
Ringkasan
"Akhh! Pelan pelan! Aku... Aku masih suci, Gio.." Sheila mengerang sambil mendorong tubuh kekar Gio sedikit menjauh darinya. "Aku sudah sangat hati hati, Sheila..." bisik Gio, lembut, tepat di telinga wanita cantik itu. Sheila menentang keras perjodohannya dengan Giofani Armani karena telah memiliki seorang pujaan hati--Robin, kekasih yang sudah memacarinya selama lima tahun. Tapi keputusan kedua orang tua Sheila tak bisa diganggu gugat hingga akhirnya Sheila pun terpaksa menerima perjodohan itu. Akan tetapi diam diam Sheila dan Robin merencanakan rencana licik untuk mendepak Gio, yaitu berpura pura lumpuh. Sanggupkah Gio bertahan dengan Sheila. Dan bagaimanakah reaksi Sheila setelah tahu siapa Gio sebenarnya?
bab 1
BRAKK!
Suara gelas yang diletakkan terlalu keras di atas meja kaca, terdengar nyaring memecah keheningan ruang keluarga Boby Prawira sore itu.
“Apa!?? Papa mau menjodohkan aku sama pria yang enggak aku kenal!? Papa lagi enggak bercanda, kan?”tanya Sheila dengan senyum getir, menatap tajam ke arah pria paruh baya yang tengah duduk bersandar di sofa sambil menyesap teh jahe kesukaannya. Napas gadis itu terdengar memburu, wajahnya merah menahan marah.
Pak Boby mengangkat wajahnya perlahan, menatap lekat putri semata wayangnya tanpa sedikit pun terganggu oleh nada bicara Sheila yang meninggi. Di sebelahnya, Bu Endah duduk diam, ekspresinya tegang tapi tidak setegas suaminya.
“Kamu pikir Papa main-main, Sheila?” balas Pak Boby tenang. “Ini sudah menjadi keputusan papa dan mama. Kami sudah memikirkannya dengan baik-baik. Kamu hanya perlu menurutinya saja!”
"Papa pikir sekarang masih jaman Siti Nurhaliza? Pakai acara jodoh menjodohkan segala?! Pah, Sheila ini sudah punya pilihan sendiri. Robin. Dia tampan, berpendidikan, mapan, papanya orang berada, calon penerus pimpinan perusahaan. Apalagi? Cuma Robin satu satunya lelaki yang berhak menikahi Sheila!" tampik Sheila masih tetap ngotot mempertahankan ego dan prinsipnya.
"Tapi Gio itu pemuda yang baik, Sayang... Meski Gio cuma seorang guru honorer, tapi papanya Gio dan papamu sudah lama berhubungan baik. Bahkan papamu dulu masih memiliki hutang budi dengan papanya Gio..." sela Bu Endah dengan nada penuh kelembutan.
“Menikah? Dengan guru honorer?” alis gadis cantik itu bertaut sempurna dengan suara semakin meninggi. “Apa-apaan ini? Pokoknya aku enggak mau dijodohkan, Ma. Aku sudah dewasa. Kenapa harus dijodohkan dengan pria yang bahkan aku nggak kenal asal-usulnya?! Apalagi cuma seorang guru horoner? Gaji bulanan dia aja enggak sanggup buat beli sepatu model terbaru yang Sheila inginkan!” dengkus Sheila dengan nada meremehkan dan senyum sinis.
Bu Endah membuka suara, mencoba menenangkan. “Sayang, dengarkan dulu. Papa dan Mama tidak asal pilih. Gio itu....”
“Guru honorer,” potong Sheila cepat.“Guru Honorer, Gaji dua juta sebulan. Kalian pikir aku bisa hidup dengan penghasilan dia yang begitu kecil?!”
Pak Boby menatap putrinya lekat-lekat. “Kamu pikir hidup ini cuma soal uang, Sheila!?”
“Kalau begitu, kenapa Papa sendiri tiap hari kerja keras untuk cari uang? Papa punya perusahaan, punya saham, punya tanah. Lalu sekarang Papa suruh aku hidup dengan seorang guru miskin yang bahkan nggak sanggup menafkahi aku!? Papa, come on!?”
“Kamu terlalu sombong, Sheila.” Suara Pak Boby terdengar bergetar “Papa dan Mama tidak butuh jawabanmu sekarang. Minggu depan, kamu akan menikah dengan Gio.”
“Enggak!” Sheila membanting tangan ke meja. “Papa nggak bisa seenaknya ambil keputusan buat hidup aku. Aku bukan balita, Pah! Aku sudah dewasa, jadi aku punya hak untuk menolak sesuatu yang bakal membuat hidup aku sengsara!”
Bu Endah berdiri, berjalan pelan menghampiri Sheila, mencoba meredam ketegangan yang tercipta diantara putri dan suaminya. “Papa dan Mama lakukan ini karena kamu terlalu lama bebas berhubungan dengan Robin, Sheila. Dia pemuda baik, tapi dia tidak membawa kamu ke arah yang jelas. Kamu putri kami satu satunya. Kami khawatir.... Gaya pacaranmu dan Robin itu melewati batas...”
“Robin itu lulusan teknik dari universitas ternama!” seru Sheila. “Dia lelaki yang baik! Kekhawatiran papa dan mama itu enggak beralasan?! Papa dan mama terlalu kuno! ”
“Justru karena papa mengenal betul siapa Robin, Sheila! Papa tahu siapa dia sebenarnya...” ucap Pak Boby dingin. “Kamu pikir dia benar benar cinta sama kamu? Dia cuma ingin bersenang-senang dan memanfaatkan kamu. Dia tidak pernah serius ingin menikahi kamu. Bertahun-tahun pacaran, dia tidak pernah ajukan lamaran. Dia itu seorang playboy, Nak!”
Sheila terdiam sesaat. Kalimat ayahnya seperti pukulan telak yang menghantam dadanya. Selama ini Sheila selalu bertanya kapan Robin mau melamarnya, tapi jawaban Robin selalu saja kurang memuaskan.
Tapi tetap saja, rasa amarahnya lebih kuat daripada logikanya saat ini.
“Lalu kenapa harus Gio si guru honorer miskin itu?” gumamnya lirih namun penuh tekanan. “Kenapa bukan pria lain, yang lebih kaya dan memiliki karir cemerlang?”
“Karena Gio datang dengan niat baik, sopan, santun. Dia datang dari keluarga baik baik. Papa kenal baik dengan papanya. Sejak kalian balita, papa dan papanya Gio bahkan sudah berandai andai menjodohkan kalian. Gio tidak punya mobil mewah, tapi dia bawa harga diri dan integritas,” ucap Bu Endah dengan lembut tapi tegas. “Sesuatu yang makin langka di zaman sekarang.”
Sheila memutar bola mata, muak. “Mama terlalu naif dan kuno. Itu cuma pencitraan. Besok-besok dia bisa saja berubah setelah berhasil menikah sama aku!”
“Kita semua bisa berubah, Sayang,” ucap Pak Boby, menekankan kata terakhir. “Tapi fondasi kepribadian seseorang bisa dikenali sejak awal. Gio itu orang yang tahu diri. Papa mengenal Dia. Gio tidak bermulut manis, tidak menjilat, dan tidak hidup dari uang orang lain.”
“Jadi ini masalahnya papa enggak suka Robin? bisik Sheila getir. “karena papa benci dia!?”
“Bukan soal benci,” Pak Boby bangkit berdiri, kini berdiri berseberangan dengan putrinya. “Ini soal masa depan kamu. Robin tidak pernah memperjuangkan kamu. Tapi Gio... dia datang dengan niat serius ingin memperjuangkan kamu. Tidak banyak lelaki seperti itu di zaman sekarang.”
“Mungkin karena dia butuh uang,” cibir Sheila. “Apa Papa yakin dia nggak ngincar warisan keluarga kita?”
“Kalau itu yang dia incar,” kata Pak Boby, “dia tidak akan menolak saat Papa tawarkan posisi strategis di perusahaan papa. Tapi dia menolak. Dia bilang dia sudah punya jalan hidup sendiri. Dia tetap ingin jadi seorang guru.”
Sheila nyaris mencemooh, tapi tertahan oleh ketegangan di sekelilingnya. Napasnya terasa berat. Dunia seakan menghimpit dari segala arah.
“Tapi Aku nggak cinta dia, Pa!” katanya pelan, kali ini lebih jujur, lebih rapuh. “Aku nggak akan bisa hidup sama orang yang nggak aku cintai.”
Pak Boby menatap dalam-dalam mata putrinya. Untuk sesaat, ekspresinya melunak. Tapi kemudian dia kembali tegas.
“Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Itu fondasi yang lebih penting. Kamu tidak harus jatuh cinta dulu untuk memulai hidup bersama Gio. Banyak pasangan zaman dulu yang nikah karena dijodohkan, dan mereka tetap utuh sampai menua dan mati.”
“Aku bukan bagian dari generasi zaman dulu, Pa, please jangan di bandingkan bandingkan!” tukas Sheila sambil tersenyum kecut.
Pak Boby mengangguk. “Betul. Tapi kamu juga bukan robot yang bisa memilih tanpa risiko. Papa dan Mama memilihkan ini karena kamu terlalu lama digantung oleh Robin. Sekarang biarkan kami yang mengambil alih. Kamu tinggal jalani, dan Papa yakin, kamu akan melihat kenapa kami memilih Gio. Kamu akan bahagia.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Sheila. Tapi bukan karena sedih, tetapi lebih karena rasa frustrasi dan kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
“Aku akan kabur dari rumah,” desisnya pelan.
“Coba saja,” balas Pak Boby tenang.“Semua kartu kredit, ATM dan fasilitas papa akan papa cabut. Mobil akan ditarik. Dan jangan harap Robin akan menampung kamu. Dia sedang menjalin hubungan dengan wanita lainnya. Kamu akan hancur kalau tetap memilih berhubungan dengan Robin!”
Sheila menegang. “Apa?! Papa jahat! Kenapa papa harus lakuin ini semua!?”
“Kamu tak punya pilihan lain, Sheila. Tentukan pilihanmu dari sekarang,” tegas Pak Boby. “kamu ingin mengikuti keinginan kamu, atau lari bersama laki laki yang tak ada usaha untuk memperjuangkan kamu.”
Ruangan kembali hening. Udara dingin dari AC terasa menggigit kulit, tapi keringat dingin menetes dari pelipis Sheila. Ia merasa seperti terpojok dalam arena yang dia tidak paham aturannya.
Bu Endah mengusap pundak Sheila dengan lembut. “Justru karena kami tidak ingin menghancurkan hidupmu, Nak. Kami cuma ingin kamu bahagia, meski kamu belum melihatnya sekarang.”
“Aku akan membenci kalian seumur hidup,” gumam Sheila sambil menghapus air mata dengan punggung tangan.
Pak Boby tidak bergeming. “Benci tidak akan bertahan selamanya. Tapi kalau kamu tidak menikah, Papa akan mencabut semua hak warismu. Dan kamu tahu Papa tidak sedang bercanda.”
---
Di kamar, Sheila membanting pintu dan mengunci dirinya. Napasnya terengah. Pandangannya kabur oleh air mata yang terus menggenang.
Perasaannya campur aduk; marah, takut, bingung, dan lebih dari itu... kecewa.
Ponselnya berbunyi. Nama “Robin” muncul di layar ponselnya. Dengan tangan gemetar, Sheila mengangkat.
“Halo yank?” suaranya nyaris patah. Gemetar dan lirih.
“Sayang? Kamu kenapa? Kamu baik baik saja kab?” tanya Robin dengan nada khawatir.
"Aku.... Aku akan dijodohkan papa dengan lelaki pilihannya...." decit Sheila sambil terisak. Tangisnya pecah. Sementara Robin terdiam.
"Kamu serius, yank?"
"Iya. Dan kamu tahu, dengan siapa aku bakal dinikahkan?" Suara Sheila masih terdengar berat dan bergetar. "Dengan guru honorer miskin!"
"Apa!? Enggak salah!? Apa papa kamu sudah gila Sheila!?" tukas Robin, terdengar kaget hampir tak percaya. "Enggak! Kamu nggak akan nikah sama guru kampung itu!?”
“Aku... aku nggak punya pilihan lain, Robin... Papa ancam aku. Dia bakal mencabut semua fasilitas dan kartu keuangan aku. Bahkan beliau mengancam akan mencoret namaku dari kartu keluarga!”
“WHAT!? Gila!" teriak Robin di seberang sana dengan nada penuh emosi.
Hening. Baik Sheila maupun Robin, keduanya sama sama berpikir keras mencari jalan keluar dari permasalahan pelik yang kini sedang mereka hadapi.
"Ada satu cara agar pernikahan kamu dan pria itu berakhir tanpa perlu bersusah payah menyingkirkan nya...” desis Robin dengan nada yakin.
"Apa itu!?" tukas Sheila, cepat dan penuh harap.
Dan dari sinilah semuanya mulai mengarah ke sebuah rencana konyol, yang akan mengubah hidup Sheila selamanya.
(Bersambung)
