Bab 2
Ia sudah memasuki perkarangan rumahnya. Ia disambut dengan pepohonan rimbun yang berbaris di halaman rumahnya. Dari kejauhan, tampak seorang wanita tengah berdiri di ambang pintu, sudah lengkap dengan gaun panjangnya yang sopan. Sepertinya wanita itu sengaja berdiri disana karena tidak ingin membuat suaminya menunggu. Sungguh baik bukan? Padahal udara malam itu lumayan dingin. Syukur wanita itu mengenakan gaun tertutup. Tanpa harus turun dari mobil, wanita itu masuk kedalam mobilnya setelah dibukakan pintu dengan Paman Kang—alias sopir pribadi mereka.
Seperti biasa. Tidak ada obrolan didalam perjalanan mereka. Keduanya sama-sama tampak tenang. Drrt.. Drrt.. Ponsel wanita itu bergetar. Ditengah kesunyian yang sangat menyiksa, melihat nama sepupunya di layar ponselnya membuatnya sangat bahagia. Wajah manyunnya langsung memperlihatkan senyuman yang sangat indah. Tetapi ia mengingat keberadaan suaminya disampingnya. Dengan penuh keberanian, dia menoleh pada lelaki itu lalu memaksa mulutnya untuk berkata.
“Bolehkah aku mengangkatnya?” suaranya benar-benar pelan, saking takutnya.
“Angkat saja.” jantungnya berdesir mendengar suara itu. Suaminya itu selalu membuatnya was-was. Ia menelan ludahnya sejenak guna menepis ketegangan itu. Lalu dengan wajah sumringah, ia menerima panggilan itu.
“Aa Sejeong-a! Omo.. Aku sangat merindukanmu!” ia mendadak melupakan keberadaan suaminya.
[Eonni, aku juga merindukanmu!] saking kerasnya, suara sepupunya sampai keluar dari ponsel. Bahkan suaminya dapat mendengar.
“Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sudah makan?”
[Kami baru saja selesai makan. Eonni, appa ingin bicara denganmu.] Sejeong memberikan ponselnya kepada ayahnya—yang kebetulan masih berada di meja makan.
[Yoona-a, bagaimana kabarmu?] Suara pamannya itu juga tak kalah keras.
“Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan paman? Apa paman sudah berbaikan dengan Bibi Song?” tanya Yoona seperti ingin tertawa.
[Kami sudah berbaikan sejak lama.] Lalu mereka tertawa.
“Katakan pada bibi, besok aku akan kerumah.” Ujarnya seraya melirik suaminya—yang tampaknya tenang-tenang saja.
[Wah, benarkah? Baiklah! Kebetulan sekali besok hari libur jadi aku juga ada dirumah. Kami akan memasakkan makanan kesukaanmu!]
“Haha.. Aku jadi tidak sabar ingin mencicipinya. Paman, kalau begitu aku tutup dulu teleponnya. Aku sedang diperjalanan menuju rumah Paman Yoo.”
[Aa, jadi kalian sudah dalam perjalanan? Baiklah. Sampai jumpa besok ya!]
“Ne..” senyuman sudah menghilang dari wajahnya. Suasana kembali hening. Ia ingat itu, tadinya ia mengatakan hendak kerumah pamannya disamping suaminya. Ia bahkan belum meminta ijin. “itu.. apakah aku boleh—“
“Lakukan saja apa yang kau mau.” Sela suaminya yang selalu mengatakan itu disaat ia akan meminta ijin. Sebenarnya Yoona tahu itu. Ia tidak perlu meminta ijin jika ingin melakukan apapun—karena suaminya sudah berulang kali mengatakan ‘Lakukan saja apa yang kau mau’. Tetapi sebagai seorang isteri akan lebih baik jika selalu meminta ijin.
Mereka tiba dirumah Komisaris Yoo lebih cepat dari biasanya. Tidak, sebenarnya tidak ada yang berbeda, mungkin karena tadinya Yoona sempat berbincang dengan Sejeong dan pamannya, jadi perjalanannya tidak terlalu terasa lama karena kehampaan. Jika tadinya sang suami berlaku acuh, tetapi tidak dengan sekarang. Ia turun dari mobil terlebih dahulu, lalu melangkah cepat menuju pintu lainnya guna membukakan pintu untuk isterinya. Mengapa? Karena Komisaris Yoo dan isterinya sudah menunggu didepan pintu rumah mereka. Ia menggandeng tangan isterinya dan mereka melangkah bersama menghampiri tuan rumah.
“Wah.. Selamat malam Bapak Presiden Direktur! Aku sangat senang atas kedatangan anda.” Salam sapa yang kelewat ramah. Tapi sukses membuat si muka ketat tersenyum. Komisaris Yoo dan isterinya sudah terhitung tua, mereka berumur sekitar 60-an, tetapi fisik mereka masih tampak sangat kuat. Alasan terkuat mengapa ia tidak bisa menolak acara makan malam itu adalah karena Komisaris Yoo berteman baik dengan ayahnya.
“Saya juga berterimakasih karena sudah diundang.” Mereka bersalaman dengan kaku. Sedangkan para isteri sudah berpelukan dengan nyaman.
“Kalau begitu ayo silahkan masuk. Saya sudah menyiapkan banyak makanan yang lezat. Aa, bukan saya yang masak, tetapi koki dirumah ini. Haha..” Komisaris Yoo memang banyak tertawa.
Mereka duduk berhadapan dengan pasangan masing-masing. Pelayan dirumah itu tampak berdiri di sudut ruangan, siap untuk membantu. Beberapa dari mereka menuangkan wine, dan juga menuangkan sup ke mangkuk. Terlalu banyak menu yang dihidangkan di meja persegi panjang itu. Mungkin sekitar 30 macam menu? Sepertinya lebih.
“Bapak Presiden Direk—“
“Aa, Komisaris Yoo.” Selanya. “bisakah kita mengobrol lebih santai? Panggil namaku saja.” Ujarnya akhirnya. Komisari Yoo langsung tersenyum lebar.
“Baiklah. Kalau begitu, silahkan dinikmati. Ayo dimakan. Yoona-ssi, apa ada yang tidak kau suka? Aku akan singkirkan yang tidak kau suka dan akan aku suruh kokiku buatkan yang lain.”
“A-aniyo. Aku suka semuanya.” Jawab Yoona dengan lembut seperti biasa.
“Mmm.. Kau manis sekali. Pantas saja Sehun menikahimu.”
Uhuk! Yoona terbatuk dan segera meneguk wine miliknya. Berbeda dengannya, suaminya tampak sangat tenang seakan tidak mendengar apapun.
Menikahiku? Haha.. Lucu sekali. Paman, sebenarnya kami tidak benar-benar menikah!
Ingin sekali rasanya meneriakan itu. Tapi Yoona telan dengan senyum manisnya. Ya, suaminya itu bernama Sehun. Lengkapnya, Oh Sehun.
Makan malam itu tak berlangsung lama karena Sehun beralasan harus lanjut memeriksa kerjaannya dirumah. Mereka pamit dari sana, masih berlaku manis. Sehun menggandeng tangan isterinya menuju mobil. Ia juga membukakan pintu mobil untuk isterinya. Tapi sikap manisnya menghilang seketika usai mereka pergi dari sana. Aura mematikan pun kembali memenuhi mobil itu.
“Nyonya, bangunlah. Anda harus tidur dikamar.” Itu suara Paman Kang. Ternyata Yoona tertidur selama diperjalanan dan suaminya itu tidak membangunkannya, malah meninggalkannya begitu saja didalam mobil. Syukur Paman Kang menyadari keberadaannya disana.
“Apa aku tertidur lagi?” Tanya Yoona berusaha mengumpulkan kesadarannya.
“Nyonya pasti sedikit mabuk. Mari saya bantu.” Paman Kang segera membantu Yoona untuk berdiri.
“Tadi aku tidak sengaja meneguk hampir 3 gelas wine.” Ujarnya berlaku manja seakan Paman Kang adalah ayahnya.
“Aigoo.. Nyonya kan tidak kuat minum. Mari saya bantu.” Dibantukan Paman Kang, Yoona masuk kedalam rumah.
“Omona, apa yang terjadi? Apa Nyonya mabuk?” Seorang wanita tua menghampiri mereka. Wanita tua itu merupakan koki dirumah mereka.
“Bibi Kim, tolong bantu aku kekamar ya.” Pinta Yoona juga berlaku manja.
“Baiklah. Pak Kang, anda istirahat saja. Saya yang akan membantu Nyonya.”
Mereka menaiki tangga menuju lantai 2. Ada dua kamar tidur disana, kamar Yoona dan kamar suaminya. Kedua kamar itu letaknya saling berhadapan yang ditengahnya terdapat sebuah ruang kerja—yang biasanya digunakan Sehun untuk mengerjakan sisa kerjaannya yang belum diselesaikan. Yoona masuk kedalam sebuah kamar yang berada disebelah kiri dari tangga. Bibi Kim juga membantunya berbaring ditempat tidur lalu membukakan sepatunya. Baru saja berbaring, Yoona sudah tertidur pulas. Ya, seperti itulah seorang Im Yoona.
-
-
-
Continued..
