Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. Kepergian Benhardi Osvaldo

“Mommm..." seru Camilio panik saat melihat tubuh ibunya terkulai di dekat almari hias yang ada di ruang keluarga.

Camilio yang saat itu baru saja keluar kamar untuk berangkat ke sekolah, segera berlari untuk menyangga tubuh ibunya agar kepalanya tidak membentur lantai, lalu memapah ibunya untuk duduk di sofa.

Camilio melepas tas ransel sekolahnya sambil meraih gagang telepon yang menjuntai karena terlepas dari genggaman ibunya. Camilio mencoba mendengarkan sesaat di telinganya namun panggilan di seberang sana telah terputus.

Camilio segera meletakkan kembali gagang telepon tersebut di tempatnya, kemudian meraih botol minyak angin yang ada di meja dan berjalan cepat mengambil segelas air putih untuk ibunya. Ia menaruh gelas air minum tersebut di atas meja dekat sofa.

Camilio mengoleskan minyak angin di kedua pelipis ibunya dan sedikit di ujung hidung ibunya untuk memulihkan kesadarannya.

“Mom.. bangun.. Mom.." bisik Camilio dengan rasa cemas seraya menggoyangkan lengan ibunya dengan lembut beberapa kali sambil terus mendekatkan botol minyak angin di hidung ibunya. Wajah ibunya tampak terlihat agak pucat.

Sekitar 10 menit kemudian, perlahan mata ibunya terbuka, menatap Camilio lalu dengan tangan gemetar, ia menangkup satu pipi anaknya seraya menangis. Camilio menyodorkan segelas air putih dan ibunya meminumnya sedikit.

"Mom, ada apa? Apa Mom sakit? Aku antar ke dokter sekarang ya, "Tanya Camilio dengan penuh perhatian namun Catharina, nama sang ibu, hanya menggeleng lemah.

"Tadi telepon dari atasan ayahmu, meng..mengabarkan a-ayahmu ter.. tertemb..bak dan t-tewas," kata Catharina terbata-bata sambil terisak-isak.

Bagai mendengar suara petir menggelegar, mata Camilio membulat, ia tertegun dan napasnya tercekat.

"Daddy.." lirih Camilio.

Camilio mendekap tubuh ibunya dengan erat. Catharina masih menangis tersedu-sedu kehilangan suami tercintanya, Benhardi Osvaldo.

Ayah Camilio menjabat sebagai Lieutenant Colonel angkatan darat, yang saat itu ikut bertugas di Detroit, Michigan, dimana tempat tersebut sering terjadi konflik rasialis sejak abad 20, yaitu saat terjadi migrasi besar yang membawa warga kulit hitam dari Selatan masuk melebihi jumlah warga kulit putih kemudian saling berkompetisi, dan diperuncing konflik perbedaan agama.

Detroit, Michigan merupakan kota Amerika terbesar dekat perbatasan Kanada dan Amerika Serikat. Dan menjadi salah satu dari 4 kota terbesar di Amerika pada tahun 1920, setelah New York, Chicago dan Philadelphia.

Atasan Benhardi mengabarkan langsung dari Detroit bahwa menjelang subuh tadi, Benhardi terkena tembakan yang mengenai lehernya saat terjadi penyerangan dari perusuh, dimana di bagian leher tidak terlindungi oleh rompi anti peluru. Benhardi tidak dapat diselamatkan.

Lieutenant Colonel Benhardi Osvaldo, jabatannya setara dengan perwira menengah, berangkat bertugas 10 hari yang lalu dan subuh tadi ia gugur bersama 2 rekan kerja lainnya.

Benhardi Osvaldo gugur dengan meninggalkan istri tercinta, Catharina Osvaldo dan anak tunggalnya Camilio Danielle Osvaldo yang saat ini berusia 17 tahun.

Mata Camilio berkaca-kaca. Ia menahan diri untuk tidak menangis. Ia berusaha kuat, seperti yang selalu ditekankan oleh ayahnya bahwa seorang laki-laki sejati tidak boleh mudah mengeluarkan air matanya. Meski menahan sekuat tenaga, Camilio tidak mampu membendungnya hingga kedua sudut matanya tampak basah.

Meskipun Camilio seorang anak tunggal, Benhardi mendidiknya cukup keras. Benhardi selalu menekankan pada anaknya bahwa menjadi seorang laki-laki harus mandiri, tidak cengeng dan harus bisa menjadi pelindung bagi kaum wanita, terutama ibunya.

Jenazah Benhardi Osvaldo akan diterbangkan ke New York siang ini juga dan besok akan dimakamkan di pemakaman Woodlawn Cemetery of Elmira, yang terletak di sebelah Tenggara kota New York, Amerika.

Banyak anggota Kongres Amerika Serikat, termasuk Jacob Sloat Fassett juga dikebumikan di pemakaman Woodlawn Cemetery of Elmira. Tempat pemakaman tersebut di bawah naungan Departemen Urusan Veteran Amerika Serikat.

***

Setelah selesai mengikuti upacara pemakaman ayahnya secara militer dan menerima ucapan bela sungkawa dari segenap jajaran militer yang hadir, Camilio merangkul bahu ibunya untuk berjalan menuju parkiran mobil dan pulang ke rumah.

Sesampai di rumah, Camilio mengantar ibunya sampai di depan kamarnya untuk beristirahat.

Camilio duduk termenung di atas sofa sambil menatap dalam-dalam foto keluarga yang terpasang di dinding ruang tengah. Foto tersebut diambil saat ayahnya diangkat menjadi Letnal Kolonel sekitar 2 tahun yang lalu.

Di foto tersebut Camilio berdiri berdampingan dengan ayahnya, dan Catharina duduk agak ke depan, di antara anak dan suaminya.

Di samping foto keluarga, ada foto ayahnya seorang diri yang tampak sangat gagah dan berwibawa memakai seragam militer.

"Dad, aku ingin menunjukkan pialaku padamu saat kau pulang. Aku juara 1 lomba olimpiade matematika international dan juara 2 lomba sains international. Aku ingin kau melihatnya dan membuatmu bangga padaku. Tapi kenapa kau pergi begitu cepat sehingga tidak melihat pialaku?" gumam Camilio seraya menarik napasnya dalam-dalam dan memejamkan matanya.

Sudut mata Camilio tampak kembali basah meratapi kepergian sosok ayah yang sangat mengasihi dan dikasihinya.

Setelah makan malam, Camilio mengajak ibunya duduk di sofa. Ia berusaha menghibur ibunya dengan mengajaknya bercakap-cakap ringan.

"Hampir satu tahun, ayahmu membuka sebuah toko bahan makanan dan memintaku untuk mengelolanya. Ayahmu bilang untuk mengisi waktu luangku menantinya pulang bertugas dan karena kau juga sudah beranjak dewasa. Pasti akan punya banyak kegiatan di luar," kata Catharina sambil menatap kosong ke depan.

"Beberapa bulan ini usaha toko kita semakin ramai dan ayahmu berkata, bisa untuk tabungan di hari tua kami esok setelah ayahmu pensiun. Semua ini seperti sebuah firasat saja kalau ayahmu hendak pergi secepat ini. Seolah ayahmu memikirkan kehidupan kita jika ditinggalkan. Rupanya ayahmu sudah mempersiapkannya," lanjut Catharina dengan mata berkaca-kaca mengenang suaminya tercinta.

"Tidak sepenuhnya benar, Mom. Daddy memang begitu, selalu memperhitungkan sesuatu jauh ke depan," sahut Camilio sambil menatap ibunya.

"Dad selalu mendoktrinku untuk hidup sederhana, harus selalu proaktif dan tidak mudah puas selagi kita masih berusia produktif. Kita juga harus bisa mengelola keuangan dengan baik. Prinsip Daddy, saat usia produktif, kita bekerja untuk mendapat uang dan saat kita sudah tidak bisa produktif lagi, maka uanglah yang harus bekerja untuk kita. Jadi Dad menginvestasikan sebagian uang hasil kerjanya untuk membuka toko. Aku bangga punya ayah seperti dia," jelas Camilio seraya tersenyum mengenang sosok ayahnya yang tadi pagi telah dimakamkan.

Catharina tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya.

"Ya, ayahmu memang laki-laki penuh perhitungan. Mom tahu resiko mempunyai suami seorang tentara dan Mom harus kuat supaya tidak mengecewakan ayahmu. Mom masih punya tanggung jawab, yaitu kau, Cam," kata Catharina.

"Syukurlah kalau Mom bisa tegar dan kuat. Aku ini laki-laki dan sudah besar. Aku bisa menggantikan Dad untuk menjagamu, Mom. Kita tahu Dad adalah seorang prajurit negara, jadi kita memang harus siap mental menghadapi segala resiko. Hidup harus tetap berjalan terus dan harus kita perjuangkan," sahut Camilio.

"Kau masih berusia 17 tahun tapi cara bicara dan pemikiranmu seperti orang dewasa saja, Cam," seloroh Catharina sambil tersenyum.

"Aku ini anak dari Benhardi Osvaldo. Jadi harus beda, Mom," kekeh Camilio. Catharina pun tersenyum.

"Kita bukan keluarga kaya namun peninggalan ayahmu cukup untuk kita hidup berdua dengan layak. Selain tabungan, kita punya rumah sendiri, punya mobil, memiliki usaha yang sedang berkembang," kata Catharina, dan Camilio menganggukkan kepalanya.

"Jadi kau tidak usah banyak berpikir soal biaya hidup dan pendidikanmu. Kau harus fokus pada sekolahmu saja. Mom masih 44 tahun, belum terlalu tua dan masih kuat bekerja. Apalagi di toko, ada 5 pegawai yang membantuku. Mom sudah terbiasa mandiri ditinggal ayahmu bertugas jadi kau tidak usah terlalu mencemaskanku. Kau pikirkan saja sekolahmu. Mengerti?!" kata Catharina.

"Aku mengerti, Mom," sahut Camilio sambil menganggukkan kepalanya.

Camilio mengerti bahwa ibunya adalah sosok wanita yang kuat dan mandiri. Karena sering ditinggal bertugas, Catharina mampu mengendarai mobil sendiri untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Demikian juga dengan Camilio. Ayahnya mengajarinya mengendarai mobil sejak ia berumur 14 tahun dan mengajukan SIM remaja untuk Camilio saat ia berusia 15 tahun.

SIM remaja di Amerika itu dalam bentuk Instruction Permit atau IP (bukan Driving License), yang dapat dimiliki sejak anak berusia minimal 15 tahun setelah mengambil sekolah menyetir (Druver's Education) yang telah di approved oleh pemerintah, menjalani test tertulis dan test penglihatan.

Setelah mendapatkan SIM remaja tersebut maka saat mengendarai mobil di jalan raya, anak wajib didampingi oleh seseorang berusia minimal 21 tahun, dan telah memiliki Driving Lincense, hingga 9 bulan menuju usia 16 tahun dan selanjutnya dapat mengajukan diri untuk mendapatkan Driving License.

Instruction Permit diberikan dengan peraturan yang ketat demi keselamatan dan hanya berlaku 24 bulan saja. Dan hampir setahun yang lalu, Camilio telah memiliki Driving License. Jadi ia sudah bisa mengendarai mobil sendiri di jalan raya.

"Nanti uang jasa dari negara akan Mom simpan untuk keperluan kuliahmu. Kau sudah harus memikirkan akan mengambil jurusan apa," imbuh Catharina.

"Ya Mom, aku sudah memiliki beberapa pilihan dan sedang ku pertimbangkan. Aku akan memikirkannya masak-masak dulu sebelum membicarakan denganmu," jawab Camilio sambil tersenyum.

-To Be Continue-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel