Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Gosip Yang Berhembus

Tatapan yang Berat.

Pagi itu Surabaya terasa lebih panas dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, tapi halaman SMA Negeri 6 sudah ramai dengan suara motor, obrolan, dan langkah kaki para siswa.

Alya berjalan pelan melewati gerbang sekolah. Seragam putih abu-abunya rapi, tapi wajahnya tampak gelisah. Tasnya terasa lebih berat hanya karena ada benda terlarang "Diary Arka" yang masih ia bawa.

Begitu masuk halaman, ia langsung melihat kerumunan di dekat lapangan basket. Seperti biasa, Arka jadi pusat perhatian. Ia berdiri dengan santai, jaket tim basket SMA 6 tergantung di bahu, dikelilingi beberapa teman cowok dan cewek yang sibuk menyapanya.

Alya spontan menunduk. Jantungnya memukul keras, seakan semua tulisan yang ia baca semalam ikut berdengung di telinganya.

"Aku capek jadi boneka… aku takut semua akan pergi kalau mereka tahu kebenarannya."

Kalimat itu membuat setiap langkahnya terasa berat.

“Ly! Tungguin aku, dong!” Suara sahabatnya, Naya, memecah lamunan. Cewek berambut kuncir dua itu menghampiri Alya sambil membawa segelas es teh plastik dari kantin.

“Kok mukamu pucat gitu? Belum sarapan,ya?”

Alya tersenyum hambar. “Iya… mungkin.”

Mereka berjalan ke arah kelas. Tapi belum sempat duduk, suara riuh kembali terdengar. Arka masuk ke kelas XI IPA 2, kelas yang sama dengan Alya. Semua pasang mata langsung menoleh.

Arka melangkah santai, matanya sekilas menyapu ruangan. Sampai akhirnya… berhenti tepat di Alya.

Tatapan itu. Bukan tatapan marah. Bukan juga dingin seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda, seakan Arka tahu Alya sedang menanggung beban besar.

Alya buru-buru menunduk, pura-pura sibuk membuka buku catatan. Tapi ia bisa merasakan jantungnya makin kencang, pipinya memanas.

“Kenapa tatapan dia berat banget, sih…” gumam Alya pelan, nyaris tak terdengar.

Naya yang duduk di sebelahnya malah nyengir. “Eh eh, jangan bilang kamu mulai suka sama Arka, Ly?”

Alya langsung terbatuk, hampir tersedak ludahnya sendiri.

“Sembarangan kamu, Nay! Aku, aku nggak mungkin…”

Tapi di dalam hati, Alya tahu rasa yang muncul bukan sekadar kagum. Yang membuatnya gelisah bukan hanya rahasia Arka… tapi juga perasaan aneh yang perlahan tumbuh setiap kali tatapan itu tertuju padanya.

Perpustakaan SMA Negeri 6 sore itu sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sibuk menyalin catatan, sementara Alya duduk di pojok ruangan, tepat di meja dekat jendela besar yang menghadap taman. Cahaya matahari sore menembus kaca, membuat bayangan bukunya terlihat panjang.

Alya mencoba fokus membaca novel, tapi matanya tak benar-benar menatap huruf-huruf di halaman. Yang ada hanyalah rasa gelisah. Sejak menemukan diary itu, hidupnya seperti tak pernah tenang lagi.

"Kalau dia tahu aku baca… habislah aku," batinnya.

Tiba-tiba...bruk! kursi di depannya ditarik seseorang. Alya terlonjak. Saat menoleh, jantungnya serasa berhenti berdetak.

Arka.

Cowok itu duduk santai, tapi sorot matanya menusuk. Wajah dinginnya tampak semakin serius di balik cahaya redup sore. Dia tidak membuka buku, tidak menyalin catatan, hanya menatap Alya.

Dengan suara rendah dan datar, Arka berkata,

“Kalau kamu mikir aku nggak tahu kamu baca diary itu… kamu salah, Alya.”

Darah Alya seakan mengalir deras ke kepalanya. Nafasnya tercekat. Tangannya refleks menutup novel yang bahkan dari tadi tak ia baca.

“Ak–aku…” Alya mencoba bicara, tapi lidahnya kelu.

Arka menghela napas pelan, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku cuma mau tahu satu hal…” Matanya menyipit, menatap lurus menembus mata Alya.

“…setelah kamu baca semuanya, apa yang kamu pikirin tentang aku?”

Hening.

Detik itu, Alya serasa lumpuh. Kata-kata Arka menghantam dadanya lebih kuat dari teriakan guru piket. Dia bisa saja bilang tidak baca, tapi jelas bohong. Dia bisa saja jujur, tapi… apakah Arka siap mendengar jawabannya?

Jantung Alya berpacu tak karuan. Ruangan terasa semakin sempit, seolah hanya ada mereka berdua di dalam dunia yang sunyi.

Antara Rahasia Dan Perasaan.

Alya menggenggam erat novel di tangannya. Rasanya jantungnya mau copot setiap detik Arka menatapnya begitu dalam. Pertanyaan itu… bukan pertanyaan biasa.

Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Aku…” suaranya pelan, hampir tak terdengar.

“…aku nggak nyangka, Arka.”

Alis Arka sedikit terangkat, ekspresinya masih dingin, tapi ada sesuatu yang samar, seperti menunggu jawaban lebih jauh.

“Aku kira kamu itu cowok sempurna. Populer, selalu tenang, dingin, kayak… nggak pernah punya masalah,” Alya melanjutkan, kali ini suaranya lebih jelas. Ia memberanikan diri menatap balik ke mata Arka.

“Tapi setelah baca diary itu, aku sadar… kamu juga rapuh. Sama kayak kita semua.”

Hening sejenak.

Arka menatapnya lama. Tatapan yang sulit ditebak antara lega, marah, atau mungkin… tersentuh. Jemarinya mengetuk pelan meja kayu di antara mereka, seolah sedang berpikir keras.

“Jadi…” Arka berkata akhirnya, suaranya rendah.

“…kamu nggak cerita ke siapa pun?”

Alya cepat-cepat menggeleng. “Enggak! Demi apa pun, aku nggak bakal nyebarin.”

Arka masih diam. Sorot matanya begitu menusuk, tapi kali ini berbeda. Ada sedikit kehangatan yang terselip di balik dinginnya.

Sampai akhirnya, dia tersenyum miring, senyum tipis yang jarang sekali terlihat dari Arka.

“Baiklah. Mulai sekarang, kamu satu-satunya orang yang tahu sisi lain aku. Anggap aja… kamu partner rahasiaku.”

Deg.

Ucapan itu membuat dada Alya bergetar aneh. Partner rahasia? Itu kedengarannya gila, sekaligus… spesial.

Sebelum Alya sempat merespon, bel tanda pulang sekolah berbunyi keras. Arka bangkit lebih dulu, menyampirkan tas di bahu, lalu berjalan menjauh. Namun, sesaat sebelum pintu perpustakaan, dia berhenti dan menoleh sebentar.

“Jangan bikin aku nyesel percaya sama kamu, Alya.”

Dan cowok itu pun pergi, meninggalkan Alya yang kini hanya bisa duduk terpaku, wajahnya panas, dan hatinya berdebar tak karuan.

Rahasia Pertama Yang Terungkap.

Keesokan harinya, perpustakaan SMA Negeri 6 Surabaya kembali jadi tempat pelarian Alya. Dia duduk di pojokan favoritnya, mencoba fokus membaca novel, tapi otaknya malah penuh dengan kata-kata Arka kemarin. “Anggap aja… kamu partner rahasiaku.”

Deg. Bahkan mengingatnya saja sudah bikin wajah Alya panas.

Dan seolah dipanggil oleh pikirannya sendiri, suara langkah pelan terdengar mendekat. Alya menoleh dan... benar saja, Arka berdiri di sana dengan tatapan dinginnya yang khas.

“Kamu selalu di sini, ya?” Tanyanya datar.

Alya terdiam, lalu mengangguk kikuk. “E… iya. Tempat favoritku.”

Arka menarik kursi, duduk tepat di hadapannya. Ada keheningan canggung beberapa detik, sampai akhirnya cowok itu membuka suara.

“Ada sesuatu yang belum pernah aku bilang ke siapa pun…”

Alya menahan napas. Hatinya langsung berdegup kencang.

“Semua orang mikir aku cowok paling santai, nggak peduli, nggak pernah panik. Tapi kenyataannya…” Arka berhenti sejenak, menatap meja seolah mencari keberanian. “…aku sering ngerasa sendirian. Bahkan di tengah keramaian sekalipun.”

Kata-kata itu membuat Alya terenyuh. Ia melihat sisi Arka yang sama sekali berbeda dari bayangan banyak orang.

“Aku ngerti…” bisik Alya. “Kesepian itu kadang lebih berat daripada masalah apa pun.”

Untuk pertama kalinya, Arka benar-benar menatap Alya dengan mata yang tak lagi dingin, tapi penuh luka.

Namun sebelum percakapan mereka semakin dalam, terdengar suara lirih dari balik rak buku.

“Hei, itu Arka kan? Sama siapa tuh? Alya?”

Alya terkejut. Jantungnya meloncat. Ada yang menguping!

Arka langsung berdiri, matanya menyipit, seolah tahu dirinya sedang jadi sorotan. Dia meraih tangan Alya, membuat gadis itu kaget setengah mati.

“Udah, ikut aku sekarang.”

Dengan langkah cepat, Arka menarik Alya keluar dari perpustakaan, meninggalkan bisikan-bisikan penasaran yang semakin lama semakin ramai.

Keesokan paginya, suasana SMA Negeri 6 Surabaya terasa berbeda bagi Alya. Sejak masuk gerbang, matanya sudah menangkap tatapan aneh dari beberapa murid. Ada yang bisik-bisik, ada pula yang sengaja pura-pura menatap buku tapi ujung bibirnya menyeringai.

Alya berusaha cuek, tapi langkahnya terasa semakin berat saat melewati koridor kelas.

“Eh, itu kan Alya… yang kemarin bareng Arka di perpus?” bisik seorang siswi dengan nada menggoda.

“Seriusan? Nggak nyangka Arka deket sama dia,” sahut yang lain, jelas-jelas tidak berusaha mengecilkan suara.

Alya menunduk. Pipinya panas. Rasanya ingin langsung menghilang dari muka bumi.

Begitu masuk kelas, ternyata suasana tak jauh berbeda. Beberapa teman sekelas menatap penuh rasa ingin tahu. Ada yang tersenyum jail, ada yang mengangkat alis, seakan-akan menunggu Alya menjelaskan sendiri.

“Alya…” suara ringan memanggil. Ternyata itu Naya, sahabat dekatnya. “Kamu… beneran kemarin sama Arka di perpus? Semua orang ngomongin lho.”

Alya langsung membeku. Lidahnya kelu. Ia ingin bilang tidak, tapi bayangan tatapan Arka kemarin, tatapan yang penuh rahasia dan luka membuatnya memilih diam.

Dan diamnya itu justru jadi bahan gosip paling panas.

Siangnya, di kantin sekolah, Arka masuk dengan langkah santai. Seisi ruangan otomatis menoleh. Semua tatapan segera beralih ke satu titik Alya yang duduk bersama Naya.

Jantung Alya hampir copot.

“Jangan ke sini… jangan ke sini…” Doanya dalam hati.

Namun kenyataan berkata lain. Arka berjalan lurus, berhenti tepat di depan meja Alya, lalu berkata dengan suara datar tapi cukup keras untuk didengar banyak orang.

“Kamu udah makan?”

BRUK. Suasana kantin langsung riuh. Semua orang tercengang, ada yang hampir tersedak, ada pula yang langsung bisik-bisik panik.

Alya terpaku. Dunianya terasa berhenti.

Arka hanya menatapnya sebentar, lalu tanpa menunggu jawaban, dia menarik kursi dan duduk di samping Alya.

Seisi kantin pecah.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel