4. Tentang Debbie
"Cam, berita tentang kau akan masuk sekolah militer sudah menyebar. Kau serius?" tanya Darren seraya merangkul bahu Camilio yang sedang berjalan menuju gedung sekolah.
Camilio menganggukkan kepalanya seraya tetap berjalan santai.
"Oh ghost... lalu bagaimana dengan nasibku??!" seru Darren sambil menepuk dahinya sendiri.
"Maksudmu?"
"Orang tuaku mendesakku mengambil kuliah teknik sipil. Memang keren tapi kalau tidak ada kau, siapa yang mengajari dan membantuku membuat tugas?!" seru Darren dengan wajah polosnya.
"Ck!! Seandainya aku mengambil jurusan aktuaria atau penambangan, aku juga tidak bisa membantumu. Kita beda jurusan, Darren!" jawab Camilio dengan wajah bingung.
"Otakmu kan encer. Baca materi 10 sampai 20 menit saja sudah paham. Beda jauh denganku. Jadi aku sangat mengandalkanmu, Cam?!" seru Darren dengan senyum tanpa dosa.
"Astagaaa...,kau mau memanfaatkanku, hah?! Hampir 3 tahun kau kursus privat gratis denganku, apa masih kurang? Enak saja," jawab Camilio seraya berjalan cepat menjauhi Darren.
"Heyy.. Cam, jangan kabur.. heyy..!!! Dengarkan dulu, kalau kau lulus dengan nilai rata-rata A itu memang sudah semestinya, tidak ada yang bisa kau banggakan. Tapi kalau kau bisa membuat sahabatmu yang paling tampan di New York ini lulus dengan nilai B atau B+, baru kau layak berbangga!" seru Darren sambil mengejar Camilio.
"Kau menyebalkan!" pekik Camilio sambil setengah berlari menjauhi Darren untuk menuju kelasnya.
Sebelum memasuki kelas, ekor mata Camilio menangkap seseorang yang sedang mengamatinya dari samping. Camilio segera menolehkan wajahnya dan menemukan Debbie yang sedang memperhatikannya seraya berjalan menuju kelasnya, yang berada 1 lantai dengan kelas Camilio dan Darren.
Camilio berhenti dan menatap Debbie. Dan karena Camilio berhenti secara mendadak, membuat Darren menabrak tubuh Camilio.
Buggg...
Camilio memukul punggung Darren dengan keras.
"Sakittt!" pekik Darren.
"Halahh manja! Kau menabrakku dan sikumu mengenai dadaku. Itu lebih sakit!!" seru Camilio tidak terima.
"Itu karena kau yang berhenti mendadak!" sahut Darren tidak mau kalah.
Debbie berjalan cepat sambil menundukkan kepalanya, melewati Camilio dan Darren yang sedang berdebat.
"Deb, bagaimana kabarmu?" seru Camilio menyapa Debbie.
Debbie menghentikan langkahnya dan menolehkan wajahnya. Ia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala lalu kembali berjalan.
"Debbie, tunggu!" seru Camilio seraya melangkahkan kakinya dengan lebar untuk menyusul Debbie.
Debbie memghentikan langkah kakinya dan mengangkat wajahnya menatap Camilio, "ada apa?" tanyanya.
"Kalau nanti siang atau sore ada waktu, aku ingin bicara denganmu sebentar," jawab Camilio.
"Tentang apa?"
"Hanya bicara ringan-ringan saja. Kita sudah 2 minggu tidak komunikasi. Hari ini kau pulang jam 14.00 kan?" tanya Camilio.
Debbie menganggukkan kepalanya.
"Sama! Kita ketemu di pemberhentian bis. Nanti kita jalan bersama ke rumah. Ku antar kau sampai perempatan dekat rumahmu, ok?! See you!" seru Camilio sambil menepuk pelan lengan Debbie dan berjalan terburu-buru menuju kelasnya karena terdengar suara bell tanda masuk kelas sudah berbunyi.
"Huhh! Kau menepuk lengan Debbie saja lembut. Giliran memukulku, keras sekali!" sengit Darren.
"Berisik!! Kalau ngomel lagi, lebih baik aku pindah duduk belakang saja!" serutu Camilio.
"Kau duduk sendiri..., pagi ini ada kuis Geometri. Mampus kau!!" Bisik Camilio sambil menyeringai jahat.
Mata Darren membulat dan langsung memasang tampang melas dengan puppy eyes yang dibuat-buat "Cam, kenapa hari ini kau kelihatan tampan? Aku terpesona sampai tidak bisa berkata apa-apa," rayu Darren seraya mendudukkan dirinya dengan tenang di kursi yang bersebelahan dengan Camilio yang selalu membiarkan dirinya mencontek.
Camilio melirik sebal pada sahabatnya.
***
Camilio dan beberapa temannya turun dari bis sekolah. Camilio berdiri menunggu Debbie yang berada di bis sekolah lainnya.
Semenjak ayah Camilio membeli rumah sendiri, ia tidak mau menempati rumah dinas lagi yang letaknya jauh dari tempat Camilio sekolah. Ia mengajak istri dan anaknya menempati rumah baru sekitar 6 tahun yang lalu.
Debbie adalah anak dari teman Catharina. Rumah Debbie dan Camilio satu arah dari sekolahan, namun berseberangan meski tidak jauh. Debbie adalah adik kelas Camilio, berada di kelas 10.
Debbie gadis yang terkenal aneh di sekolah karena tidak mau berinteraksi dengan teman-temannya. Ia selalu memisahkan diri dari teman sekelasnya sehingga menyebabkan temannya geram dan menganggap Debbie sombong.
Teman-temannya berusaha membully Debbie, mulai dari menguncinya di kamar mandi, menyiram air kotor, membuat Debbie jatuh dan meletakkan mainan ular atau serangga karet di dalam tas atau laci mejanya.
Camilio beberapa kali menolong Debbie saat dibully oleh teman-temannya. Camilio selalu menegur mereka dengan baik supaya mereka tidak dendam dan membully Debbie lebih keras.
Beberapa orang menganggap Camilio menaruh perasaan khusus pada Debbie sehingga gadis-gadis yang mengincar Camilio pun menjadi geram dan ikut membully Debbie.
Camilio melaporkan tindakan teman-teman yang membully pada bagian kesiswaan dan konseling yang ada di sekolah, yang segera menanganni kenakalan para remaja, demikian juga memanggil Debbie.
Setelah pihak sekolah turun tangan, keadaan menjadi jauh lebih baik. Meski Debbie masih tetap menutup diri dan sangat sedikit berbicara.
Camilio menghela napas mengingat ia akan segera lulus dan terkurung di sekolah militer dalam jangka waktu lama. Ia sedikit cemas memikirkan Debbie.
Ia tidak memiliki perasaan khusus atau berdebar setiap kali duduk berdua dengan Debbie. Camilio hanya merasa kasihan dan berpikir, mungkin Debbie mengalami suatu trauma di masa kecilnya. Tapi untuk mengajak Debbie konsultasi ke psikiater sesuai saran Darren bukanlah sesuatu yang tepat, mengingat mereka tidak memiliki hubungan saudara dan mungkin akan membuat Debbie tersinggung.
Tidak sampai 10 menit, bis yang membawa Debbie dan teman-temannya tiba. Camilio berjalan mendekati bis tersebut dan bibirnya tersenyum melihat Debbie turun dari bis.
Camilio segera berjalan beriringan dengan Debbie menuju arah ke rumah.
"Kalau kau tidak ada tugas sekolah, bagaimana kalau kita duduk sebentar di kedai kopi itu?" tanya Camilio seraya menunjuk ke arah kedai yang tidak jauh dari tempat mereka berjalan. Debbie menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana kabarmu 2 minggu ini, Deb?" tanya Camilio setelah membayar pesanan 2 cup coklat hangat, 2 pie kacang dan 2 beef croissant untuk mereka berdua.
"Baik. Tidak ada yang special," jawab Debbie dengan singkat.
"Bagaimana dengan nilai-nilaimu?" Tanya Camilio sambil menyesap coklat hangatnya dan mulai menggigit beef croissantnya.
"Sama. Biasa saja. Tidak ada yang jelek dan tidak ada yang terlalu baik," jawab Debbie dengan nada datar.
"Setelah lulus, aku mau melanjutkan di sekolah militer," kata Camilio setelah mengunyah makanannya.
"Aku sudah dengar berita itu," jawab Debbie seraya meneguk sedikit minumannya dan mulai menggigit beef croissant yang tadi dipesan oleh Camilio.
"Pastinya akan ada masa karantina sedikitnya 1 tahun di sana. Aku akan lama berpisah dengan ibuku dan tentunya denganmu, juga teman lainnya," kata Camilio lagi
Debbie menganggukkan kepala sambil mengunyah makanannya.
"Aku berharap kau bisa lebih berani menghadapi apapun. Menjawab setiap kali ditanya dan berjuang jika diperlakukan dengan tidak adil. Berani melapor pada bagian kesiswaan jika yang mengganggumu dari kalangan sekolah dan melapor pada yang berwajib jika itu dari luar sekolah. Setiap warga negara berhak mendapat perlindungan hukum yang sama," kata Camilio menasehati.
Debbie menarik napas dan menganggukkan kepala.
"2 tahun lagi kau masuk perguruan tinggi, setelah itu masuk ke dunia kerja. Orang-orang di sekitarmu banyak yang lebih jahat dibanding teman sekolah, bisa terang-terangan ataupun terselubung. Tapi kau tidak perlu takut. Hadapi semua dengan relax. Jangan menutup diri terus," imbuh Camilio penuh perhatian.
Debby menganggukkan kepalanya.
"Cobalah membuka diri untuk mencari teman di kelas. Manusia itu makhluk sosial, butuh teman bicara dan yang mau mendengar cerita kita. Kita juga bisa menjadi pendengar baik,orang sebagai bahan koreksi diri dan menambah wawasan," kata Camilio sambil menarik napas untuk menjeda perkataannya.
"Aku percaya semua orang pada dasarnya itu baik. Maaf, aku coba menempatkan diri sebagai teman sekelasmu. Mereka mengajakmu bicara karena kau ada di dalam komunitasnya. Mereka ingin sedikit mengobrol denganmu, masalah pelajaran atau sedikit berbincang ringan. Kau paham maksudku," kata Camilio.
"Kita sudah beberapa kali membahasnya. Aku paham maksudmu," seru Debbie.
"Kalau kau paham, kenapa kau tidak mencoba berubah? Menjawab pertanyaan temanmu dengan kalimat lebih panjang atau mencoba memulai percakapan dengan temanmu, misal meminjam buku, alat tulis atau lainnya," kata Camilio.
"Sudah kulakukan. Mereka malah mengolokku," seru Debbie dengan wajah ditekuk.
"Mereka bukan sengaja mengolokmu, hanya mengekspresikan rasa terkejutnya dengan kata-kata yang kau anggap seperti olokan. Jangan kecil hati. Lama-lama mereka akan membuang julukan ‘Patung Berjalan’ untukmu," jawab Camilio. Perlahan Debbie mengangguk.
"Mengapa kau mencemaskanku?" tanya Debbie.
"Kita kenal sudah 5 tahun sejak kami pindah kemari. Aku tidak tahan melihat orang dibully, apalagi aku mengenal orangnya," jawab Camilio.
"Apa kau ada perasaan lain padaku? Atau hanya kasihan saja?" tanya Debbie dengan berani, dan membuat Camilio tercekat.
Camilio berusaha mengontrol diri supaya tidak salah bicara pada gadis yang terkenal aneh dan sangat pendiam ini.
"Bukan kasihan tapi aku memang ingin menolong orang-orang sepertimu," jawab Camilio berusaha sesantai mungkin.
"Sangat memalukan menjadi orang lemah yang selalu dikasihani!" gumam Debbie.
"Dengarkan penjelasanku. Aku kebetulan dianugerahi sedikit kepandaian dan mau membantu teman yang kurang dalam pelajarannya. Setiap orang berbeda. Ada yang menutupi kekurangannya, ada yang terus terang. Kalau mereka diam padahal aku tahu mereka kesulitan, aku coba menawarkan diri. Kau hampir sama dengan orang tersebut, hanya beda versi. Aku bukan psikiater tapi yang kulakukan padamu adalah spontanitas. Aku hanya ingin melindungimu. Jadi kau jangan salah paham," kata Camilio.
"Hanya spontanitas? Tidak ada perasaan lain?" tanya Debbie dengan pandangan menyelidik.
"Aku sedikit memberi perhatian lebih padamu karena kita sudah kenal lama. Aku menganggapmu seperti adikku sendiri. Kau jangan takut dan khawatir. Aku tidak bermaksud mencari keuntungan darimu," jawab Camilio.
"Aku hanya tidak suka seolah dikasihani. Beberapa bulan lagi kau pergi. Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri. Terima kasih sudah membantu dan melindungiku selama ini," jawab Debbie sambil menundukkan wajahnya.
"Kapan kau masuk di sekolah militer?" tanya Debbie.
"Aku masih melengkapi persyaratan. Jika diterima, baru mulai masuk sekitar 2 bulan setelah kelulusan. Menjelang permulaan musim gugur. Aku sedang menunggu nominasi dari teman atasan ayahku. Itu syarat utamanya," jawab Camilio.
"Tidak sulit orang sepertimu untuk mendapatkannya. Semoga sukses, Cam," sahut Debbie dengan tulus. Camilio mengangguk dan tersenyum.
-To Be Continue-
