3. Mental Istri Letnan Kolonel
Sekitar 4 bulan lagi adalah ujian akhir siswa kelas 12 dan semua teman-teman Camilio sudah serius menentukan pilihan untuk melanjutkan di perguruan tinggi mana dan di jurusan apa, bahkan beberapa dari mereka sudah mulai memasukkan semua persyaratann pendaftaran.
Camilio merasa gamang untuk membicarakan keinginannya pada Catharina. Tapi ia tidak boleh menunda lagi. Camilio sudah siap dengan segala kemungkinan setelah berbicara dengan ibunya, termasuk alternatif jurusan yang akan diambil jika Catharina tidak merestuinya.
"Mom, aku ingin bicara tentang kuliahku," kata Camilio setelah mereka menyelesaikan makan malamnya dan duduk santai di sofa. Catharina menganggukkan kepala dan mempersilakan Camilio bicara.
"Jika aku ingin melanjutkan ke sekolah militer, apakah kau keberatan Mom?" tanya Camilio dengan hati-hati.
Catharina tampak terkejut mendengar anak semata wayangnya mengutarakan keinginannya.
Rasa sakit kehilangan suami tercinta saat bertugas, masih sangat terasa dan kini.....
"Sebelum Mom menjawab, katakan, apa yang membuatmu ingin masuk ke dunia militer?" tanya Catharina
"Sebenarnya aku sudah lama ingin seperti Dad, tapi aku yakin Dad tidak akan mengijinkanku mengikuti jejaknya karena ia tidak mau dianggap mempermudah langkahku dengan kekuasannya. Sekarang Dad sudah tidak ada jadi aku ingin kembali mengejar cita-citaku. Aku ingin melakukan hal-hal yang hebat, membanggakan orang tua, berjuang membela negara dan melindungi yang lemah," jawab Camilio penuh semangat.
Catharina terdiam mendengar jawaban anaknya. Ia mengerutkan dahinya dan tidak bisa berkata apa-apa hingga beberapa menit.
"Mom, apakah keinginanku menyakiti hatimu?" tanya Camilio hati-hati.
Karena ibunya masih juga terdiam, Camilio mengira ibunya bersedih "Jika kau tidak merestuiku, aku akan berhenti. Aku punya pilihan lainnya, jurusan penambangan," kata Camilio.
"Seorang tentara harus tegas. Jika kau lemah atau mudah terbawa perasaan, kau tidak boleh masuk militer!" seru Catharina yang membuat Camilio terkejut dan mengerutkan dahinya.
"Kau bilang ingin membela negara, bukan?"
"Jawab pertanyaanku, seandainya Mom disandera oleh musuh dan musuh memintamu membocorkan rahasia negara, apa yang akan kau lakukan?" tanya Catharina dengan tajam.
Mata Camilio membelalak mendengar pertanyaan tajam dari ibunya. Ia mengerutkan dahinya. Sungguh itu pertanyaan yang sangat sulit dijawab.
"Kau tidak bisa menjawab?" tanya Catharina seraya memicingkan matanya karena 30 detik berlalu dan Camilio tidak juga mampu menjawab.
Camilio menatap ibunya dengan tatapan tak terbaca dan masih tidak mampu berkata-kata.
"Kau harus berkata tegas pada musuhmu, aku tidak akan pernah membocorkan rahasia negara dan tidak akan pernah menjadi seorang pengkhianat bangsa!" jawab Catharina dengan tegas.
"Mom... " lirih Camilio dengan tatapan mata sedihnya.
"Dengar! Menjadi istri seorang tentara harus siap menghadapi apapun. Mom harus mendukung ayahmu dengan siap mati jika sewaktu-waktu menjadi incaran musuh meski Mom yakin, ayahmu dan negara tidak akan tinggal diam. Ayahmu pasti berusaha melindungi dan menyelamatkank," kata Catharina, membuat Camilio termenung.
"Musuh tidak boleh merasa di atas angin karena berhasil menggertakmu dengan sandera, sekalipun yang menjadi sandera adalah keluargamu. Kau harus bisa menggertak balik sekalipun taruhannya adalah nyawa keluargamu. Kau cari cara untuk mengulur waktu agar bisa menyelamatkan sandera. Kau harus bisa mengontrol emosimu dengan menjatuhkan balik mentalnya, bukan dengan cara mengemis! Seorang tentara pantang mengemis nyawa," jelas Catharina lebih lanjut.
Camilio tertegun mendapat penjelasan dari ibunya. Ia tidak menyangka, ibunya yang tampak lemah lembut ini ternyata memiliki jiwa militer.
"Aku berpikir hanya ingin mengabdi pada negara dan membanggakan orang tuaku satu-satunya. Jadi aku ingin berbakti padamu, Mom. Aku tidak pernah berpikir musuh akan menyandera keluargaku. Maafkan aku. Pengetahuanku tentang hal itu masih sangat minim. Aku akan berusaha memperbaikinya," sahut Camilio seraya menundukkan kepalanya.
"Mom tahu, kau mempunyai hati yang lembut dan sangat menyayangi orang tuamu. Mom bersyukur kau tumbuh menjadi anak yang baik, cerdas dan berbakti padaku. Tapi kelembutan hati itu tidak cocok untuk menjadi prajurit negara," kata Catharina menasehati. Ia mengambil napas panjang untuk menjeda perkataannya.
"Jika jiwa dan mentalmu lemah saat keluargamu jadi sandera, maka kau jangan pernah masuk militer. Aku tidak mau anakku menjadi pengkhianat bangsa, apalagi kalau alasannya adalah untuk melindungi nyawaku. Pikirkan lagi hal itu!" seru Catharina dengan tegas sambil menatap dalam pada Camilio.
"Apakah..., artinya Mom tidak akan pernah menyalahkan Daddy, jika seandainya Mom menjadi sandera musuh? Dan kemungkinan terburuk adalah.. kau di..disiksa atau di.dibu..nuh?" tanya Camilio agak terbata.
"Sejujurnya, Mom tidak menyukai pekerjaan berbahaya. Aku ingin punya kehidupan yang tenang. Tapi Mom mencintai ayahmu dan bersedia dinikahinya. Jadi Mom harus mendukung ayahmu dengan segala kemampuanku. Mom tidak boleh membatasi atau menghalangi cita-cita dan karir suamiku dengan cinta yang egois," jawab Catharina dengan lembut.
"Jadi Mom tidak akan menyalahkan ayahmu jika ada orang menyanderaku dan ayahmu tidak bisa menyelamatkanku. Demikian juga seandainya kau menjadi tentara. Mom tahu konsekuensinya. Mom mencintai kalian berdua. Kejarlah mimpimu, Cam. Tapi siapkan dulu mentalmu. Gunakan kecerdasanmu untuk menyelematkan orang-orang lemah. Jangan pernah mengkhianati sumpah militer dan bangsamu," kata Catharine dengan bijak.
Camilio benar-benar terharu dan kagum mendengar penjelasan dan restu dari ibunya. Seketika ia beranjak dari tempat duduknya dan berlutut di depan ibunya.
"Kau seorang wanita yang luar biasa, Mom. Dad sangat beruntung memilikimu. Aku kagum dan benar-benar hormat padamu," kata Camilio dengan tatapan yang mendalam.
Catharina memeluk Camilio dan mengecup dahinya.
"Semua orang ingin kehidupan yang nyaman dan tenang. Demikian juga denganku. Jika semua orang melarang anak dan suaminya untuk masuk militer dengan dalih perasaan cinta atau sayang, lalu siapa yang akan membela negara dari serangan musuh atau pemberontak, hmm?" kata Catharina dengan lembut.
Camilio menganggukkan kepalanya dengan tegas. Catharina melerai pelukannya dan menatap putra tunggalnya dengan penuh kasih.
"Menjadi prajurit negara adalah panggilan hati. Kejarlah cita-citamu. Mom tidak ingin membatasi suami dan anakku dengan kecengenganku. Jadilah yang terbaik! Mom hanya bisa mendukungmu dalam doa. Berjanjilah untuk selalu berhati-hati saat bertugas karena Mom selalu menunggumu pulang. Ingat baik-baik, jangan pernah menjadi pengkhianat bangsa!" kata Catharina. Dan Camilio menganggukkan kepala dengan tegas.
"Aku tidak akan mengecewakanmu, Mom."
***
Setelah berbincang dan mendapat nasehat dari ibunya, Camilio mulai mencari tahu tentang sekolah militer.
Pilihan Camilio jatuh pada The United State Military Academy (USMA) atau Army West Point.
Camilio mendapat informasi bahwa Army West Point sangat selektif untuk menerima calon mahasiswa/i baru. Army West Point berpartisipasi dalam program scorechoice, yang berarti bahwa kantor penerimaan akan mempertimbangkan nilai tertinggi pelamar dari setiap bagian individu setiap test yang diberikan.
Akademi mengharuskan semua calon untuk menyelesaikan wawancara dan lulus penilaian kebugaran fisik. Memenangkan kandidat biasanya menunjukkan potensi kepemimpinan, keterlibatan ekstra kurikuler bermakna, dan kemampuan atletik.
Persyaratan mutlak lainnya adalah pelamar harus menerima atau mendapat nominasi dari seorang senator, anggota Kongres, atau anggota layanan komponen lain. Hal ini terjadi karena Army West Point berusaha melibatkan pihak Kongres dalam proses menciptakan para personil militer AS.
Camilio mencoba menghubungi teman dan atasan ayahnya untuk mendapat referensi atau membantunya mendapatkan nominasi yang menjadi salah satu persyaratan untuk mendaftar di sana.
Tentu semua persyaratan ketat tersebut tidak terlalu sulit bagi Camilio karena ia memiliki prestasi akademis yang cemerlang serta memiliki pembawaan dirinya yang tenang dan simpatik. Ditambah lagi nama baik dan prestasi ayahnya yang gugur sekitar 1 bulan yang lalu.
Berita seorang siswa yang ingin masuk sekolah militer pun akhirnya sampai ke telinga para guru karena pihak yang akan dimintai nominasi untuk Camilio, mengkonfirmasi data yang mereka terima pada pihak sekolah.
Sebagian guru menyayangkan pilihan Camilio untuk masuk sekolah militer mengingat wajib militer sudah tidak diberlakukan dengan ketat di Amerika. Mereka berpikir, dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Camilio, ia bisa masuk ke jurusan lain yang sangat kompetitif tanpa menjadikan nyawa sebagai taruhannya.
Sebagian guru lainnya memaklumi bahwa jiwa patriot sang ayah mengalir kuat pada tubuh anaknya.
-To Be Continue-
