Bab 1. Perpustakaan Yang Sepi
Jam pelajaran terakhir selalu terasa lebih panjang dari biasanya. Alya menatap papan tulis, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Suara guru matematika seperti hanya jadi latar belakang musik monoton. Begitu bel tanda pulang berbunyi, semua siswa langsung berhamburan keluar kelas.
Namun tidak bagi Alya. Ia selalu punya kebiasaan singgah ke perpustakaan sebelum pulang. Bukan karena ia rajin, lebih tepatnya karena ia suka tempat sepi, jauh dari hiruk pikuk kelas dan keramaian teman-teman yang hobi bergosip.
“Seperti biasa, sendirian lagi,” gumam Alya sambil menuruni tangga menuju ruang perpustakaan di lantai satu.
Ruang itu lengang. Hanya ada suara kipas angin tua yang berderit pelan di sudut ruangan. Aroma khas kertas lama langsung menyambutnya. Ia berjalan menyusuri rak, mencari novel remaja yang kemarin sempat ia baca.
Saat tangannya menyentuh buku tebal bersampul biru, ia melihat sesuatu jatuh dari sela-sela rak. Sebuah buku kecil bersampul hitam.
“Diary?” Alya memungutnya dengan ragu. Sampulnya polos, tanpa nama, tanpa label. Hanya ada goresan tinta samar di pojok kanan: If you dare to read, don’t tell anyone.
Alya menelan ludah. Ia menoleh sekeliling—perpustakaan kosong. Rasa penasaran perlahan mengalahkan keraguannya. Ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan itu rapi, tetapi penuh emosi.
"Aku benci harus terlihat sempurna di depan semua orang. Mereka pikir aku kuat, dingin, tak tersentuh. Padahal, kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya, mungkin semua akan berubah…"
Alya mengerutkan kening. Kata-kata itu begitu jujur, seolah penulisnya sedang berteriak dalam diam. Ia membalik halaman berikutnya.
"Ada satu hal yang tidak boleh ada yang tahu. Jika sampai bocor, habislah aku."
Jantung Alya berdegup kencang. Semakin ia baca, semakin ia merasa bahwa pemilik diary ini bukan sembarangan orang. Hingga ia sampai pada sebuah kalimat yang membuatnya hampir menjatuhkan buku itu.
"Nama mereka selalu menyebutku: Arka."
Alya terpaku. Arka? Siswa paling populer di sekolah? Cowok yang dingin, ganteng, dan selalu jadi pusat perhatian? Diary ini… milik Arka?
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang masuk ke perpustakaan. Alya buru-buru menutup diary itu dan menyelipkannya ke dalam tasnya.
Dan ketika ia menoleh, matanya langsung membelalak.
Arka berdiri di ambang pintu, dengan tatapan dingin yang langsung membuat Alya membeku.
" Tatapan yang Membeku "
Alya merasakan tenggorokannya tercekat. Tangannya spontan meremas tali tas tempat ia menyembunyikan diary hitam itu.
Arka berjalan masuk perlahan, langkahnya tenang tapi auranya membuat udara perpustakaan mendadak dingin. Tatapan matanya tajam, seakan bisa menembus isi kepala siapa pun yang berani menatap balik.
“Kenapa masih di sini?” Suaranya dalam, datar, tapi membuat jantung Alya berdebar tak karuan.
Alya buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan buku di rak. “E… e-eh, cuma mau balikin buku, kok.”
Arka tidak langsung menjawab. Ia berjalan melewati Alya, tapi matanya sekilas melirik ke meja yang kosong. Alya bisa merasakan sesuatu, seolah cowok itu sedang mencari sesuatu.
Diary.
Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan Alya. Jangan sampai ketahuan. Jangan sampai dia tahu aku yang nemu.
“Lihat sesuatu di sini?” Arka tiba-tiba berhenti tepat di depan rak yang barusan Alya datangi.
Alya menelan ludah. “Nggak… nggak ada, kok.”
Arka menatapnya lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, Alya berani menatap balik, dan detik itu juga ia merasa terjebak dalam tatapan mata yang gelap, penuh rahasia.
Cowok itu kemudian mendesah pelan, seolah kecewa. “Kalau ada yang nemuin sesuatu, lebih baik balikin. Karena ada hal yang… nggak seharusnya dibaca orang lain.”
Alya hampir tersedak. Kata-kata itu terdengar seperti ancaman yang samar.
Arka kemudian berbalik, berjalan pelan ke arah pintu. Sebelum keluar, ia sempat menoleh sekali lagi. “Hati-hati sama apa yang kamu simpan. Kadang, beban itu lebih berat dari yang kamu kira.”
Pintu menutup. Sunyi kembali.
Alya berdiri terpaku. Jantungnya berdentum keras, bukan hanya karena hampir ketahuan, tapi juga karena perasaan aneh yang muncul. Entah kenapa, ada sisi lain dari Arka yang baru ia lihat tadi—sisi rapuh yang tersembunyi di balik wajah dinginnya.
Ia membuka tas, menatap diary hitam yang diam membisu di dalam sana.
Satu hal yang pasti, hidup Alya tidak akan lagi tenang setelah hari ini.
Rahasia Yang Mengusik.
Pagi di sekolah terasa biasa saja. Suara riuh murid-murid, dentingan bel masuk, dan antrean di depan kantin sudah jadi pemandangan rutin. Tapi buat Alya, hari itu sama sekali tidak biasa.
Setiap kali ia membuka tas, perasaan gelisah langsung menyergap. Diary hitam itu masih tersimpan rapi di sana, seakan berdenyut hidup dan berbisik di telinganya: baca aku… baca aku.
“Lyaaa!” Suara keras memecah lamunannya. Sari, sahabatnya, sudah berdiri di depan meja dengan dua roti bakar di tangan.
“Ngapain bengong? Nih, gue beliin.”
Alya tersenyum kaku. “Hehe… makasih.”
Tapi bahkan ketika Sari asyik bercerita tentang cowok kelas sebelah yang lagi nembak gebetan di kantin, pikiran Alya tak bisa lepas dari diary itu.
Harusnya aku balikin ke Arka. Tapi… gimana caranya? Masa tiba-tiba aku datengin dia terus bilang ‘ini diary kamu’? Bisa mati kutu aku.
Bel pelajaran berbunyi. Guru sejarah masuk. Semua murid bersiap, kecuali Alya yang sibuk menahan degup jantung. Ia melirik sekilas ke bangku belakang kelas—tempat Arka duduk.
Cowok itu seperti biasa, bersandar dengan wajah dingin, seolah dunia di sekitarnya tak penting. Namun, untuk sesaat, Alya merasa tatapan Arka bergerak sekilas ke arahnya. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuatnya panik.
Dia tahu? Jangan-jangan dia curiga sama aku…
Sepanjang jam pelajaran, pikiran Alya tidak tenang. Sampai akhirnya, saat istirahat, ia memutuskan membuka sedikit isi diary itu di toilet perempuan yang kosong.
Halaman ketiga belas.
Tulisan itu membuat darahnya berdesir.
"Aku harus menyembunyikan sisi ini dari semua orang. Mereka hanya tahu Arka yang dingin, populer, tak tersentuh. Tapi kalau mereka tahu apa yang kulakukan setiap malam… aku habis."
Alya terperangah.
Apa maksudnya? Apa yang dia lakukan setiap malam?
Pintu toilet tiba-tiba berderit. Seseorang masuk. Alya buru-buru menutup diary itu.
“Eh, Alya?” Suara lembut itu membuatnya langsung menegang.
Ia mendongak.
Angel, ketua OSIS sekaligus teman sekelas Arka, menatapnya sambil tersenyum.
“Ngapain bengong di sini sendirian?”
Alya mati kutu.
Tangannya refleks menyembunyikan diary ke balik seragam.
Jejak Yang Tersisa.
“Ngapain bengong di sini sendirian?” Angel mengulang pertanyaannya, kali ini sambil merapikan rambut panjangnya di depan cermin toilet.
Alya menegakkan tubuh. “E… nggak, cuma lagi… istirahat.” Ia memaksa tersenyum, meski jantungnya seperti mau meloncat keluar.
Angel menoleh, matanya yang jernih menatap Alya cukup lama. “Kamu keliatan aneh. Ada yang kamu sembunyiin, ya?”
“Ha? Nggak kok!” Alya cepat-cepat mengibaskan tangan. Ia lalu bergegas keluar, nyaris menabrak pintu.
Begitu sampai di kelas, napas Alya masih tersengal. Ia menyentuh tasnya, di dalamnya diary hitam itu terasa lebih berat dari sebelumnya. Kalau Angel atau orang lain tahu aku nemuin ini, habis aku.
Hari itu berjalan lambat. Alya tidak bisa fokus mendengar guru, tidak bisa tertawa saat Sari bercanda, bahkan tidak bisa makan siang dengan tenang. Semuanya terasa kacau.
Sampai akhirnya, setelah jam pelajaran selesai, ia nekat membuka lagi halaman berikutnya dari diary itu.
"Aku tidak bisa berhenti. Setiap malam, aku selalu kembali ke tempat itu. Hanya di sana aku merasa jadi diriku sendiri. Tapi… jika ada yang tahu aku melakukan hal ini, reputasiku selesai."
Alya menggigit bibir. Tempat itu? Malam-malam? Apa maksudnya?
Ia hendak menutup diary ketika suara yang amat dikenalnya membuat tubuhnya membeku.
“Seru banget, sampai senyum-senyum sendiri gitu?”
Alya menoleh. Arka berdiri di samping mejanya, dengan ekspresi datar yang justru semakin membuatnya menakutkan. Beberapa anak di kelas melirik penasaran.
Alya buru-buru menyembunyikan diary ke balik buku paket. “Nggak… nggak ada, kok!”
Arka menunduk sedikit, matanya menatap tajam tepat ke arah tas Alya.
“Kalau kamu nemuin sesuatu yang bukan milikmu,” katanya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Alya merinding, “kadang lebih baik jangan pernah dibuka.”
Senyum tipis muncul di wajahnya. Senyum yang entah kenapa terasa seperti peringatan.
Lalu ia pergi begitu saja, meninggalkan Alya dengan napas tersengal dan pikiran berantakan.
Alya menatap tasnya. Diary hitam itu seolah hidup, bergetar di sana.
Satu hal kini ia tahu: Arka mencurigainya.
Dan lebih buruknya lagi, ia tidak bisa menahan diri untuk terus membaca.
Gosip yang Beredar.
Suasana kelas pagi itu lebih riuh dari biasanya. Murid-murid berkumpul berkelompok, berbisik-bisik dengan ekspresi penuh antusias. Alya baru saja duduk ketika Sari langsung menyeret kursinya mendekat.
“Lya, lo udah denger gosipnya belum?” bisiknya dengan mata berbinar.
Alya menggeleng, masih mengeluarkan buku dari tas. “Gosip apa lagi, Sar?”
Sari menunduk, suaranya dipelankan. “Katanya… ada yang liat Arka keluar malam. Sendirian. Di sekitar taman kota.”
Alya spontan menoleh. Jantungnya berdegup. Taman kota? Jangan-jangan itu yang dimaksud di diary…
“Terus?” tanyanya cepat.
“Terus ya… aneh banget. Katanya Arka duduk sendirian di bangku taman sambil bawa gitar. Nyanyi sendiri, gitu. Lo bayangin deh—Arka yang dingin itu ternyata suka main musik.” Sari cekikikan, lalu menambahkan, “Eh, jangan bilang-bilang siapa-siapa ya. Katanya kalau gosip ini sampai nyebar, bisa bahaya.”
Alya terdiam. Tangannya meremas ujung bukunya.
Jadi… itu rahasianya? Selama ini Arka pura-pura cuek, populer, dingin, tapi sebenarnya diam-diam suka musik?
Namun, ada sesuatu yang masih janggal. Tulisan di diary terasa lebih berat, lebih kelam. “Setiap malam… reputasi selesai kalau ketahuan…” Rasanya itu bukan cuma soal main gitar diam-diam.
Bel masuk berbunyi. Semua murid kembali ke bangku masing-masing. Guru mulai mengajar. Tapi buat Alya, kata-kata Sari terus bergema di kepala.
Saat pelajaran usai, ia tanpa sadar melirik ke belakang. Arka menutup bukunya dengan santai, memasukkan ke dalam tas, lalu berdiri. Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu. Arka tidak berkata apa-apa, hanya menyunggingkan senyum tipis yang sulit ditebak.
Dan Alya tahu, entah bagaimana caranya, malam ini ia tidak akan bisa menahan rasa penasarannya lagi.
*****
