Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

"Ada satu cara agar pernikahan kamu dan pria itu berakhir tanpa perlu bersusah payah untuk menyingkirkan dia...” desis Robin dengan nada yakin.

"Apa itu!?" tukas Sheila, cepat dan penuh harap.

"Aku mau, kita membahas hal ini secara langsung. Temui aku di Kafe biasa kita ketemu, malam ini jam tujuh. Aku tunggu kamu di sana, sayang," ucap Robin dengan nada tegas dan pasti.

Sebelum Sheila menjawab. Robin sudah terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya.

Sheila menghela nafas berat. Dia bergumam pelan, "Semoga Ide Robin bisa menggagalkan rencana pernikahan aku dan lelaki enggak jelas pilihan papa. Aku benar benar enggak sudi menikah dengan guru honorer yang bahkan gajinya saja enggak cukup buat membeli lipstik aku yang harganya jutaan! Harusnya wanita yang cocok menikah dengan seorang pria yang berprofesi sebagai guru honorer adalah mbak mbak tukang sayur di pasar tradisional, bukan aku, putri satu satunya keluarga Boby Prawira yang cantik dan bergelimang harta!" decih Sheila sambil tersenyum kecut.

Kafe berlantai dua di pojok Selatan Ibukota itu dipenuhi denting sendok dan percakapan ringan para pengunjungnya yang rata rata dari kalangan kelas atas.

Di salah satu sudutnya, duduk dua orang yang wajahnya tampak muram, seperti sedang dihimpit beban berat.

Sheila dengan minidress abu-abu tanpa lengan, rambut hitam tergerai indah sebahu, wajah cantik dengan make up flowless ala ala Idol K-Pop, duduk menghadap Robin yang malam itu mengenakan blazer casual semi formal dipadukan dengan jeans hitam dan sepatu pantofel.

Sheila meremas cangkir kopinya yang sudah dingin, sementara Robin tampak gelisah, duduk dengan kaki menghentak pelan ke lantai dan pandangan waspada ke kanan-kiri.

"So, apa rencana yang kamu miliki untuk menggagalkan perjodohan ini, Robin? Aku betul betul enggak mau menikah dengan lelaki downgrade itu! Aku cuma cinta sama kamu!” bisik Sheila dengan nada penuh harapan.

Robin mengangguk, menyesap moctail dari gelas kaca dalam genggaman lalu menghela nafas berat. "Apa kamu sudah coba melawan perjodohan ini? Maksudku... kamu menolaknya dengan tegas dan mengatakan bahwa kamu sudah punya aku sebagai pacar kamu?”

Sheila mengangguk pelan, lalu menghela napas berat. “Aku sudah hampir gila berdebat dengan papa! Aku masih gak percaya... Papa beneran tega sama aku... bahkan papa sudah mengatur pernikahan aku dan Gio Minggu depan, padahal aku sama sekali enggak kenal dia. Hah! Apaan coba!?”

“Tenang sayang,” Robin meraih tangan Sheila dan menggenggamnya lembut. "Aku sudah pikirkan rencana buat gagalin perjodohan ini tanpa harus capek berdebat dan menghabiskan banyak tenaga.. .”

Sheila menaikkan alis, skeptis. “Apa itu, Rob? Apa aku harus kabur dari kota ini? Ganti identitas jadi Jessica Marimar dan tinggal di Bali?!”

Robin tersenyum dan menggeleng pelan “Enggak, jangan lebay. aku punya ide yang bisa dibilang... efektif.”

Sheila bersandar ke kursi dengan wajah penasaran. “Cepet Robin! Jangan bertele tele! Aku udah stress banget!”

Robin mendekat, suaranya merendah seperti sedang membocorkan rahasia negara.

“Gini... Kamu pura-pura jatuh saat pertama kali ketemu Gio. Bikin seolah-olah dia yang menyebabkan kamu jatuh.. dan akhirnya... Kamu pura pura... lumpuh.”

Sheila membelalakkan mata, “APA?! Lumpuh? Yang bener aja, Robin!? Aku enggak bisa akting seperti itu! Aku ini bukan pemain sinetron Indosiar!”

“Ssst! Jangan keras keras!” bisik Robin cepat. “Dengerin dulu. Gini..." Robin mencondongkan tubuhnya ke arah Sheila. "Kamu pura-pura jatuh saat naik tangga atau lagi jalan di taman, atau apalah yang dramatis. Kamu pura pura pingsan. Setelah sadar, kamu teriak-teriak kesakitan, dan setelah itu... Kamu bilang ke Gio kalau kamu nggak bisa ngerasain apa apa. Kamu lumpuh. Kamu enggak bisa gerakin kaki whatever lah!”

Sheila menatap Robin tak percaya, setengah ingin tertawa, setengah ingin melempar gelas.

“Tunggu... Kamu pikir papa bakal diam aja dan enggak membawa aku ke dokter spesialis ortopedi? Rontgen, MRI, CT scan dan lain lain? Semuanya dengan mudah bakalan kebongkar, Robin! It's impossible!”

Robin tersenyum penuh keyakinan, seperti orang habis nonton tiga season House MD.

“Masalah itu kamu enggak usah khawatir. Biar nanti semua aku yang atur. Kebetulan aku punya kenalan seorang dokter spesialis ortopedi. Aku bisa atur semuanya. Sekarang kamu persiapkan diri jadi seorang gadis yang lumpuh. Yang enggak bisa ngapa ngapain, yang harus duduk di kursi roda, mandi dimandiin, makan disuapin, dan yang pasti enggak mampu melakukan hal hal kecil sekalipun. Dia pasti akan mikir dua kali buat bertahan punya istri enggak guna seperti kamu. Dia pasti akan minta cerai!”

Sheila masih terdiam. Matanya menyipit, mencerna rencana itu dengan lambat.

“Kamu pikir... dia bakal mundur sendiri? Karena nggak siap jadi suami dari seorang istri yang lumpuh?”

Robin mengangguk cepat. “Tepat sekali! Dan kalau dia mundur, kamu gak akan disalahin. Papa kamu juga gak bisa maksain kehendak buat nikahin kamu sama lelaki yang enggak sanggup merawat kamu. Papa kamu justru akan menyalahkan lelaki itu karena sudah membuat kamu cacat. Di sini kamu adalah korban. Dan... saat itulah, kita bisa lanjutin hubungan kita....”

Sheila perlahan tersenyum. Wajahnya mulai memperlihatkan ekspresi puas.

“Kita bisa atur dramanya,” ucap Sheila pelan. “Mungkin pas pertama kali aku ketemu Gio, aku jalan pakai sepatu hak tinggi... lalu aku sengaja tergelincir... lalu... ‘AAAKH! Bom! Aku jatuh,” kekehnya sambil menyeringai, “Terus aku tergeletak dramatis... nggak bisa bangun. Lalu dilarikan ke rumah sakit yang udah kamu setting sebelumnya. Lalu setelah itu... aku mewek-mewek bilang aku nggak bisa ngerasain kaki aku. Gitu?”

“Exactly,” kata Robin, menunjuk Sheila dengan senyum licik. “kamu hanya perlu akting yang meyakinkan, aku bisa menyuap seorang dokter ortopedi kenalan aku yang menjelaskan kalau kamu mengalami kelumpuhan total dan permanen,” tandas Robin sambil tersenyum puas.

Sheila menahan tawa. “Gila sih... tapi ini ide yang brilliant!”

“aku berani bertaruh, Dia akan mundur hanya dalam waktu satu minggu, sayang. Aku bakal bantu semuanya. Kamu hanya perlu melakoninya semaksimal mungkin.”

“Okey! Aku bisa pura-pura trauma... terus sering tiba-tiba nangis di kamar... terus bilang ke Gio, ‘Kamu masih mau sama aku walau aku kayak gini? Aku ini beban buat kamu...’”

Robin ngakak pelan. “Ya ampun sayang! Kamu udah cocok jadi artis sinetron stripping.”

“Makasih,” kata Sheila, memasang wajah jumawa dan tersenyum licik. “Aku belajar dari Ikatan Cinta dan Cinta Fitri. Akting nangis tanpa air mata? Itu Gampang.”

Robin mencondongkan badan, menatap Sheila dengan intens. “Ini kesempatan terakhir kita buat gagalin rencana gila papa kamu. Tapi... Kamu harus komit. Kamu harus bikin Gio ngerasa bersalah, jijik, takut, bahkan kasihan... sampe dia sendiri mundur. Dan satu hal lagi...” bisik Robin sambil menatap lekat-lekat wajah cantik Sheila, "jangan biarkan dia menyentuh kamu, Sheila... Aku enggak akan rela ada lelaki yang menyentuh kamu!"

Sheila mengangguk pasti, “Jangan khawatir, aku enggak akan sudi disentuh lelaki miskin berpenghasilan dua juta sebulan itu! Damn, harga eyeliner aku aja bahkan lebih mahal dari gaji dia!" ucap Sheila, remeh. "Setelah dia mundur... aku bakal ‘sembuh’ secara ajaib. Mungkin setelah trauma hilang, aku mulai bisa jalan perlahan. Semua orang senang... tapi aku udah nggak jadi istri dia lagi. Karena dia... tersangkanya.”

“Yup dan papamu akhirnya akan melihat. seperti apa sifat asli lelaki itu sebenarnya. Kamu akan aman, Sheila.”

Sheila mengangguk perlahan. Wajahnya kini penuh tekad. “Aku udah enggak sabar buat ketemu Gio!”

“Eits jangan terburu buru? Kamu harus tenang, jangan sampai ada orang lain yang curiga tentang rencana kita ini. Ya udah. Mulai dari sekarang, kamu latih kemampuan akting kamu. Latihan jatuh juga dan nangis juga. Jangan sampai gagal!” racau Robin, memperingati kekasihnya.

“Kamu beneran bantu aku kan, Rob. Aku gak bisa sendiri.”

Robin mengangguk, meraih tangan Sheila dan menggenggamnya erat.

“Kita akan lewati ini bersama sama. Dan setelah Gio pergi, kamu akan tetap jadi milik aku...”

Sheila tersenyum kecil, menatap pria tampan di depannya dengan penuh keyakinan. Meski di dalam hatinya, Sheila masih ragu apakah dia mampu berakting seperti yang sudah mereka rencanakan. Akan tetapi tetapi saat ini, dia terlalu marah, terlalu kesal, dan terlalu ingin membalas apa yang dianggapnya sebagai pengkhianatan orang tuanya.

Ini bukan soal Gio.

Ini soal kendali.

Dan Sheila akan membuktikan bahwa hidupnya bukan ditentukan siapa pun, bahkan oleh ayah kandungnya sendiri. Karena hidupnya, dialah yang menjalani.

Namun satu hal yang belum mereka tahu...

Gio bukan pria biasa.

Dan rencana konyol ini, bisa jadi awal dari kekacauan yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.

(Bersambung)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel