bab 3
Pagi ini, pak guru Giofani tiba dengan sepeda motor bututnya. Dengan langkah tegap Pak Giofani Armani atau yang biasa dipanggil Pak Gio, memasuki halaman SMA Negeri 9999 jakarta.
Seragam olahraga biru tua melekat pas di tubuhnya yang tinggi, proporsional, dengan bahu lebar dan postur seperti atlet nasional.
Rambut hitamnya disisir rapi, membingkai wajah tampan dengan garis rahang tegas, hidung mancung, dan sorot mata yang tajam namun teduh. Setiap kali dia tersenyum, siapapun bisa merasakan kehangatan pribadinya. Satu sekolah mengenal Gio sebagai guru yang humble dan murah senyum.
Saat Gio menuju ruang guru, para siswa dan guru yang berpapasan otomatis menoleh dan mengangguk memberi hormat, seperti refleks yang tak bisa dihindari.
Seorang siswi kelas XI yang sedang memegang jajanan Chiki di tangannya sampai menjatuhkan jajannya ketika melihat Pak Gio lewat.
"Alamak jang... Ganteng kali. Macam pemeran utama drama Korea yang jadi CEO CEO!" bisik seorang siswi yang lagi pada ngerumpi dibawah pohon jambu depan kelas XI IPS¹.
Sementara itu, dua guru perempuan di ruang guru saling berbisik pelan sembari tersenyum malu-malu.
"Astaga, itu Pak Gio. Gila sih... tiap hari penampilannya makin keren aja," celetuk Bu Rani, guru Biologi yang terkenal pendiam.
"Iya, sikapnya juga ramah. Bayangin, cuma dia guru olahraga yang bisa nyambung ngomongin filsafat dan sastra sama Bu Anita yang ngajar Bahasa Indonesia," balas Bu Mira dengan pipi memerah.
Di sekolah itu, Gio bukan hanya idola karena ketampanannya, tetapi juga karena pembawaannya yang rendah hati.
Namun meski digilai para siswi dan guru-guru perempuan, Gio tak pernah bersikap genit atau menyombongkan diri. Dia selalu menyapa siapa pun yang ditemuinya dengan senyum hangat dan sikap ramah.
“Selamat pagi, Bu Siti. Wah, bawa keranjang belanjaan? Mau bikin arisan di kantor guru ya?" sapanya ceria kepada petugas kantin.
Bu Siti tertawa kecil. “Iya, Pak Gio ini emang tahu aja. Ayo mampir nanti siang, saya siapkan risoles spesial buat pak Gio!”
“Siap, Bu. Tapi jangan bilang-bilang ya, nanti murid-murid saya ikut minta,” godanya ringan, lalu melangkah ke ruang guru.
Gio bukan berasal dari keluarga berada— setidaknya itu yang para guru guru tahu.
Menurut bisikkan bisikkan gosip yang beredar, tinggal di rumah petak sederhana di pinggiran kota, naik motor bebek tua ke sekolah setiap hari. Namun entah kenapa, gaya berjalannya yang penuh percaya diri dan tutur katanya yang berkelas membuat banyak orang curiga... jangan-jangan dia anak orang kaya yang menyamar?
Tak ada yang tahu latar belakangnya secara pasti. Bahkan sang kepala sekolah pun hanya tahu bahwa Gio adalah lulusan S2 Management dari universitas ternama di luar negeri. Namun anehnya, Gio justru memilih mengabdikan diri menjadi seorang guru honorer yang jelas jelas gajinya sangat kecil, sangat kontras dengan latar belakang pendidikannya yang mentereng.
Dan itu pun menambah auranya makin misterius dan menggoda.
Saat jam pelajaran olahraga dimulai, halaman sekolah yang biasanya lengang langsung berubah riuh. Siswi-siswi rela datang tepat waktu - bahkan lebih awal demi bisa melihat ketampanan Pak Gio yang menurut mereka bukan guru olah raga biasa. Ketika dia meniup peluit, semua mata tertuju padanya.
“Baik, hari ini kita pemanasan dulu. Nanti kita latihan volley. Yang cowok bantu pasang net, yang cewek siap-siap stretching!” ucapnya tegas namun bersahabat.
Tak ada murid yang berani main-main saat dia mengajar. Bukan karena takut, tapi karena luar biasa yang dimilikinya. Gio bukan hanya sekedar guru-- tapi pemimpin yang membuat seluruh muridnya seolah tersihir dengan karisma yang dia miliki.
Gio juga dikenal sangat perhatian. Dia hafal nama seluruh murid di setiap kelas yang dia ajar. Kalau ada murid yang terlihat murung, dia tak segan mendekat dan bertanya.
“Dinda, kamu kelihatan kurang semangat hari ini. Ada yang bisa Pak bantu?”
Dinda, siswi pendiam dari kelas X IPA terkejut, lalu perlahan menggeleng.
“Enggak ada pak. Saya cuma.... Lagi patah hati. Saya baru aja putus sama pacar. Dia ketahuan selingkuh sama cewek tiktokers SMA lain, pak.”ucapnya dengan wajah murung.
Gio mengangguk penuh pengertian. “Kamu harus tetap semangat. Kamu cantik dan layak mendapatkan pacar yang lebih baik. Move on dan lupakan dia. Kalau kamu ingin curhat, Jangan sungkan cerita ke Pak Gio kapan pun ya?”
Dinda menatap wajah tampan Gio dengan penuh binar. "Kalau penggantinya adalah lelaki setampan pak Gio... Saya enggak akan nolak kok, pak" goda si Dinda sambil nyengir. Sontak saja suasana kelas berubah riuh.
"Whoo! Itu sih maunya kamu, Dinda!" sorak Arga.
"Dinda modus! Bilang aja kamu naksir sama pak Gio!"
Dinda jadi malu malu meong dan menutup wajahnya yang merona merah karena malu.
Interaksi - interaksi kecil semacam itu membuat namanya harum di kalangan para murid. Bahkan murid laki-laki pun menghormatinya. Dia tidak hanya mengajar olahraga, tapi juga mengajarkan nilai-nilai sportivitas, disiplin, dan empati.
Namun meski sering jadi pusat perhatian, Gio selalu menjaga batas. Dia tak pernah bergosip, tak pernah menyombongkan pencapaiannya.
***
Suasana rumah keluarga Prawira sore itu tampak lebih rapi dan mewah dari biasanya. Karpet baru digelar, bunga-bunga segar menghiasi meja tamu, dan makanan ringan khas Nusantara tersaji rapi di nampan kristal. Bu Endah mondar-mandir di ruang tamu, sesekali merapikan taplak meja yang sudah rapi dari tadi. Pak Boby berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan wajah tegang tapi mencoba tampak tenang.
“Sayang, kamu udah siap? Mereka sebentar lagi datang,”teriak Bu Endah dari lantai bawah, memanggil Sheila.
Sheila turun dari tangga dengan wajah datar. Rambutnya terurai, dia mengenakan blus putih dan celana kulot krem yang elegan. Wajahnya flowless dengan make up minimalis, menampilkan kecantikan yang anggun dan alami. Bukan karena ingin tampil cantik, namun karena Bu Endah memaksa.
“Aku enggak tahu kenapa harus ada acara penyambutan begini Segala! Ini benar benar enggak berguna!” gumam Sheila dengan wajah merengut sambil duduk malas di sofa.
Pak Boby melirik putrinya dengan tajam. “Jaga sikapmu. Keluarga Anwar itu orang baik. Papa bahkan punya hutang budi yang tidak bisa dibayar dengan uang atau materi apapun!”
Tak lama kemudian, suara klakson mobil terdengar dari luar pagar. Bu Endah langsung tersenyum lega.
"Mereka sudah datang. Tolong kamu harus jaga sikap ya, Sheila! Jangan sampai membuat kami malu!” pintanya sambil merapikan rambut anaknya sekilas.
Sheila hanya mendengus.
Pak bobby dan Bu Endah menyambut kedatangan tamu spesial mereka. Pintu utama terbuka. Pak Anwar dan Bu Leli masuk bersama seorang pria muda bertubuh tegap dan berwajah tenang. Dialah Giofani Armani-- guru honorer mata pelajaran olahraga yang akan segera dijodohkan dengan Sheila.
“Assalamualaikum,” sapa Pak Anwar ramah.
“Waalaikumsalam, silakan masuk, silakan,” sambut Pak Boby sambil menyalami mereka hangat. Suara dan ekspresinya berubah total, dari dingin menjadi sangat akrab. Tampak jelas bahwa ia begitu menghormati tamunya.
“Lama sekali kita nggak bertemu, Bob. Rasanya seperti kembali ke masa kuliah,” kata Pak Anwar sambil tertawa kecil.
“Iya, Anwar. Dulu kamu yang bayarin biaya semester sampai lulus, waktu papaku jatuh bangkrut. Aku nggak akan lupa itu seumur hidup,” balas Pak Boby sambil menepuk bahu sahabat lamanya.
Sheila memperhatikan semua itu sambil memutar kedua bola matanya, malas. Tapi pandangannya tidak bisa lepas dari sosok pria muda yang kini duduk di seberangnya.
Gio mengenakan kemeja warna merah maroon yang digulung sampai siku. Lengan kekarnya terlihat jelas. Rambutnya hitam sedikit bergelombang, kulitnya bersih, dan wajahnya sangat tampan dengan hidung mancung dan dagu belahnya. Mata tajam tapi lembut, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya. Sheila berusaha mengabaikan visual Gio yang menurutnya di atas rata rata.
Sialnya, dia benar-benar ganteng.
Sheila menahan nafas sejenak. Ia mencoba memalingkan wajah, tapi tanpa sadar matanya melirik lagi. Tatapan Gio tidak menuntut. Ia hanya tersenyum ramah, penuh kesopanan, lalu menunduk pelan memberi salam.
“Sheila, kenalin. Ini Gio, calon suami kamu,” ucap Bu Endah, memaksa senyum.
'Calon suami sepihak,' gerutu Sheila dalam hati, meski tetap menjawab, “Halo.”dengan seringai dipaksakan.
Gio berdiri dan menjabat tangan Sheila dengan sopan. “Senang akhirnya bisa ketemu langsung. Aku sudah banyak dengar tentang kamu.”
“Sebaliknya,” balas Sheila datar.
Obrolan antara dua keluarga berlangsung akrab. Tawa Pak Anwar dan Pak Boby terdengar beberapa kali. Bu Endah dan Bu Leli sudah membicarakan tanggal resepsi. Sementara itu, Sheila hanya duduk menahan gerah, sesekali mencicipi kue pastel yang tersaji di atas meja, tapi lebih banyak memperhatikan gerak-gerik Gio dari balik ekor matanya.
Dia terlalu tenang untuk orang yang akan menikah dengan orang yang tak mencintainya.
Setelah beberapa lama, Gio memecah suasana. “Maaf, Tante, Om… Bolehkah saya bicara sebentar sama Sheila di taman belakang?”
Bu Endah terlihat ragu sejenak, tapi Pak Boby memberi isyarat setuju.
“Silakan, Gio. Memang seharusnya kalian punya waktu berdua untuk saling mengenal satu sama lain,” ucapnya sambil tertawa.
Gio tersenyum tipis dan berdiri. Sheila menatap mamanya dengan tatapan penuh kode “tolong aku", tapi tidak mendapat pertolongan.
Di taman belakang, suara gemericik air dari kolam kecil menemani kebersamaan antara Gio dan Sheila yang sama sama canggung itu.
Sinar senja membuat suasana terasa hangat dan temaram. Gio duduk di bangku panjang kayu. Sheila berdiri beberapa detik sebelum akhirnya duduk di sisi lain bangku,--menjaga jarak.
“ Sepertinya kamu nggak suka perjodohan ini?” ucap Gio tanpa basa-basi.
Sheila mengangguk pelan. “Tepat sekali! Sekarang sudah bukan lagi era Siti Nurbaya. Aku heran kenapa budaya perjodohan masih saja terjadi di jaman modern seperti sekarang?”jawab Sheila dengan nada setengah menggerutu.
“Aku pun juga nggak terlalu suka dijodohkan,” katanya tenang. “Tapi aku percaya… mungkin ini bukan tentang suka atau nggak suka.”
Sheila melirik ke arahnya, bingung. “Lalu tentang apa?”
“Caraku membalas budi kepada orang tua,” jawab Gio. “Aku nggak memaksa kamu untuk mencintai aku, Sheila. Tapi dengan pernikahan kita, aku akan tetap menghormatimu keputusanmu.”
Sheila terdiam, lalu mengambil napas dalam-dalam.
“Aku mau jujur,” katanya. “Aku enggak menginginkan pernikahan ini. Dan aku enggak pengin kamu menyentuh aku setelah menikah nanti. Aku cuma... aku enggak bisa. Rasanya aneh dan salah.”
Gio menoleh pelan ke arahnya. Tatapan mata itu lembut, tapi sedikit redup.
“Baik,” katanya. “Aku janji. Aku enggak akan menyentuh kamu, Sheila. Bahkan tanganmu pun tidak akan aku genggam... kalau kamu nggak izinkan.”
Perasaan tak nyaman merayapi dada Sheila. Ia tak menyangka permintaannya akan diterima begitu mudah, tapi ada sedikit rasa bersalah karena menuntut hal seperti itu dari pria sebaik Gio.
“Kenapa kamu setuju dijodohkan kalau kamu tahu aku nggak cinta?” tanya Sheila.
Gio menatap lurus ke depan, menatap kolam.
“Karena ayahku bilang ini soal persahabatan lama. Karena aku percaya, mungkin... di masa depan, rasa cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tapi kalau nggak, aku juga tak akan memaksa. Aku hanya akan menjadi suami yang menjaga kamu, bukan mengekang kamu.”
Sheila menunduk. Untuk pertama kalinya, hatinya tersentuh. Tapi dia belum siap mengakuinya.
Gio berdiri perlahan.
“Kita bisa mulai dari berteman, Sheila. Kamu tidak perlu mencintaiku sekarang, atau bahkan nanti. Tapi aku akan pastikan kamu akan selalu merasa aman dan nyaman.”
Sheila menatap punggungnya saat Gio berjalan masuk ke rumah lagi. Hatinya kacau. Bukan karena benci, melainkan karena ia bingung. Bingung kenapa pria yang seharusnya ia tolak justru punya semua kualitas yang ia harapkan dari lelaki mana pun.
Dia lelaki miskin. Tapi jelas bukan lelaki murahan.
Dan entah kenapa, pertemuan sore itu menjadi awal dari dilema besar yang akan mengubah hidupnya selamanya.
(Bersambung)
