Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Dinding Sunyi

Tubuh Yang Runtuh.

Sejak malam itu, Alya terus kepikiran. Kata-kata Arka terngiang-ngiang di kepalanya.

"Aku nggak akan mundur, Ly. Jadi jangan kamu yang pergi…"

Namun, besoknya di sekolah, tatapan-tatapan sinis tetap menusuk. Bisikan gosip makin liar. Ada yang sengaja menjatuhkan buku Alya, ada yang pura-pura dorong bahunya di lorong.

Alya mencoba bertahan, tapi tubuhnya mulai lemah. Saat jam pelajaran Biologi, pandangannya berkunang-kunang. Suara gurunya terdengar sayup-sayup.

“Bu… Alya pingsan!” Teriak seorang teman.

Suasana kelas mendadak panik. Alya terjatuh di meja, wajahnya pucat pasi.

Saat kabar itu sampai ke telinga Arka di lapangan basket, dia langsung lari sekencang-kencangnya ke UKS. Nafasnya terengah, tapi matanya liar mencari Alya.

Begitu melihat gadis itu terbaring lemah di ranjang UKS, jantung Arka serasa diremas.

“Alya…” suaranya parau, nyaris pecah.

Guru piket menyuruh Arka menunggu di luar, tapi dia ngotot.

“Saya yang jagain dia, Bu. Tolong izinin saya…”

Akhirnya Arka duduk di samping Alya, menggenggam tangan dingin gadis itu.

“Kenapa kamu nyembunyiin semua ini dari aku, Ly…” bisiknya, matanya memerah menahan air mata.

Beberapa jam kemudian, Alya membuka mata pelan. Pandangannya kabur, tapi sosok pertama yang ia lihat adalah Arka, tertidur di kursi dengan kepala tertunduk di samping tangannya.

Tangan mereka masih bertautan erat.

Alya menatap wajah Arka lama-lama, dadanya nyesek. Air matanya menetes lagi tanpa sadar.

Pelan, Arka terbangun. Dia kaget melihat Alya sudah sadar, lalu buru-buru meraih bahunya.

“Ly! Kamu sadar? Kamu bikin aku panik setengah mati!”

Alya berusaha tersenyum, meski wajahnya masih pucat.

“Maaf, Ka… aku nggak kuat…”

Arka menunduk, menempelkan keningnya ke tangan Alya.

“Kamu jangan minta maaf lagi. Aku yang harusnya minta maaf karena nggak bisa bikin kamu tenang…”

Alya menutup mata lagi, air matanya jatuh deras. Di antara rasa sakit dan lelah, hatinya berbisik, "Kalau Arka terus di sampingku seperti ini… mungkin aku nggak sanggup lagi untuk pergi…"

Saat Semua Tahu.

Besoknya gosip langsung meledak.

"Alya pingsan kemarin, lho. Katanya dijagain Arka sampai malem di UKS!" Bisik salah satu anak cewek di kantin.

Cewek-cewek yang dari dulu naksir Arka makin panas. Tatapan mereka ke Alya semakin menusuk, seolah Alya biang masalah.

Tapi Arka sudah nggak peduli.

Di kelas, dia cuek aja duduk di sebelah Alya, bahkan dengan berani menyuapkan air mineral ke bibirnya saat Alya batuk kecil.

Suasana kelas hening. Semua mata melotot ke arah mereka.

Arka menatap seisi kelas dengan tatapan dingin.

“Kalau kalian mau ngomongin Alya, ngomongin aku sekalian. Jangan cuma berani bisik-bisik.”

Suasana makin tegang. Alya menunduk, wajahnya makin pucat. Jantungnya campur aduk antara malu, terharu, dan takut.

Sepulang sekolah, Arka nekad. Dia nggak mau Alya pulang sendiri naik angkot kayak biasanya.

“Alya, naik motorku aja. Aku nggak akan biarin kamu sendirian.”

Alya sempat nolak, tapi tubuhnya masih lemah. Akhirnya dia pasrah.

Angin sore Surabaya menyapu wajah mereka di jalanan. Alya diam, tangannya ragu-ragu memegang belakang jaket Arka.

Sampai Arka menoleh sebentar dan berkata pelan,

“Kalau kamu nggak pegang aku, aku yang takut kehilangan kamu.”

Mau nggak mau, Alya menggenggam jaketnya erat-erat. Di dadanya, ada rasa hangat yang bercampur nyeri.

Untuk pertama kalinya, Alya ikut ke rumah Arka. Rumah sederhana di gang sempit itu jauh dari bayangan teman-temannya tentang cowok populer di sekolah.

Ibunya Arka kaget melihat Alya yang pucat, lalu langsung menyiapkan teh hangat.

“Kasihan, Nak. Sakit begini kok masih dipaksa sekolah.”

"Terimakasih, Tante!" Ucap Alya saat menerima teh hangat.

"Kalian ngobrol aja," kata ibunya Arka, "mama mau nerusin di dapur."

Alya terdiam. Rasanya asing tapi hangat. Sebuah rumah sederhana yang penuh perhatian.

Arka duduk di sampingnya, menatap dengan serius.

“Kalau kamu capek, berhenti mikirin omongan orang. Kamu punya aku, Alya. Cukup itu aja.”

Alya menatap matanya dalam-dalam. Tangannya bergetar, ingin percaya. Tapi hatinya masih penuh luka karena status mereka yang belum jelas.

Air matanya jatuh lagi.

“Ka… kalau nanti aku bener-bener nggak kuat, kamu masih mau ada di sampingku?”

Arka menggenggam tangannya erat.

“Bukan cuma mau. Aku akan selalu ada, Lya.”

Pulang ke Rumah.

Matahari sudah condong ke barat ketika Arka akhirnya memutuskan mengantar Alya pulang. Alya awalnya ingin menolak, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk memaksa.

Sepanjang perjalanan motor itu, Alya hanya diam. Kepalanya sempat bersandar di punggung Arka, membuat cowok itu makin memperlambat laju motornya.

Sesampainya di depan rumah Alya, rumah besar dengan pagar tinggi Arka berhenti. Jantung Alya langsung berdegup kencang. Bukan karena senang, tapi takut.

Pagar terbuka, dan kedua orang tuanya langsung keluar. Wajah ibunya panik, sementara ayahnya memasang wajah dingin.

“Alya!” Seru ibunya, segera menghampiri. “Kamu sakit? Kenapa baru pulang sekarang?!”

Alya menunduk, tidak berani menatap. Arka dengan sigap membantu menurunkannya dari motor.

Ayah Alya menatap tajam ke arah Arka.

“Kamu siapa? Kenapa anak saya bisa pulang denganmu, dalam keadaan begini?”

Arka menunduk sopan, menahan diri meski hatinya bergejolak.

“Om, saya teman sekelas Alya. Tadi dia sakit di sekolah, jadi saya antar ke rumah saya dulu biar bisa istirahat. Saya takut dia kenapa-kenapa di jalan.”

Wajah ayah Alya mengeras.

“Kenapa harus ke rumahmu dulu? Kenapa bukan langsung pulang ke rumahnya sendiri?”

Suasana mendadak hening. Alya makin lemas, tubuhnya goyah. Ibunya buru-buru memeluknya.

“Sudah, Pa! Nggak usah marah-marah. Yang penting Alya selamat.”

Arka mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Ingin sekali menjelaskan semuanya, tapi dia tahu, dalam pandangan ayah Alya, dirinya bukan siapa-siapa.

Sebelum masuk ke dalam rumah, Alya menoleh sebentar, menatap Arka dengan mata sayu yang basah.

“Ka…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Arka hanya mengangguk, memberi senyum tipis seolah berkata, aku di sini, jangan takut.

Pintu rumah besar itu tertutup di depan matanya, meninggalkan Arka berdiri sendirian di luar pagar.

Teguran di Balik Pintu.

Begitu pintu rumah tertutup, suasana langsung berubah tegang. Ibunya buru-buru membawa Alya ke kamar. Gadis itu hanya bisa merebahkan diri, tubuhnya menggigil meski sudah dibalut selimut tebal.

“Alya, minum obat dulu ya, Nak…” suara lembut sang ibu bergetar. Air matanya jatuh melihat putrinya pucat.

Tapi belum sempat Alya meneguk obat, suara berat ayahnya terdengar dari depan pintu.

“Mulai besok kamu jangan dekat-dekat sama anak laki-laki itu lagi.”

Alya terdiam. Tangannya berhenti di udara. Ibunya menoleh dengan wajah tak setuju, tapi sang ayah sudah masuk ke kamar, berdiri tegak dengan sorot mata tajam.

“Apa kamu dengar, Alya?” Tanyanya lagi.

“Pa…” suara Alya serak, pelan sekali. “Arka nggak salah apa-apa. Dia cuma nolongin Alya…”

“Tidak ada ‘cuma’! Anak perempuan harus jaga diri. Kamu ini pulang dalam keadaan sakit, tapi bukan dengan keluargamu. Dengan anak laki-laki yang bahkan saya tidak kenal siapa orang tuanya! Apa kamu mau jadi bahan omongan orang?”

Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Alya menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar.

Ibunya mencoba menengahi.

“Pa, jangan keras-keras. Anakmu lagi sakit…”

Tapi ayah Alya menghela napas kasar, menatap putrinya sekali lagi.

“Ingat, Alya. Kamu anak perempuan. Jaga nama baik keluarga. Papa tidak mau dengar ada hubungan macam-macam sama anak itu. Mengerti?”

Alya menutup mata rapat-rapat, menahan air mata yang sudah menumpuk. Tubuhnya semakin gemetar. Seolah semua rasa sakit bertambah bukan karena demam, tapi karena hatinya dirobek.

Setelah ayahnya pergi, ibunya duduk di samping ranjang.

“Maafin Papa ya, Nak… Papa cuma khawatir sama kamu…”

Alya tidak menjawab. Air matanya mengalir deras, membasahi bantal. Dalam hatinya ia berbisik, Arka… aku nggak mau jauh dari kamu… tapi kenapa semuanya jadi begini?

Di luar sana, Arka pulang dengan perasaan berat. Tatapan terakhir Alya terus terbayang di kepalanya. Hatinya berbisik keras, Aku nggak akan biarin Alya sendirian.

Hari-hari setelah kejadian itu, rumah Alya seakan berubah jadi penjara.

Ayahnya tak pernah lagi membiarkan Alya pulang terlambat. Jam sekolah, langsung pulang. Tidak ada alasan mampir, apalagi ketemu teman laki-laki.

Setiap kali Alya membuka pintu kamar, langkahnya selalu diawasi. Kadang lewat tatapan ayahnya yang tajam dari ruang tamu, kadang lewat kalimat pendek penuh peringatan.

“Langsung belajar. Jangan macam-macam.”

Ibunya mencoba jadi penengah, tapi Alya tahu, di balik kelembutan itu ada rasa takut juga pada aturan sang suami.

Malam-malam Alya jadi panjang. Dia menatap layar ponselnya, menunggu pesan Arka, tapi tak berani membalas cepat-cepat. Kalau ayahnya tahu, bisa lebih marah lagi. Jadi Alya hanya menahan tangis dalam diam.

Di meja belajarnya, buku-buku terbuka tapi pikirannya kosong. Ingatannya melayang pada senyum Arka, pada tatapan penuh kepedulian saat ia sakit di rumah Arka. Semua itu terasa begitu jauh sekarang.

Suatu malam, ia duduk di tepi ranjang sambil menatap jendela. Hatinya menjerit, tapi suaranya tercekik.

“Kenapa semuanya harus sesulit ini, Tuhan? Aku cuma ingin dekat sama dia… aku cuma ingin bahagia…”

Air mata mengalir deras. Ia merasa seperti burung kecil yang sayapnya dipotong. Mau terbang, tapi terkurung di sangkar besi bernama aturan.

Pagi harinya, Alya kembali berangkat sekolah dengan wajah pucat. Di meja makan, ayahnya hanya menatap sebentar lalu berkata,

“Ingat yang Papa bilang. Papa tidak mau dengar kamu dekat dengan anak itu lagi.”

Alya menunduk, menggenggam sendoknya erat-erat, menahan gejolak di dada. Ia ingin melawan, ingin berteriak kalau Arka adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup. Tapi ia tak bisa. Bibirnya terkunci rapat.

Dan hari itu, di kelas, meski Arka duduk tak jauh dari tempatnya, Alya tak berani menoleh. Matanya hanya fokus ke papan tulis, meski hati dan pikirannya terus bergetar.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel