Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

“Kenapa Kakak membawa saya?” tanya Citra bingung. Azhar tidak memberikan jawaban. Mata dan tangannya berfokus pada mobil yang sedang berjalan melalui jalan raya. Azhar tidak pernah memakai supir, dia lebih menikmati melakukan perjalanannya sendiri.

“Kamu ikut untuk kenalan dengan salah satu klienku,” jawab Azhar datar. Citra hanya bisa diam mendengarnya. Dia tidak tahu apa yang kakaknya itu akan lakukan. Lebih baik, dia menurut saja.

AC mobil yang dingin membuat Citra menggigil. Kegilaan Azhar yang membuat dingin itu semakin parah adalah fakta bahwasanya dia tidak memperkenankan Citra memakai pakaian dalamnya. Sadisme adalah apa yang terpintas di benak Citra, mengingat kata yang dia baca di salah satu buku beberapa hari lalu.

“Apa yang ingin kakak lakukan dengan memperkenalkanku?” tanya Citra lagi. Azhar tidak memberikan jawabannya. Sebuah panggilan masuk dari ponselnya yang diletakkan di antara kursi mereka. Azhar langsung memberi perintah suara kepada ponselnya.

“Jawab telepon. Mode speaker.”

Ponselnya pun mengangkat telepon yang masuk itu.

“Apa yang membuatmu menghubungiku, Arrow?” tanya Azhar langsung ke poin. Lawan bicaranya berdehem.

“Aku belum salam lho. Assalamu’alaikum,” jawab Arrow.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Azhar. Citra hanya membisikkan balasan atas salam itu.

“Oh. Soal aku menghubungimu ya? Aku dengar kamu mau mengajukan kerja sama dengan perusahaan yang... aku dengar CEO nya masih muda,” komentar Arrow dari seberang. Azhar yakin, laki-laki itu sedang di kantornya sekarang. Dia bisa saja memerintah pelacaknya, namun Arrow akan menyadari bahwa dirinya sedang dilacak.

“Salah satu dari perusahaan potensial, iya,” komentar Azhar serius. Arrow tertawa dari seberang.

“Wah. Aku kalah cepat ya. Baiklah. Sangat disayangkan,” keluh Arrow dengan nada yang sangat kecewa. Azhar tersenyum sinis. Dia sepertinya berhasil mendapatkan satu langkah terhadap rivalnya.

“Oke. Oh ya, aku melihat kamu tidak sendirian di sana ya,” komentar Arrow yang mengejutkan Azhar. Apa si brengsek itu-

“Kamu lupa keamanan kameramu lagi. Siapa perempuan itu?” tanya Arrow dari seberang.

“Bangsat!” Azhar hanya bisa mengatakan itu dibawah nafasnya. Laki-laki dua tahun lebih muda darinya itu benar-benar keterlaluan.

“Adik Halima,” jawab Azhar dingin.

“Oh? Begitu ya. Maaf kalau saya ganggu ya. Siapa namanya?” tanya Arrow lagi santai.

“Citra,” jawab Azhar dingin. Arrow tidak memberikan balasan untuk beberapa saat.

“Oh. Sesuai intelejen,” komentar Arrow dari seberang. Jadi, begini ya laki-laki itu mau bermain.

“Apa maumu, Arrow!?” nada ketus itu keluar dari mulut Azhar.

“Oh ayolah. Aku bukan seperti pesaingmu yang lain yang akan senang untuk membocorkan rahasiamu ke publik. Aku tidak buta, Azhar,” sindir Arrow. Azhar awalnya bingung dengan implikasi kalimat itu, namun dia segera menyadari maksud Arrow. Lagipula, Arrow punya seseorang yang mampu melakukan sabotase seluruh perusahaan milik Azhar di pihaknya.

“Kamu tidak akan berani mencoba!” balas Azhar ketus.

“Wah. Jangan emosi untuk memberikan perintah pada penjual es krim di seberang jalan itu. Aku tahu kok dia adalah seorang sniper dari aku berdiri,” komentar Arrow yang mengejutkan Azhar.

“Kamu bahkan tahu agen-agenku!?” Azhar tampak tidak terima. Laki-laki yang memiliki perusahaan terbesar seluruh negeri itu yakin, rivalnya itu sedang tersenyum puas dari seberang.

“Ah. Apa ini soal tukang kolak yang jualan dua blok dari sini, atau paman bakso yang lewat kantorku jam 7 malam kemarin?” tanya Arrow lagi. Ingin Azhar memukul laki-laki itu sekarang, namun dia sadar mereka hanya berbincang dari telepon.

“Sudah sudah. Aku mau bilang saja, sahammu naik signifikan. Kamu gak mau jual sebagian sahammu ke aku gitu, atau masukin ke bursa efek gitu?” tanya Arrow lagi. Oh, dia benar-benar menyebalkan.

“Aku tidak akan menjual saham sebagian besar perusahaanku kepada siapapun! Kamu dari semua orang paling tahu itu, Arrow!” jawaban ketus itu keluar dari mulut Azhar. Dia merasa dipermainkan kali ini.

“Mungkin aku tidak dapat perusahaan itu. Setidaknya, informasiku akan menyetarakan peluangku melawanmu,” balas Arrow.

“Putus telepon!” perintah Azhar kepada teleponnya. Panggilan itu langsung ditutup. Mata Azhar saat ini menyala, ingin membakar perusahaan rivalnya itu ke tanah.

“Kak Azhar. Tadi-” kalimat Citra yang pelan itu diputus cepat oleh Azhar.

“Si keparat! Dia adalah keparat yang ingin menghancurkanku!” balas Azhar ketus. Mereka tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah rumah di perumahan yang sepi. Azhar memarkirkan mobilnya di dalam rumah setelah garasi rumah itu dibuka dengan tombol di mobil Azhar.

“Turun!” perintah Azhar. Ketakutan, Citra membuka pintu mobil dan turun. Kakinya yang mulus langsung bersentuhan dengan aspal yang keras. Ingin dia mengatakan kakinya sakit, namun Citra lebih dari tahu Azhar tidak akan peduli.

Azhar dengan murka membuka pintu mobil di sisinya dan turun. Dia masih kesal dengan sikap Arrow yang membobol keamanan ponselnya, merekam keberadaan Citra, dan membuat dia terkunci dari opsi-opsi penyingkiran cepat. Jika saja Arrow tidak tahu agen-agennya, dia akan senang hati menembak kepala laki-laki sialan itu.

“Dia boleh mengganggu bisnisku. Dia boleh menginterupsi usaha utamaku. Tapi, fakta dia terlibat urusan pribadiku... bangsat!” ketus Azhar seraya menghentakkan tanah di bawahnya. Citra ketakutan melihatnya, namun dia hanya bisa terdiam kaku.

Azhar mematikan ponselnya. Satu-satunya opsi untuk menghindari pelacakan lebih lanjut. Namun, dengan posisi ini, Arrow sudah punya terlalu banyak informasi. Sial!

“Shad punya proyek besar setelah ini,” komentar Azhar pelan. Azhar mendekati Citra yang masih khawatir jika Azhar menumpahkan sebagian amarahnya kepada dirinya. Citra menutup matanya.

Cup.

Ciuman di kening Citra mengejutkannya.

“Kamu mungkin budakku, tapi di luar, kamu tidak akan menyaksikan semua kekejianku di rumah,” balas Azhar dingin. Entah lega, atau hanya menjadi penanda bahwa nasib buruknya tertunda, Citra mencoba mensyukuri fakta itu.

Azhar pun berjalan ke pintu depan rumah. Citra hanya mengikuti dari belakang. Seorang laki-laki membuka pintu itu. Laki-laki itu tampak seusia dengan Azhar.

“Ah, Tuan Azhar, Nyonya Citra. Silahkan masuk,” ucap laki-laki itu mempersilahkan masuk. Citra terkejut saat namanya disebutkan oleh laki-laki yang dia tidak kenali. Sorotan tajam Azhar mengejutkan laki-laki itu yang membuatnya memohon maaf.

“Mohon maaf jika kurang berkenan, Tuan Azhar,” ucap laki-laki itu. Azhar hanya berdehem.

“Jangan sebut nama dia seperti kamu kenal akrab, Ray,” tegur Azhar. Laki-laki yang bernama Ray itu menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga pun masuk ke rumah Ray.

“Ke ruang Lionheart!” perintah Azhar. Ray menganggukkan kepalanya dengan patuh.

“Ada apa yang membawa Tuan kemari? Bukannya Tuan ada agenda lain?” tanya Ray sesopan mungkin. Azhar tidak menjawab pertanyaan itu hingga mereka bertiga tiba di sebuah ruangan di salah satu sudut rumah itu. Ray membukakan pintu dan mempersilahkan dua tamunya masuk. Ada banyak panel di sana, semua berisi informasi yang sangat akurat. Selain itu, banyak layar yang menampilkan kamera pengawas.

“Lihat semua ini, Citra,” komentar Azhar. Citra pun dengan takut mendekati salah satu layar yang berisi video dari kamera pengawas. Namun, kamera-kamera itu bukan kamera rumah ini. Kamera-kamera itu menunjuk ke jaringan-jaringan prostitusi yang sering didatangi oleh pejabat.

“Kalau kamu tidak mematuhi perintahku, maka kamu akan ikut dengan mereka. Ingatlah, begitu kamu berada di sana, tidak ada keluar,” komentar Azhar dingin. Seluruh bulu kuduk Citra merinding mendengarnya. Nyali yang sudah lemah, semakin menghilang. Azhar benar-benar membuatnya tidak berkutik.

“Mohon maaf, Tuan Azhar. Apakah semua berjalan lancar?’ tanya Ray. Azhar menganggukkan kepalanya.

“Sesuai rencana. Hanya ingin memastikan,” ucapan itu dipotong Azhar seraya melihat ke arah Citra, “bahwasanya gadis kecil ini mengerti posisinya,” lanjutnya. Citra menelan ludahnya ketakutan, dna menganggukkan kepalanya.

“Oh, sudah mengerti ya?” tanya Azhar sinis. Anggukan kepala Citra menjadi jawaban.

“Gadis pintar,” puji Azhar. Dia pun meletakkan tangan kanannya di kepala Citra, lalu mengusapnya lembut.

“Oke. Aku rasa itu saja untuk hari ini, Ray. Pastikan laporan lengkapnya aku terima besok. Aku mau periksa perkembangan sobat-sobat sektor ilegal kita,” komentar Azhar kepada Ray. Tangannya masih mengusap lembut kepala Citra.

“Siap Tuan,” balas Ray. Mereka bertiga kembali ke ruangan depan, dan Azhar pamit. Citra mengikuti Azhar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel