2. Cita-cita Camilio
2 hari kemudian, Camilio dan ibunya sudah mulai beraktifitas seperti biasa.
Setelah sarapan 2 potong roti dan secangkir teh manis hangat, Camilio berpamitan untuk berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki dengan jarak kurang dari 10 menit di tempat bis sekolah menunggu para muridnya. Sedangkan Catharina berangkat ke toko mengendarai mobil setelah membereskan meja makan dan dapur.
Di sekolah Camilio menerima ucapan bela sungkawa dari guru-guru dan teman-temannya.
Sejak di tingkat dasar atau elementary, Camilio termasuk anak yang cerdas dan berprestasi. Ia selalu mendapat peringkat 1, baik di kelasnya atau secara pararel.
Ia mengharumkan nama sekolah dengan menjadi juara pada lomba akademis dan bergabung bersama tim bakset sekolah untuk mengikuti kejuaraan nasional, hingga yang terakhir adalah Camilio menjadi juara 1 olimpiade matematika international dan juara 2 olimpiade sains internasional.
Tidaklah heran jika sosok Camilio mencuri perhatian dan hati para guru serta komite yang menaungi sekolahnya.
Camilio banyak disukai teman-teman sekolahnya karena meskipun tergolong anak yang penuh prestasi akademis dan non akademis namun ia selalu ramah dan tidak pelit berbagi ilmu pada teman yang datang meminta bantuannya.
Memasuki kelas 10, Camilio semakin dipuja banyak teman, terutama gadis-gadis remaja. Selain prestasinya yang sangat mencorong, ia memiliki wajah tampan, tubuh yang tinggi dan atletis.
Gaya rambut textured fringe berwarna pirang gelap, mata coklat yang simpatik dan pembawaan Camilio yang tenang, murah senyum tapi cenderung pendiam, membuat para gadis remaja menjadi sangat penasaran dibuatnya.
Kebiasaan jogging minimal 1 jam dan berenang saat hari libur bersama ayahnya sejak kecil, serta push up dan rope skipping tiap pagi selama 30 menit membentuk tubuhnya menjadi atletis sehingga membuat gadis-gadis remaja di sekolahnya sering malu-malu dan salah tingkah saat menatap Camilio atau berdekatan dengannya.
Beberapa gadis berpura-pura bertanya tentang pelajaran namun malah jadi bengong saat Camilio menjelaskannya. Camilio tidak pernah menanggapi godaan dari teman-teman gadisnya karena ia mempunyai prinsip harus memiliki pekerjaan yang mapan dahulu sebelum memiliki hati seorang wanita.
Camilio berbeda dengan teman-teman pria seangkatannya yang selalu menghabiskan waktu senggang untuk nongkrong, baik bergerombol atau bersama gadis-gadis di cafe maupun di tempat lainnya untuk bermain game. Camilio selalu menghabiskan waktu luangnya untuk berolah raga dan membaca buku yang ia pinjam di perpustakaan sekolah atau pergi ke New York Public Library. Camilio hanya tersenyum mendengar olokan dari teman-temannya tersebut.
Darren adalah nama salah satu teman dekatnya. Ia berada dalam 1 team basket dan futsal bersama Camilio. Namun Darren agak lemah dalam pelajaran, terutama matematika dan sering meminta Camilio mengajarinya.
"Cam, kau jadi ambil jurusan apa setelah lulus nanti?" tanya Darren.
"Aku akan mendaftar di akademi militer saja," sahut Camilio yang sukses membuat Darren tersedak salivanya sendiri.
"Uhuk.. uhukk.."
Darren segera mengambil minuman di dalam tas ransel coklatnya dan meminumnya.
"Tidak jadi ambil jurusan aktuaria atau penambangan?" Tanya Darren.
"Sejak lama aku ingin seperti ayahku, jadi tentara. Tapi aku berpikir ayahku dulu tidak akan setuju karena ia tidak mau dianggap aku mengambil keuntungan dengan diberi kemudahan. Tapi sekarang ayahku sudah meninggal jadi aku bisa kembali mengejar cita-cita awalku." Jelas Camilio
"Rambutmu akan dicukur dan tidak boleh lebih dari 5 sentimeter. Kulit badan dan wajahmu akan merah terbakar selama ikut pelatihan fisik militer di cuaca panas, apa kau rela tidak keliatan tampan lagi? Kau lupa bagaimana ayahmu kemarin tewas, hah? Apa kau tidak kasihan pada ibumu? Kau tidak sayang otak encermu diadu dengan peluru?" cecar Darren.
"Ckckck.. pertanyaanmu seperti gerbong kereta saja," ledek Camilio sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, yang membuat Darren mendelik dan mendengus.
"Kalau memang aslinya tampan, rambut dicukur gundul pun akan tetap tampan hehe.. Lagipula kau bukannya senang menjadi pemain basket paling tampan kalau tidak ada aku," sahut Camilio sambil terkekeh geli.
"Ck! Aku serius, Cam! Jangan becanda terus," seru Darren sambil menepuk lengan Camilio.
"Yeahh…, Mungkin sudah biasa dengan didikan ayahku untuk latihan fisik setiap hari, jadi aku sudah siap dan tidak takut menghadapi latihan fisik militer yang katanya sangat berat. Aku juga tidak trauma dengan bagaimana ayahku meninggal. Aku sangat kagum padanya, berjuang untuk keamanan negara tapi penuh perhatian dan sayang pada keluarganya. He is my role mode," jawab Camilio sambil menerawang jauh mengenang sosok ayahnya.
"Ahh kau ini.. bayangkan coba, kau bertugas di pinggiran, perbatasan atau daerah berbahaya, masuk hutan. Selain ancaman musuh juga ada binatang buas, harus selalu waspada, tegang.. apa tidak bosan, hah?" tanya Darren berapi-api.
"Itu seni dan ada kepuasan tersendiri saat bisa keluar dari hutan atau lolos dari ancaman binatang buas. Menurutku, lebih baik mati muda karena melakukan hal yang berguna untuk negara dan membanggakan orang tua daripada mati tua dan penuh penyesalan," jawab Camilio secara diplomatis.
"Ck!! Susah bicara dengan orang jenius yang sudah di doktrin jiwa nasionalisnya," sebal Darren, dan Camilio kembali terkekeh geli.
"Jurusan aktuaria dan penambangan itu sangat keren, Cam. Lapangan kerjanya pun banyak tantangan dan rewardnya menjanjikan. Sorry brother, bukan bermaksud memandang negatif pada profesi ayahmu di militer, tapi coba kau pikir saja, seandainya gaji di sana itu puluhan ribu dollar tapi taruhannya adalah nyawa, apa itu setimpal? Uang banyak kalau tidak ada nyawa, apa bisa kau nikmati, hah?!" seru Darren dengan antusias tinggi.
Camilio hanya tersenyum saja mendengarnya
"Jika kemampuan otakku setingkat saja di bawahmu, aku pasti ambil jurusan aktuaria atau penambangan!" gerutu Darren.
"Ambil saja! Nanti kubantu kau mengerjakan tugas-tugas kuliahmu," sahut Camilio dengan enteng.
"Ck! Ambil kepalamu itu!! Bagaimana kau membantuku jika posisimu nanti dikurung saat di militer, hah!? Gila kau ya!" seru Darren sambil memukul bahu Camilio dengan buku yang ada di tangannya.
"Easy dude! Jangan emosi. Nanti otakmu malah semakin parah tersumbatnya," kekeh Camilio dengan riang.
Darren mendelik dan melempar buku yang ada di tangannya ke dada Camilio, membuat Camilio tertawa terbahak-bahak.
Setelah puas tertawa, Camilio bergumam "Satu-satunya yang membuatku ragu masuk militer hanya 1, yaitu ibuku."
Darren menganggukkan kepalanya.
"Ibuku memang selalu tegar setiap kali ayahku berpamitan untuk pergi bertugas tapi aku yakin, pikirannya pasti cemas menunggu ayahku pulang beberapa minggu kemudian. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana ibuku pingsan saat menerima telepon yang mengabarkan ayahku tewas," kenang Camilio.
"See..!? Pikirkan perasaan ibumu, jangan egois. Orang tua pasti berharap mereka yang mati lebih dulu daripada anaknya. Ingat, peluru tidak punya mata. Jadi kau pikirkan lagi baik-baik, bagaimana hancurnya ibumu jika seandainya ia harus memakamkanmu. Lagian sayang kan kalo otak super encermu itu ditembak oleh musuh," kata Darren dengan serius.
Camilio menghela napas panjang dan menatap langit-langit ruangan perpustakaan.
"Pengabdian tidak bisa diukur dengan uang dan kematian adalah takdir. Jika sudah tiba waktunya, kita tidur atau duduk pun juga bisa mati. Tuhan menciptakanku dengan banyak talenta, jadi aku yakin Sang Penciptaku tidak akan membuatku mati muda sebelum sempat berkarya. Akan ku lihat dulu bagaimana respon ibu kalau aku mengatakan keinginanku masuk militer," jawab Camilio.
Darren hanya angkat bahunya, menyerah melihat tekad teman baiknya itu.
"Bagaimana dengan Debbie? Kalau kau jadi masuk militer, siapa yang akan melindunginya lagi?" tanya Darren.
Camilio menghela napasnya dan terdiam sesaat.
"Ku titipkan dia padamu. Tolong lindungi dia," jawab Camilio.
"Ck! Debbie itu takut pada semua orang di sekolah, kecuali padamu," seru Darren.
"Aku sudah berkali-kali bicara padanya. Sikap dia yang selalu apatis itu akan banyak membuat orang sebal dan terpancing untuk membullynya. Tapi dia bilang selalu takut kalau melihat orang yang bercanda kelewatan," kata Camilio.
"Sepertinya dia harus dibawa ke psikiater. Minum obat atau terapi," sahut Darren.
"Entahlah.. tapi kalau di rumah dan sekitarnya, sikap Debbie normal meski tetap pendiam. Bagaimana cara aku bercerita pada orang tuanya dan mengusulkan untuk membawanya ke psikiater. Aku bukan saudara atau keluarganya," seru Camilio, dan Darren tampak ikut berpikir.
"Lagipula aku tidak mau terlalu mengurusi masalah orang lain. Urus diri sendiri supaya tahan punya teman menyebalkan sepertimu saja sudah membuatku pusing, " lanjut Camilio sambil menahan tawanya.
Darren mendecak dan kembali melempar 2 buah buku yang ada di depannya ke dada Camilio dengan keras dan membuat Camilio tertawa terbahak-bahak.
"Aku ada ide. Teman-teman dan adik kelas kan semua segan padamu. Kau jadikan saja Debbie kekasihmu. Aman.. siapa yang tidak kenal kharisma si jenius Camilio, hah?! Biarpun kita sudah lulus duluan, Debbie aman dengan status sebagai kekasihmu," celetuk Darren sambil mengangkat 1 alisnya.
"Tidak. Aku tidak mau memikirkan masalah cinta sebelum aku mendapat pekerjaan. Lagi pula, aku tidak pernah ada perasaan khusus pada Debbie selain rasa kasihan saja melihatnya selalu ketakutan dan sering dibully. Aku juga tidak mau memperumit diri dengan berpura-pura pacaran dengannya. Dengar Darren, jangan pernah mempermainkan perasaan anak orang," sahut Camilio dengan tegas.
"Ck! Aku tahu Debbie itu anak orang bukan anak kelinci biarpun kelakuannya seperti kelinci yang selalu ketakutan! Lagian siapa yang memintamu mempermainkan perasaan orang, hah!" sengit Darren.
"Kalau begitu, kau saja yang jadikan Debbie kekasihmu," celetuk Camilio.
"Kau kan tahu aku sedang mengejar Maurren. Ahh..., sudahlah! Apa kau tidak menyesal kalau mendengar kabar dia nanti dibully habis-habisan atau disakiti orang?" tanya Darren dengan serius
"Pfff..,. aku tidak mau terlibat terlalu dalam. Jika aku bisa membantu, pasti akan ku bantu. Setiap orang punya takdir masing-masing. Aku tetap fokus pada cita-citaku," seru Camilio seraya menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Jadi ini benar, tekadmu bulat akan masuk militer?" tanya Darren tak percaya, dan Camilio hanya menganggukkan kepalanya.
"Nanti malam atau besok, aku akan bicara. Semoga ibuku merestui. Setelah itu, aku akan melengkapi persyaratan untuk masuk ke sana," gumam Camilio.
-To Be Continue-
