Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Ketukan berulang kali itu dilakukan oleh pelayan ke pintu kamar Azhar, namun tidak ada jawaban. Setelah satu menit, pelayan itu pun meninggalkan pintu depan kamar majikannya. Azhar sendiri akhirnya terbangun setelah tiga menit pelayan itu pergi dari pintu kamarnya. Di bawah tubuhnya, ada tubuh Citra yang masih terlelap.

“Efek obat itu membuat dia kehilangan kendali atas nafsunya, sesuai ekspektasi,” komentar Azhar seraya bangun dari posisinya. Dia pun pergi ke kamar mandi yang ada di kamarnya untuk membilas dirinya.

Citra sendiri terbangun saat Azhar selesai memakai pakaiannya. Menyadari dirinya telanjang, dia segera membalikkan tubuhnya dari hadapan Azhar.

“Aku sudah sentuh semuanya,” komentar Azhar santai. Citra terkejut mendengarnya.

“Apa yang kakak lakukan!?” tanya Citra terkejut, badan membelakangi Azhar.

“Coba cek ke benakmu baik-baik. Seharusnya ingatanmu masih jernih,” jawab Azhar santai. Citra terkejut mendengar kalimat itu. Semua peristiwa tadi malam masuk ke benaknya yang membuatnya beristighfar. Rasanya, dia sekarang menjadi manusia paling hina.

“Jangan munafik, tubuhmu menikmatinya,” komentar Azhar santai.

“Kakak memberiku obat!” balas Citra ketus.

“Tidak mengubah fakta tubuhmu menikmatinya,” balas Azhar, “mending kamu mandi dulu,” lanjutnya. Azhar melemparkan handuk kepada Citra.

“Pakai itu. Handuk baru. Bersihkan dirimu sekarang. Aku tunggu di ruang makan pribadiku. Pelayanku bisa mengantarkanmu ke sana,” komentar Azhar lagi. Dia lalu menatap tajam ke arah Citra yang akan masuk ke kamar mandi.

“Oh ya, mulai sekarang, kamu jadi budak seks khusus untukku. Selama di dalam rumah, jangan kenakan pakaian apapun di dalam pakaian gamismu,” perintah Azhar. Citra ingin protes, namun sorotan tajam Azhar membuat nyalinya layu. Dia tahu, Azhar bisa membuangnya begitu saja dengan seluruh kekuasaan yang dia miliki. Azhar pun pergi dari kamar.

“Kenapa semua ini terjadi?” gumam Citra dengan nada lemah. Sementara itu, sebuah telepon masuk kala Azhar berjalan ke ruang makan.

“Siapa pagi-pagi-“ kalimat itu terpotong kala dia melihat siapa yang menghubunginya. Dia tidak percaya orang itu akan menghubungi di pagi hari.

“Assalamu’alaikum,” sapa suara dari seberang. Azhar memicingkan matanya mendengar suara itu.

“Wa’alaikumussalam... Arrow,” jawab Azhar. Arrow terkekeh dari saluran seberang.

“Ada informasi menarik yang mungkin ingin kamu dengar, Azhar,” ucap Arrow yang membuat Azhar menjadi mode serius.

“Aku harap sungguh penting untuk membuatmu menelponku di pagi hari,” ancam Azhar. Arrow terkekeh.

“Tentu saja. Salah satu perusahaan riset yang bergerak di biomedika di Indonesia saat ini sedang punya keperluan dana, kamu tidak tertarik untuk mendanai?” tanya Arrow.

“Kenapa tidak kamu saja yang danai? Toh kamu punya lebih banyak sumber untuk suplaimu,” jawab Azhar heran.

“Aku tidak tertarik dengan teknologi biomedika mereka. Bukan, lebih tepanya aku tidak senang dengan teknologi biomedika yang mereka kembangkan,” balas Arrow. Azhar memicingkan matanya. Teknologi apa yang membuat Arrow sampai tidak tertarik melakukan pendanaan?

“Teknologi apa?” tanya Azhar lagi. Arrow tampak diam sejenak, seakan menambah efek dramatisnya.

“Manipulasi genetik,” jawab Arrow yang mengejutkan Azhar, “kamu tahu aku tidak tertarik dengan riset yang bisa berbahaya seperti itu kan?” tanyanya.

“Ah iya. Kamu masih cukup ketat dengan masalah seperti itu. Berbahaya, katamu. Baiklah. Kirimkan detailnya untuk diperiksa oleh bagian kerjasama,” jawabku.

“Tentu saja,” balas Arrow, “segera di media sosialmu aku kirimkan,” lanjutnya. Arrow menutup telepon.

“Manipulasi genetik ya... aku rasa ini cukup menarik jika sampai Arrow memberikan informasi seperti ini kepadaku. Namun, kenapa dia berkenan memberikan informasi berbahaya?” gumam Azhar seraya melanjutkan perjalanan ke ruang makan pribadinya. Sementara di benaknya, dia masih memikirkan apa yang direncanakan oleh Arrow, teman sekaligus rivalnya. Si belut berbahaya, itu adalah apa yang terpintas di benak Azhar.

Bagi Azhar, Arrow adalah penghalang paling nyata dalam ambisinya. Meskipun dia punya banyak kendali dalam pemerintahan dan kekuatan politik maupun bisnisnya yang besar, dia selalu kesulitan jika berhadapan dengan Arrow. Ada saja taktik Arrow yang tidak bisa dipahami Azhar, namun mampu untuk terus merangkak ke atas. Arrow sendiri adalah salah satu perusahaan super besar yang tidak di bawah kendalinya. Ada beberapa perusahaan lain, namun Arrow paling berbahaya karena mereka bergerak di bidang dasar yang sama persis: teknologi permainan.

Azhar tiba di ruang makan mewahnya itu. Hanya ada dua kursi yang saling berhadapan dengan jarak yang pendek. Pelayannya telah menyiapkan menu untuk makan pagi hari ini. Namun, tidak satu makanan pun yang di sentuh olehnya. Kepala asisten yang ada di ruangan itu, tampak khawatir jika dia dan anak buahnya berbuat salah. Dia pun izin masuk ruang makan. Azhar memperkenankannya.

“Hormat Paduka,” ucap sang kepala asisten seraya membungkukkan badannya. Azhar menyadari sikapnya telah memancing perhatian para asisten.

“Terima kasih. Ada apa, Sebastian?” tanya Azhar heran.

“Dengan segala hormat, Tuan, apakah hidangan yang kami sajikan tidak memuaskan Tuan?” tanya beliau dengan nada khawatir. Azhar melukiskan senyumannya.

“Tidak, Sebastian. Menu kalian bagus dan menggugah selera. Hanya saja, saya menunggu kedatangan Citra,” jawab Azhar. Sebastian terkejut di dalam pikirannya, namun sikapnya tidak menunjukkan demikian. Loyalitasnya sudah mencapai level tidak mempertanyakan apapun yang dikehendaki tuannya.

“Sebastian! Periksa apakah Citra sudah selesai dengan urusannya. Saya menunggu dia di ruang makan!” titah itu keluar dari mulut laki-laki berusia 29 tahun itu.

Dengan memberikan hormatnya, dia lalu izin keluar ruangan. Beberapa pramusaji dan pelayan penghidangan mendatangi beliau.

“Hormat kepada Pemimpin,” ucap mereka. Sebastian memberi isyarat untuk menghentikan formalitas itu. Dia pribadi menganggap dirinya tidak lebih senior daripada teman-teman sepelayannya.

“Pak Sebastian, apakah kami melakukan kesalahan?” tanya mereka khawatir. Sepertinya tidak hanya Sebastian yang menyadari sikap Azhar.

“Tidak. Beliau menunggu kehadiran Nyonya Citra,” jawab Sebastian, “saya akan memeriksa beliau atas perintah Tuan Azhar,” lanjut beliau sebelum membubarkan para pelayan.

Dia berjalan menuju kamar perempuan yang baru kehilangan kakaknya itu. Sebastian menundukkan badannya sebelum mengetuk pintu, sebuah simbol penghormatan dan izin untuk mengganggu kegiatan tuan atau nyonya di rumah. Dia pun mengetukkan pintu sekali.

“Permisi, Nyonya Citra,” ucap Sebastian. Perempuan yang berada di kamarnya dalam kondisi termenung terkejut mendengar ketukan. Dia tahu suara tua dari balik pintu adalah suara kepala pelayan rumah Azhar, Sebastian.

“Iya Pak Sebastian?” tanya Citra dari dalam. Bagi para pelayan, diberikan penghormatan dengan sebuah ‘Pak’, ‘Kak’, ‘Mas’, ‘Mba’, adalah sebuah kehormatan besar. Gaji mereka mungkin besar, tapi sapaan yang memperhatikan usia mereka itu jarang masuk ke telinga mereka.

“Saya diminta Tuan untuk menjemput Nyonya. Mohon maaf, apakah Nyonya berkenan?” tanya Sebastian sesopan mungkin. Citra hanya menatap ke lantai. Sang iblis mencarinya.

“Sebentar, Pak Sebastian,” jawab Citra beberapa saat kemudian.

“Siap Nyonya,” balas Sebastian sebelum membungkukkan badannya. Dia lalu memposisikan dirinya di samping pintu kamar Citra.

Citra melihat ke pakaian yang dia kenakan. Gamis berwarna biru tua dengan jilbab warna senada. Namun, rasanya berbeda kala tidak ada dalaman yang dia kenakan. Bagaimanapun dia ingin membangkang, dia tahu Azhar sangatlah teliti dan tidak segan menyingkirkan semua yang menentangnya dengan cara paling tidak diduga. Kepicikan laki-laki itu tidak mengenal batas.

“Apakah ada orang diluar sana yang bahkan mampu menentang beliau?” gumam Citra seraya bercermin. Dia melihat bagaimana penampilan luarnya sangatlah taat. Sangat menggambarkan bagaimana seorang lulusan dari pesantren seharusnya. Namun, di dalamnya, dia merasa sangat hina, tidak lebih daripada budak.

Citra membuka pintu kamarnya. Sebastian yang melihat dirinya, segera memberikan hormat. Rasanya sedih, orang-orang di rumah ini menghormatinya, namun dia sebenarnya tidak lebih daripada budak.

“Pak Sebastian, tolong antarkan saya ke ruang makan Kak Azhar,” ucap Citra. Dia menelan seluruh harga dirinya. Pergi ke ruang makan privat Azhar? Sama saja dia menyerahkan dirinya kepada iblis itu. Namun, pilihan apa yang dia punya sekarang?

Azhar sibuk dengan ponselnya kala Citra tiba di dalam ruangan bersama Sebastian. Mata Azhar tampak tidak senang melihat Sebastian mendampingi Citra, namun dia sadar bahwa laki-laki itu hanya melaksanakan tugasnya.

“Hormat Paduka.”

“Permisi Tuan. Berikut saya bawakan Nyonya,” ucap Sebastian dengan hormat. Azhar tersenyum.

“Terima kasih, Sebastian. Silahkan ke luar ruangan, dan ruangan ini menjadi privasi,” perintah Azhar dengan halus. Privasi adalah isyarat Azhar jika dia ingin para pelayan tidak ke ruangan itu sampai dia selesai dengan urusannya. Sebastian membungkuk hormat.

“Siap Tuan! Segera saya laksanakan!” terima Sebastian. Dia pun bergerak keluar ruangan dengan memundurkan langkahnya, sebelum dia menutup pintu ruangan itu. Lalu, jendela yang berada di ruangan itu tertutupi oleh penghalang besi hitam.

“Apa yang Kakak rencanakan?” tanya Citra dengan sorotan tajam. Azhar hanya tersenyum sinis.

“Jangan langsung marah, Citra. Nikmati saja dulu makanmu,” jawab Azhar dengan santai. Citra tidak ingin tahu apa yang mungkin dimasukkan Azhar dalam makanan miliknya. Namun, dia harus menguatkan dirinya sendiri.

Perempuan itu duduk di kursi yang berhadapan dengan Azhar. Azhar pun mulai makan, dan mempersilahkan Citra untuk makan pula. Mereka pun makan, tanpa ada percakapan di antara mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel