

Arka melirik Alya sekilas, lalu menambahkan dengan suara tegas, “Denger ya. Kalau ada yang berani ngerendahin Alya lagi, anggap aja kalian cari masalah sama aku.”

Deg. Suasana kelas langsung beku. Tak ada yang berani membalas.

Alya terpaku, hatinya bergetar hebat. Ia tak pernah menyangka Arka akan membelanya di depan satu kelas.

Risa dan Niken saling pandang, wajah mereka pucat. Rencana mereka malah berbalik arah.

Arka kemudian duduk tenang, membuka bukunya seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi seluruh kelas tahu, kalimatnya tadi cukup untuk membuat semua orang bungkam.

Sementara itu, Alya hanya bisa menunduk, menyembunyikan senyum tipis yang tak bisa ia tahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa… ada seseorang yang benar-benar melindunginya.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel