Bab 6
“Kamu mengerti kan, implikasi menentangku?” tanya Azhar sementara mobil itu terus melaju. Citra hanya menganggukkan kepalanya pelan.
“Bagus. Karena kamu sudah mengerti, aku harap kamu tidak mencoba membangkang. Aku tidak terlalu sabar,” komentar Azhar lagi. Citra teringat Arrow, laki-laki yang menelpon Azhar saat mereka menuju rumah misterius tadi. Namun, menanyakan hal itu sama saja dengan mencoba menantang maut.
“Ada sesuatu mengganggu benakmu?” tanya Azhar, mata terfokus pada jalan raya. Citra menggelengkan kepalanya. Azhar menghembuskan nafas berat. Mereka pun berhenti di salah satu simpang empat karena lampu merah.
“Huh. Lalu lintas menyebalkan,” komentar Azhar. Dia menghembuskan nafas kesal. Ponselnya yang terletak di tengah mobil dan menyala berdering. Tulisan ‘Arrow’ terlihat jelas di mata dua orang dalam mobil itu.
“Tolak,” komentar Azhar. Telepon itu pun ditolak. Azhar langsung memaki Arrow setelah itu.
“Si bangsat itu belum puas setelah menghinaku tadi ya,” makinya kesal. Lampu lalu lintas arah mereka pun berubah menjadi hijau. Azhar melanjutkan perjalanan. Ponsel kembali berdering.
“Argh!” ketus Azhar, “terima!” lanjutnya kesal. Ponsel itu menerima panggilan laki-laki misterius yang merupakan saingan Azhar itu.
“Azhar, ada sedikit informasi yang mungkin kamu ingin tahu. Ini serius,” ucap Arrow dari seberang. Azhar menyipitkan matanya, penasaran.
“Apa?” tanya Azhar dengan nada tinggi.
“Laporan intelejenku mengatakan beberapa perusahaan sedang berkomplot untuk menjegal perusahaanmu dengan beberapa isu perusahaan,” jawab Arrow. Azhar terkejut, namun dia mencoba berpikir.
“Kamu sepertinya terlibat. Lagipula, kamu baru menyadapku beberapa jam lalu,” balas Azhar. Arrow terkekeh, menaikkan kecurigaan Azhar.
“Ah. Selalu dengan asumsi terburuk ya. Tidak. Isu yang ingin mereka pakai berbeda. Sistem keamanan perusahaanmu diretas hari ini oleh seorang hacker. Apakah pesan BB tidak masuk kepadamu?” tanya Arrow. Azhar terkejut mendengar BB disebutkan.
“Serius!?” jawab Azhar tidak percaya.
“Aku serius. Sebaiknya kamu berhenti terlalu bermain dengan gadismu dan segera turun tangan sebelum informasi itu menyebar. Aku meminta BB menghambat transmisi penyebarannya, sementara mengirim timku untuk memburu orang itu. Tracing ditemukan di Malaysia,” komentar Arrow lagi. Azhar menggerigi giginya, menahan emosi.
“Oh, satu lagi,” tambah Arrow.
“Apa?” tanya Azhar.
“Jangan lupa pembayaranmu untuk kiriman. Aku sudah menyerahkan milikmu dan milikku ke yang berhak,” jawab Arrow. Azhar terlihat bingung, sebelum mengerti maksud pembicaraan Arrow.
“Tenang saja. Pembayarannya akan ku lakukan segera. Oh ya, mengingat BB tidak tertarik mengurus keamanan untukku, bisakah kamu bernegosiasi dengannya untuk membantuku?” tanya Azhar kepada Arrow.
“Ayolah Azhar. Kamu sudah punya banyak masalah dengan teman-teman seangkatanmu. Tinggal Kaynara yang masih memihak denganmu. Bisakah kamu berhenti dengan semua kegilaan ini?” pinta balik Arrow kepada Azhar. Azhar menghentakkan setir mobil, yang mengakibatkan klaksonnya berbunyi sesaat.
“Kamu ingin aku berhenti dengan semua ini, setelah darah yang harus ku tumpahkan!?” balas Azhar ketus. Arrow menghela nafas, dan Azhar mendengarnya.
“Baiklah. Aku akan bernegosiasi kepada BB. Ada satu syarat,” komentar Arrow.
‘Apalagi sih syaratnya!?’ gumam Azhar kesal.
“Apa?” tanya Azhar. Laki-laki itu yakin, Arrow tersenyum puas penuh kemenangan.
“Lepaskan tim intaimu terhadapku dalam radius satu kilometer dari kantor. Aku benci tukang bakso lewat jam 7 malam. Kamu bisa saja toh melacakku lewat sistemmu tanpa perlu meletakkan penjagaan gila,” jawab Arrow. Azhar menghentikan mobil itu tepat saat lampu di depannya berubah menjadi lampu merah. Laki-laki itu menggelengkan kepala.
“Bagaimana aku bisa yakin kamu tidak akan memulai kegilaan tertentu?” tanya Azhar balik.
“Kamu akan perlu perlindunganku nanti saat akan ke Malaysia. Aku ingatkan itu,” jawab Arrow menyudutkannya. Sial, tiket penerbangan di ponselnya juga terlihat saat Arrow menyadapnya tadi.
“Kamu sekarang main koersi ya,” ucap Azhar dengan senyuman sinis, “padahal kamu sendiri tahu banyak anak buahku yang ingin mendor kepalamu,” lanjutnya. Arrow terkekeh.
“Aku tentu tahu, Azhar. Tapi, mereka gak bisa tanpa izinmu,” balas Arrow. Azhar tertawa.
“Mantap! Kalau begitu akan aku berikan saja perintahnya!” balas Azhar histeris.
“Kamu masih memerlukanku untuk ZTLS. Aku ingatkan itu kembali,” balas Arrow santai. Azhar tertawa.
“Aku bisa saja merebut Rahima dan Affa untuk itu!” tegas Azhar.
“Ruanganku bioscanner. Tidak ada yang bisa mengakses. Sistem keamanannya dibuat oleh orang-orang terbaikku. Orang-orang yang kamu tahu lebih menakutkan dari BB,” sindir Arrow.
“Brengsek!” maki Azhar. Dia masih perlu Arrow sampai ZTLS selesai. Setelah itu, dia bisa menyingkirkan si brengsek sebelum melarikan diri. Jika dia lolos dari Indonesia, maka tidak ada harapan bagi Azhar untuk menyingkirkan Arrow. Seluruh ASEAN, selain Indonesia, ada di kendali keparat itu.
“Sudahlah. Jangan mencoba koersi denganku. Aku punya momentumnya saat ini. Sekian,” tutup Arrow. Telepon terputus.
“Bangsat! Brengsek! Sialan!” maki Azhar. Arrow telah membuatnya muak hari ini. Citra yang mendengarkan sedari tadi, hanya bisa terdiam ketakutan. Lampu berubah menjadi hijau dan Azhar melanjutkan perjalanan.
“Citra! Cium pipiku!” perintah Azhar. Ketakutan, Citra pun melakukan permintaan itu. Emutan lembut dari ciuman itu membuat Azhar sedikit tenang setelah gejolak dengan Arrow.
“Kamu takut?” tanya Azhar setelah Citra selesai menciumnya.
“I…ya…,” jawab perempuan itu terbata.
“Tenang saja. Arrow tidak akan melakukan apapun. Dia tidak cukup berani,” komentar Azhar. Entah itu menenangkan Citra atau tidak, Azhar setidaknya menunjukkan bahwasanya dia peduli dengan keselamatan Citra. Mungkin, bukan keselamatan Citra, tapi setidaknya image yang dimiliki oleh Azhar.
“Baik… Kak,” ucap Citra terbata. Entah itu terima kasih, atau hanya formalitas semata, hanya Citra yang tahu.
Mobil itu akhirnya tiba di depan rumah Azhar.
“Turun!” perintah Azhar. Citra hanya mematuhi. Kakinya yang mulus mulai kotor karena keramik lantai di area parkiran mobil yang kotor. Para pelayan menyambut kehadiran mereka dengan penuh hormat.
“Selamat datang, Tuan Azhar, Nyonya Citra,” sapa hormat para pelayan. Citra tersenyum, sementara Azhar langsung melewati mereka begitu saja.
“Citra! Ayo!” perintah Azhar yang segera diikuti dengan langkah Citra menyusul kakak ipar laknatnya itu. Kalau bisa, Citra ingin lari, sebelum dia kehabisan opsi. Tiba-tiba, sebuah rencana terbentuk di benak Citra. Pertanyaannya, apakah dia bisa melakukannya?
“Jangan lama-lama dong!” tegur Azhar. Citra menurunkan pandangannya saat dia sudah dekat.
“Maaf Kak,” balas Citra pelan. Azhar menggelengkan kepala, menahan amarahnya. Dia langsung mencium bibir Citra dengan penuh nafsu. Citra mengalah, dan mengizinkan laki-laki itu mencium dirinya sepuasnya. Semoga saja, dia tidak berakhir di kamar lagi dengan iblis itu.
Ponsel Azhar berdering, menginterupsi Azhar yang menikmati ciuman dengan Citra. Kesal, dia pun melepaskan perlahan. Bagi Citra, seakan sesuatu hilang saat ciuman itu lepas, namun dia mencoba membuang sesuatu yang hilang itu dari benaknya.
Di telepon Azhar terlihat tulisan Xalis. Azhar menaikkan alisnya, kenapa kepala divisi keamanannya baru menelpon. Dia yakin ini masalah peretasan.
“Ada apa, Xalis?” tanya Azhar saat membuka telepon.
“Maaf baru bisa memberikan laporan pak-” jawaban Xalis dipotong oleh Azhar.
“Sistem bobol. Aku sudah dengar dari Arrow. Berapa banyak data terbongkar?” tanya Azhar.
“Delapan ratus sembilan puluh lima ribu pengguna. Data yang tercuri hanya username dan password mereka,” jawab Xalis. Azhar bernafas lega. Penyerang brengsek itu setidaknya tidak membuat kerusakan lebih parah. Kalau hanya pengguna dan kuncinya, masih bisa dilakukan reset.
“Lakukan reset,” balas Azhar datar. Terdengar suara terkejut dari Xalis, namun dia segera menyetujuinya.
“Siap Pak. Proses reset akan kami lakukan secepatnya,” terima Xalis. Azhar tersenyum puas dan menutup panggilan itu.
“Ah, mengganggu saja,” komentar Azhar. Telepon lain segera masuk.
“Menyebalkan! Bisakan meninggalkanku bersama Citra berdua!?” tanyanya ketus. Dia melihat telepon itu dan terkejut dengan nama yang tertulis di sana. Bukan Arrow, tapi satu orang lain yang dia tidak kalah benci.
“Assalamu’alaikum, Kak Fath,” sapa Azhar dingin seraya mengangkat ponsel itu.
“Wa’alaikumussalam. Aku di kantormu. Aku kira bukannya kita sepakat kemarin kala pemakaman istrimu?” tanya Fath tanpa pertimbangan. Laki-laki blak-blakan ini sangat menjengkelkan bagi Azhar. Azhar ingin membawa Citra ke kantor, tetapi mengingat ini adalah salah satu “kawan-musuh” yang berbahaya, dia terpaksa melepaskan pikiran itu.
“Beri saya waktu satu jam. Saya ke kantor sekarang,” jawab Azhar. Fath hanya berdehem dan menutup telepon. Ingin Azhar memaki laki-laki itu, namun mengingat dia saat ini perlu orang itu, dia belum bisa menyingkirkannya.
“Kamu jangan keluar rumah. Aku ada urusan kantor,” perintah Azhar kepada Citra. Citra hanya menganggukkan kepala.
“Jika ada keperluan, panggil saja pelayan,” pesan Azhar dan dia pun meninggalkan Citra dengan terburu-buru. Saat Azhar menghilang, Citra akhirnya bernafas lega.
“Terima kasih, Allah.”
