Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pura-Pura Baik Sama Wulan

Andai saja Gita diperbolehkan kos. Pasti dia lebih memilih tinggal di kos-kosan, ketimbang harus ketemu Papanya tiap hari di rumah. Gita juga pernah iseng ngobrol sama Mamanya, kalau dia ingin kos, dengan alasan ingin mandiri.

Tapi, Mamanya selalu melarang.

''Nggak. Anak masih bau kencur, pakai kos segala. Kamu mau bebas? Biar nggak dimarahi kalau kelayapan?!'' kata Mama Gita, nyerocos sepanjang jalan kenangan.

''Kamu juga belum saatnya untuk tinggal sendirian. Sekarang aja kamu masih antar jemput kalau ke sekolah,'' tukas Mamanya.

''Ma....., aku mulai belajar naik angkot, kemarin,'' aku Gita, mengejutkan Mamanya.

''Seriusan?!'' tanya mamanya keheranan.

''Papa kamu nggak jemput?'' tanya mamanya lagi.

''Papa jemput. Tapi lama.'' protes Gita to the point.

''Hmmm. Nggak bisa begitu. Kamu nggak boleh naik angkot.'' protes mama Gita balik.

''Kata guru Gita di sekolah. Jadi anak perempuan itu harus mandiri. Nggak boleh manja sama orang tuanya. Jadi.....Ma..... Ya aku harus belajar mandiri, dengan naik angkot. Papa nggak perlu sibuk-sibuk jemput aku ke sekolah. Nah berangkat ke sekolahnya Gita juga mau belajar naik angkot aja,'' kata Gita melanjutkan ceritanya, penuh antusias.

"Nggak bisa!" celetuk mamanya masih bersikeras melarang Gita naik angkot.

''Tapi Ma. Aku nggak mau terus-terusan dihukum. Papa selalu telat nganter ke sekolah. Jemput juga telat!'' jelas Gita penuh emosi.

"Mama coba pikir sebentar. Bagaimana kalau mama ada di posisi aku. Mama selalu dihukum lari 10 kali keliling lapangan basket, terus diketawain teman-teman. Coba bagaimana perasaan Mama,'' air mata Gita pun meleleh membasahi pipi.

''Maksud Gita, Gita mau coba kos, Ma. Biar Gita bisa belajar mandiri.'' katanya beralasan pada mamanya.

''Nggak! Nggak. Nggak ada kos-kosan segala.'' tolak Mama, to the point tanpa mendengar penjelasan Gita lebih lanjut.

''Nggak ada kos-kosan segala. Emang kamu bisa hidup sendiri. Memangnya kamu sudah punya banyak uang? Atau kamu mau bebas ya...biar nggak ada yang mengawasi kegiatan kamu sehari-hari.'' tegas Mama berulang kali.

''Ya nggak begitu Mama. Aku mau belajar hidup mandiri Ma,'' jelas Gita masih berurai air mata. Karena dia berusaha meyakinkan mamanya.

''Gita punya kawan Ma. Dia kan dari Jawa. Pindah kesini, karena ikut neneknya. Terus saat neneknya meninggal, dia diusir dari rumah neneknya itu sama saudara-saudaranya. Akhirnya dia kos, Ma. Dia kos sambil kerja di toko ponsel, buat biayai hidup dia,'' imbuh Gita lagi, bercerita detail soal Hana, kawan sekelasnya yang hidupnya benar-benar tragis.

''Kamu mau kerja di toko ponsel seperti kawan kamu itu?''

''Sepertinya begitu Ma. Biar Fitri bisa belajar mandiri, cari uang sendiri.'' jelas Gita lagi.

''Jangan macem-macem kamu. Nanti Papa kamu marah, kamu baru tahu rasa.''

''Ma. Asal Mama tahu ya. Sebenarnya Papa itu nggak peduli sama keluarga.'' kata Gita tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

^Plakkk!

Satu tamparan mendarat di pipi Gita.

''Kamu jangan kurang ajar, ngomong seperti itu soal papa kamu.'' bentak Mamanya.

''Gita bicara fakta. Papa memang nggak peduli sama keluarga.'' celetuk Gita kesal.

''Bukti nya, Papa saja mana pernah betah di rumah. Jalan-jalan atau makan bareng sama kita. Papa itu lebih mementingkan urusan kantornya dan urusan-urusan di luar sana yang nggak penting. Suatu hari nanti Mama akan memihak ke aku Ma, kalau Mama tahu yang sebenarnya tentang Papa .'' jelas Gita mengungkapkan unek-unek di hatinya yang selama ini mengganjal.

''Gita! Jangan kurang ajar kamu sama Papa kamu!'' bentak Mamanya lagi dan Gita langsung beranjak pergi menuju kamarnya.

Gita sedih saat mengucapkan itu. Karena, faktanya memang Papanya nggak peduli sama keluarganya.

Doanya, hanya satu, yang selalu dia panjatkan kepada-Nya.

''Ya Allah, beri aku secepatnya lulus SMA. Kalau lulus, aku bisa cari kerja dan tinggal di kos-kosan, biar nggak sering ketemu Papa.'' gumamnya sedih.

Tak lama mamanya menyusul Gita ke kamar. Dia memeluknya, dan Gita masih menangis berlinang air mata.

''Maafin Mama ya sayang. Mama nggak bermaksud kasar sama kamu. Mama minta kamu jangan berprasangka buruk sama Papa kamu. Dia bekerja, semuanya demi kita.''

Mendengar Mama mengatakan itu, aku semakin sedih. Sebenarnya Mama sedang dikhianati papa. Papa berkhianat di belakang Mama. Sepertinya Mama nggak tahu akan pengkhianatan Papa.

''Tenang Ma, aku akan cari cara yang tepat, untuk membalaskan pengkhianatan Papa ke Mama,'' pekikku berjanji dalam hati. Andai Mama tahu, pasti hatinya terluka banget melihat ulah Papa.

*Dreett....

*Dreett....

Ponselku bergetar. Kulihat ada nama Wulan Garaldin di layar ponselku. Aku cuek saja dan Mama melihatnya.

''Tuh....teman kamu telepon. Sudah jangan nangis. Masa iya anak gadis Mama yang tangguh ini cengeng begini.'' katanya sembari mengusap air mata Gita dengan telunjuk manisnya itu.

Gita masih cuek dan tak ingin mengangkat panggilan masuk dari Wulan

''Udah ya... Ini ada orderan online lagi, buat besok.'' katanya beranjak pergi meninggalkan kamar anak gadisnya itu.

"Andai Mama tahu siapa Wulan Garaldin yang sebenarnya, pasti Mama marah besar. Tenang Ma, sekarang Mama nggak perlu tahu siapa Wulan yang sebenarnya. Nanti, aku akan buat dia menderita seumur hidupnya.'' kata Gita lagi dalam hati, masih kesal.

Karena nggak diangkat, Wulan mengirim chat ke Gita. Kata Wulan, dia ngajak jalan ke mall. Katanya dia baru dikasih jatah bulanan sama Mama Papanya.

''Hahahahahah. Jatah bulanan dari Mama Papa kamu? Palsu. Kamu pembohong Wulan. Itu uang dari Papa aku kan.....?!'' tuduh Gita, bicara sendiri.

Untuk sementara, Wulan masih aman. Belum saatnya Gita memusuhi Wulan.

Wulan masih harus mengatur strategi bagaimana menjatuhkan Wulan, suatu hari nanti.

''Jemput aku kalau begitu.'' kataku membalas chat Wulan.

''Oke...aku pakai mobil ya. On the way ke rumah kamu.'' balas Wulan. Gita hanya membalas dengan mengirimkan emoticon gambar jempol manusia.

Dalam hitungan lima belas menit, Wulan datang.

''Tettttttt.....!

''Tettttt.....!

Bunyi klakson itu menandakan Wulan sudah di depan rumah. Gita pun bergegas keluar.

Di perjalanan, Gita pura-pura minta maaf sama Wulan.

''Ya udah, aku sudah lupain semua yang kemarin. Aku juga heran, kenapa kamu seperti itu sama aku, kemarin." ungkap Wulan terus terang.

''Makasih ya,'' jawab Gita.

''Eh iya....aku bisa minta tolong nggak ke kamu," kata Gita pada Wulan.

''Apa?" sahut Wulan.

"Bilang ke Mama aku, kalau kamu mau ngajakin aku tinggal di apartemen kamu. Kan kamu lagi sendiri. Orang tua kamu katanya di luar negeri ya. Tapi, setelah itu, aku nggak tinggal di apartemen kamu. Aku mau kos. Ya tolong bilangin seperti itu ke mama aku?'' kata Gita memohon pada Wulan.

"Mama kamu nggak izinkan? Bilang saja sama Papa kamu,'' kata Wulan memberi saran.

"Ide bagus. Boleh dong kamu yang bilang juga ke papa aku," kata Gita lagi.

''Oke aku coba ya. Besok kalau ada papa kamu di rumah kabari ya. Besok kan libur. Tanggal merah,'' ungkap Wulan penuh semangat.

"Dasar pela^^r kelas kakap. Pasti hati kamu bahagia kan, kalau ketemu papa aku!'' maki Gita dalam hati.

''Eh besok malam ladies night. Kita ke pub yuk.'' ajaknya seolah mengalihkan pembicaraan.

''Nggak Wulan. Lagi nggak pengen ke club minggu ini,'' kata Gita menolak ajakannya.

''Hmm....ya udah nggak apa. Nanti aku ajak Bimo.'' sebutnya.

''Ah....Bimo itu lelaki khayalan yang kau ciptakan di otak kamu. Lelaki yang sesungguhnya itu kan....Papa aku. Chiko Bramana.'' celetukku dalam hati dan rasanya aku ingin mencakar wajahnya, menjambak rambutnya, biar dia terluka, babak belur dan berdarah-darah.

''Kita ke mall aja ya....hari ini. Aku kepingin beli sepatu incaran aku. Harganya Rp500 ribu. Sepasang sama tasnya, jadi Rp1,2 juta.'' sebut Wulan pamer ke Gita.

Gita diam saja saat Wulan pamer mau beli barang impiannya yang menurutnya itu harganya selangit. Gita juga sebenarnya punya jatah bulanan dari Papanya.

Tapi, Gita yakin. Jatah uang bulanan Gita, tak sebanyak jatah bulanan yang diberikan ke Wulan .

''Dasar jahanam perempuan di depan aku ini!'' makiku, lagi-lagi masih menggerutu dalam hati.

''Kamu itu, pembohong besar, Wulan,'' andai Gita bisa memaki dia dengan kalimat itu.

''Nanti kamu beli apa?'' tanya Wulan.

''Hmmmmm.....apa ya. Aku kayaknya lagi bokek. Nggak beli apa-apa. Cuma mau nganterin kamu shoping aja.'' jawab Gita sambil terlihat pura-pura bingung mau jawab apa.

''Nanti setelah shoping, kita makan aja ya. Aku kepingin makan ikan bakar.'' sebut Wulan.

''Boleh. Aku ikut apa kata kamu saja.'' jawab Gita.

Tiba di mall, Wulan berkeliling, mencari sepatu dan baju incarannya itu.

Gita, merasa jadi ajudan yang lagi nganter anak pejabat shoping.

Hahahahaha! ''Sabar.....Git ya....., jangan iri sama Wulan yang dapat kucuran dana buat shoping dari Papa kamu itu. Sabar ya....orang sabar disayang sama Tuhan.'' kata Gita, membatin.

Tiba-tiba pikiran Gita jadi jahat. Ingin memanfaatkan Wulan. Karena, Gita merasa punya hak, atas semua yang Wulan. Sebab, Gita yakin, apa yang dimiliki Wulan, semua didapat dari papanya.

Tapi, gimana caranya ya. Aku harus cari akal, gimana caranya memanfaatkan Wulan.(***)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel