Bab 2. Rahasia Tak Boleh Terucap
Halaman Yang Tidak Boleh Dibuka.
Malam itu, kamar Alya gelap kecuali cahaya meja belajar yang remang. Suara jangkrik terdengar dari luar jendela, seakan ikut menyembunyikan rahasia yang ia pegang.
Tangannya gemetar ketika menarik diary hitam itu dari dalam tas. Sampulnya dingin, seolah menyimpan energi asing. Alya membuka halaman yang belum sempat ia baca.
Tulisan Arka rapi, tapi kata-katanya seperti berbisik penuh tekanan.
"Aku benci semua sorotan ini. Semua orang menganggapku sempurna, padahal aku bahkan nggak bisa jadi diriku sendiri. Di siang hari aku jadi Arka yang mereka mau. Tapi di malam hari… aku bebas. Malam hari adalah satu-satunya tempatku bernapas."
Alya menggigit bibir. Jadi benar, Arka punya sisi lain. Ia membalik halaman berikutnya.
"Aku tahu aku nggak boleh ketahuan. Sekali saja ada yang melihatku di tempat itu, semua selesai. Mereka akan lihat betapa lemahnya aku. Mereka akan tahu aku bukan Arka yang dingin dan kuat. Aku hanya seorang pengecut yang bersembunyi di balik musikku."
Alya menahan napas. Jadi gosip Sari soal gitar itu… benar. Tapi kenapa Arka menulisnya seolah itu rahasia yang begitu besar? Apa sekadar main gitar bisa menghancurkan reputasinya?
Ia melanjutkan membaca.
"Besok malam aku akan ke sana lagi. Taman kota, bangku ketiga dekat air mancur. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa bernapas sebelum semuanya benar-benar mengekangku."
Mata Alya membelalak. Tangannya bergetar memegang diary itu.
Bangku ketiga. Air mancur. Besok malam.
Ya Tuhan… aku bahkan tahu persis tempatnya sekarang.
Alya menutup diary dengan cepat, seakan takut ada yang mendengar isi rahasia itu. Jantungnya berdentum keras.
Satu sisi dirinya berteriak agar ia segera mengembalikan diary ini ke Arka. Tapi sisi lain, sisi yang didorong rasa penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Arka di malam hari.
Dan tanpa sadar, Alya sudah membuat keputusan.
Besok malam… ia akan pergi ke taman kota itu.
Malam Yang Membuka Rahasia
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu-lampu jalan di sekitar taman kota memantulkan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Alya menarik jaketnya rapat-rapat, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
Ia berdiri di balik pohon, menatap sosok yang sudah ia ikuti sejak tadi. Arka.
Cowok itu berjalan santai, seolah taman kota memang rumahnya sendiri. Tidak ada teman, tidak ada geng penggemar yang biasanya mengelilinginya di sekolah. Hanya dirinya dan sebuah gitar yang ia sandarkan di bahunya.
Alya menahan napas ketika Arka berhenti di bangku ketiga dekat air mancur, persis seperti yang tertulis di diary. Ia duduk, meletakkan tas, lalu mengeluarkan gitarnya.
Suasana sepi. Hanya suara gemericik air mancur yang terdengar. Lalu… senar gitar itu mulai dipetik.
Alya membelalakkan mata.
Nada-nada yang keluar lembut, sendu, penuh emosi. Jauh berbeda dari sosok Arka yang dingin di sekolah. Cowok itu menunduk, matanya terpejam, dan untuk pertama kalinya Alya melihat sisi Arka yang rapuh.
Suara rendahnya perlahan mengikuti alunan gitar. Bukan sekadar bernyanyi lebih mirip melampiaskan isi hati yang tidak pernah bisa ia katakan.
Alya terpaku. Ini… ini Arka yang sebenarnya?
Namun, saat ia terlalu hanyut dalam momen itu, sebuah ranting kering tak sengaja ia injak. Krak!
Arka langsung berhenti. Kepalanya menoleh cepat, tatapannya menusuk ke arah pepohonan.
Alya panik, bersembunyi di balik batang pohon dengan napas tersengal.
Suasana hening beberapa detik, hingga suara Arka terdengar pelan, nyaris berbisik tapi jelas menusuk.
“Aku tahu ada yang ngikutin aku…”
Alya menutup mulut dengan tangannya, tubuhnya gemetar.
Arka berdiri, matanya menyapu sekitar taman. Dan seolah berbicara langsung padanya, ia melanjutkan.
“Kalau itu kamu… keluar sekarang.”
Napas Alya semakin cepat. Ia berdiri mematung di balik pohon, berharap Arka menyerah dan kembali duduk. Tapi tatapan cowok itu tidak beranjak dari arah persembunyiannya.
“Aku hitung sampai tiga,” suara Arka terdengar jelas, rendah, dan penuh tekanan.
“Kalau nggak keluar, aku bakal nyari sendiri.”
Alya menelan ludah.
Ya ampun, gimana ini?!
“...Satu.”
Jantung Alya berdentum keras.
“...Dua.”
Tangannya berkeringat, lututnya lemas.
“...Tiga.”
Sebelum Arka sempat melangkah, Alya akhirnya menyerah. Ia keluar perlahan dari balik pohon, wajahnya pucat, tangan meremas ujung jaket.
“E… e-eh… aku cuma kebetulan lewat,” katanya gugup, suara bergetar.
Arka menatapnya tajam. “Lewat? Jam segini? Di taman yang sepi?”
Alya tersenyum kaku, mencoba berbohong. “Iya, hehe… aku kan habis dari minimarket…”
Tatapan Arka makin menusuk. Ia melangkah mendekat, hingga jarak mereka tinggal beberapa langkah saja.
“Jangan bohong.”
Alya terdiam. Matanya refleks menunduk.
Dan saat itu, Arka melihat sesuatu menyembul dari tas Alya sampul hitam yang begitu familiar.
Dalam sekejap, tangannya terulur dan meraih benda itu. Alya mencoba menahan, tapi tenaga Arka terlalu kuat. Diary itu pun berpindah ke tangannya.
Arka menatap sampul hitam itu lama sekali, lalu mengalihkan pandangan ke Alya. Ekspresinya sulit ditebak antara marah, terkejut, dan… kecewa.
“Jadi… kamu yang selama ini…” suaranya pelan, tapi penuh tekanan.
“Kamu yang udah baca ini?”
Alya membeku. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.
Dan di detik itu juga, ia sadar, rahasia Arka sudah terlanjur ia sentuh… dan sekarang tidak ada jalan kembali.
Arka menatap diary hitam di tangannya lama sekali. Angin malam meniup rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tetap tajam.
Alya berdiri kaku, tubuhnya gemetar. Ia sudah siap kalau Arka akan marah, membentak, atau bahkan langsung pergi. Tapi yang membuatnya makin panik—Arka justru tersenyum tipis. Senyum yang dingin.
“Jadi kamu udah baca, ya?” tanyanya pelan.
Alya menunduk. “Aku… aku nggak sengaja…”
Arka tertawa lirih, bukan tawa bahagia, melainkan seperti mengejek. “Nggak sengaja? Kamu buka, kamu baca, kamu simpan… tapi itu semua nggak sengaja?”
Alya menggigit bibirnya. Kata-kata itu menusuk seperti pisau.
Cowok itu melangkah mendekat, hingga jarak mereka tinggal satu langkah. Alya bisa merasakan aura dingin dari tubuhnya.
“Tahu nggak, Alya…” Arka berbisik, suaranya tenang tapi membuat bulu kuduk merinding.
“Lebih baik kamu dengar gosip buruk tentang aku, daripada kamu tahu kebenaran langsung dariku.”
Alya mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca. “Aku… aku cuma penasaran. Aku nggak akan cerita ke siapa pun, sumpah.”
Arka menunduk, menatap langsung ke dalam matanya. Untuk sesaat, Alya bisa melihat sesuatu, rasa sakit, rapuh, tapi tersembunyi.
Lalu senyum itu kembali muncul.
“Kalau gitu…” ia mengulurkan diary hitam itu ke tangan Alya, membuat gadis itu terperangah.
“Teruskan baca. Tapi siap-siap, ya. Karena setiap halaman yang kamu buka… kamu bakal makin susah tidur.”
Alya terdiam. Tangannya gemetar saat menerima kembali diary itu.
Arka berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Sementara Alya berdiri terpaku di bawah lampu taman, dengan jantung berdegup kencang dan sebuah pertanyaan besar di kepalanya.
Apa sebenarnya yang disembunyikan Arka?
Rahasia Di Tengah Keramaian.
Suara bel istirahat menggema, disusul riuh murid-murid yang buru-buru keluar kelas. SMA Negeri 6 Surabaya siang itu terasa penuh energi. Dari koridor lantai dua, Alya bisa melihat lapangan basket yang ramai dipenuhi siswa, sebagian duduk di tangga sambil menikmati jajanan kantin.
Alya melangkah pelan, menenteng buku catatannya. Ia berusaha menghindar dari kerumunan, tapi tetap bisa mendengar suara-suara heboh cewek-cewek yang membicarakan Arka.
“Astaga, Arka makin keren aja kalau pakai seragam gitu!”
“Besok ada tanding basket antar SMA kan? Duh, nggak sabar nonton dia main lagi.”
Alya hanya menarik napas, pura-pura tidak mendengar. Hatinya berdebar karena diary itu masih ada di tasnya, tersimpan rapi dalam plastik bening. Sejak membaca beberapa hal rahasia di dalamnya, ia merasa canggung setiap kali melihat Arka.
Sampai akhirnya suara langkah cepat menghentikannya.
“Alya.”
Suara berat itu membuat tubuh Alya menegang. Ia menoleh, dan benar saja, Arka berdiri tak jauh darinya, masih dengan wajah datar yang sulit ditebak. Seragam putih abu-abunya sedikit berantakan, kancing atas tidak tertutup, dan rambutnya berkilau terkena sinar matahari yang masuk dari jendela.
Jantung Alya seketika berdegup kencang.
“Aku… aku mau ke kantin,” ucap Alya cepat, mencoba menghindar.
Tapi Arka mengangkat tangannya, menghentikan langkahnya. “Bisa kita ngobrol bentar? Di belakang perpus.”
Alya menelan ludah. Belakang perpustakaan adalah tempat yang jarang dilewati orang saat istirahat. Suasana sepi di sana… hanya ada pohon flamboyan besar yang menaungi bangku semen.
Mau tak mau, Alya mengikuti.
Sesampainya di sana, suasana benar-benar kontras dengan riuhnya sekolah. Hanya suara burung dan angin yang terdengar. Arka bersandar di tembok, menatap Alya dengan mata teduh namun menusuk.
“Diary itu… kamu masih simpan, kan?” tanyanya lirih.
Alya mengangguk pelan. “Iya. Aku… aku belum cerita ke siapa-siapa.”
Arka menatapnya lama. Senyum samar muncul di bibirnya, tapi justru membuat Alya makin gelisah.
“Bagus. Tetap begitu. Karena kalau ada orang lain yang tahu isinya…” Arka berhenti sejenak, menunduk, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “…hidupku bisa berantakan.”
Alya menegang. Kata-kata itu seperti menambah beban di pundaknya. Ia ingin bertanya, ingin tahu lebih dalam, tapi bibirnya kelu.
Lalu, tanpa diduga, Arka menatapnya lagi kali ini lebih dalam.
“Kamu satu-satunya orang yang aku percaya buat nyimpan rahasia ini, Alya.”
Ucapan itu membuat dada Alya terasa sesak. Bagaimana bisa cowok paling populer di SMA 6, yang punya segalanya, justru menaruh rahasia terbesar hidupnya pada seorang gadis biasa sepertinya?
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya Alya merasa… dia bukan lagi gadis tak terlihat di sekolah ini.
Malam itu, kipas angin di kamar Alya berputar lambat. Buku-buku berserakan di meja belajar, namun pikirannya tak bisa fokus ke pelajaran. Diary itu—yang sejak siang tadi ia sembunyikan di laci—seolah berteriak minta dibuka.
Dengan jantung berdebar, Alya menarik napas dalam-dalam lalu membuka halaman berikutnya. Tulisan tangan Arka yang rapi tapi sedikit tergesa membuatnya semakin penasaran.
"Kadang aku benci pulang ke rumah. Bukan karena rumahku kecil, tapi karena di balik tembok itu terlalu banyak rahasia. Ayahku bukan sosok sempurna yang dilihat orang. Semua orang mengira dia seorang diplomat sukses, padahal… dia hidup sederhana. Dan aku dipaksa menjadi 'anak kebanggaan' supaya menutupi semua itu."
Alya membekap mulutnya. Matanya membesar, membaca kalimat demi kalimat.
"Aku juga masih dihantui masa lalu. SMP kelas 3, aku hampir dikeluarkan sekolah karena ikut tawuran. Hanya karena ayahku ‘membayar’ pihak sekolah, namaku aman. Tapi rasa malu itu masih ada. Aku capek jadi boneka. Kadang aku pengin semua orang tahu siapa aku sebenarnya… tapi aku takut semua akan pergi kalau mereka tahu kebenarannya."
Tangannya bergetar. Alya buru-buru menutup diary itu, lalu menatap langit-langit kamar dengan pikiran kacau.
“Ya Tuhan… jadi selama ini…” bisiknya lirih.
Ia merasa sesak. Besok di sekolah, ia harus bertemu Arka, menatap mata cowok yang selama ini terlihat sempurna. Tapi kini, setelah tahu rahasianya, Alya merasa memikul beban berat.
Suaranya bergetar sendiri, seolah ingin menolak kenyataan itu.
“Kenapa aku? Kenapa aku yang harus tahu semua ini…?”
Di luar, suara klakson motor lewat di jalan raya Surabaya yang tak pernah tidur. Tapi di kamar Alya, waktu terasa berhenti. Diary itu membuatnya terjebak di antara dua pilihan, menjaga rahasia atau menghancurkan segalanya.
*****
