Bab 7. Untung tak terjadi
Apa aku akan seperti asisten terdahulu, memilih kabur dari pada di jamah Tuan sendiri?
***
"Melda?"
"Iya Tuan? Lapar?" Aku setengah berlari ke arah Tuan Azka yang sudah menungguku di meja makan.
"Eeemm aku lagi pengen makan mie instan aja Mel. Sama telur rebus 3 biji" Permintaan Tuan Azka.
"Ooohhh baik Tuan, di tunggu yaa" Aku menyelipkan anak rambutku di belakang daun telingaku.
Tuan Azka tampak tak bergerak dari tempatnya.
Aku bergegas memasak permintaan Tuan Azka. Aku tau mie instan favorit Tuan Azka, rasa kari kental adalah andalannya.
Satu mangkuk pun siap untuk Tuan Azka.
Aku menoleh kebelakang dan melihat Tuan Azka masih di tempatnya, ia tak henti memandangiku rupanya sejak tadi.
"Silahkan Tuan" Ujarku sambil menaruh semangkuk mie itu di depannya.
Aku berusaha menetralkan diri, menganggap tak pernah terjadi sesuatu antara aku dan Tuan Azka.
Tapi sepertinya Tuan Azka enggan demikian.
Tatapannya begitu lekat seperti ingin membunuhku.
"Melda makan apa? Udah makan malamkah?" Tanyanya.
"Eeem Melda belum lapar Tuan."
"Bisa gak?"
Deg!
Tuan Azka ingin meminta apa ini?!
"Bisa gak, jangan panggil aku Tuan terus. Lama lama panggilan itu gak enak di dengar telingaku!"
"Aku harus panggil apa Tuan?"
"Janganlah Tuan. Azka langsung atau apakah gitu, tiap kali kamu panggil aku Tuan, Tuan, Tuan aku malah terbayang kita di ran ... Jang." Tuan Azka mengelap bibirnya.
Aku kikuk ingin menjawab apa, melihat pemandangan Tuan Azka mengelap bibirnya saja sudah membuatku gugup.
"Yang lain aja Mel. Biar lebih akrab dari pada kita seperti orang asing" tambah Tuan Azka.
Akrab? Akrab kerena bersentuhan iya Tuan. Oh panggilan apa yang tepat? Apa aku harus seperti Nyonya Lisa dengan langsung memanggil nama Tuan Azka. Aaahh terlalu gila aku jika seperti itu.
"Mas Azka?"
Prruuttttffffffff ...
Kuah mie instan itu di semburkan Tuan Azka seketika itu juga.
"Apa tadi?"
"M-Mas Azka" jawabku gugup lagi.
"Mas? Mas? Mas Azka." Tuan Azka mengulang ulang ucapan itu.
"Gak cocok ya?" tanyaku takut takut.
"Kayaknya sama aja kayak Tuan, tapi panggilan Mas? Eeemmmm boleh sih" Tuan Azka mangut mangut.
"Tapi, panggilan Mas itu, Terlalu erotis Mel."
"Iiihhh Tuan" aku merasa jengkel pada Tuan Azka.
"Hehehehe beginilah Mel. Setidaknya ada yang temani aku bicara. Bukan cuma menghadap komputer dan layarnya. Di telingaku cuma terngiang ngiang suara google" keluh Tuan Azka.
"Kalau gitu, kenapa Tuan gak coba cari pekerja baru Tuan, yang laki laki gitu. Jadi kalau Tuan bosan di kamar, Tuan ada teman bercerita di luar." Saranku.
"Pekerja yaa? Laki laki?" Tuan Azka tampak berpikir.
"Kalau dia laki laki, terus tiba tiba dia naksir kamu gimana?"
Heh? Pertanyaan macam apa ini? Aku ngebug mendengar pertanyaan Tuan Azka.
"Berarti aku punya saingan donk? Aahh gak aahhh udah aku cuma punya kamu aja Mel." Tuan Azka lanjut menyeruput kuah mienya.
Aku tak bisa berkata kata. Tuan Azka membuatku kehabisan kata kata.
Tiba tiba aku teringat akan cerita asisten terdahulu sebelum diriku.
"Tuan?" Panggilku tiba tiba.
Untungnya Tuan Azka tak terkejut karena panggilanku. "Apa?"
"Eeem aku dengar dengar, sebelum Melda. Sebelumnya Tuan dan Nyonya punya asisten rumah tangga, tapi kabur katanya eemmm kalau boleh tau kenapa yaa?" Aku memberanikan diri untuk bertanya karena kekepoanku sudah di ujung ubun ubun.
"Asisten terdahulu? Oooohhh Monica." Tuan Azka bahkan menyebutkan namanya.
"Oohhh namanya Monica?" aku duduk di kursi berhadapan dengan Tuan Azia.
"Iyaa, dia pernah kerja di sini. Di posisi kamu juga. Dan dia ketakutan pas aku kambuh. Kamu tau sendiri gimana aku kambuh Mel" ujarnya.
"Jadi, Tuan sempat pegang pegang Monica juga?" pancingku.
"Yaa sempat. Mungkin bisa di sebut pelecehan. Yaa mau gimana lagi? Aku gak bisa kendalikan diri."
"Oooooooo" Aku mengangguk.
"Itulah aku Mel. Agak menjijikkan dan menyebalkan yaa?"
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Tuan Azka. Aku hanya diam di tempatku dan tak mengeluarkan satu patah kata pun.
"Haha, aku memang pria yang miris. Memalukan dan menjijikkan di mata para wanita. Bahkan istriku tak mau kusentuh dia malah meminta aku menyentuh wanita lain. Seburuk itukah aku Mel?" kekehan yang terdengar getir keluar dari mulut Tuan Azka.
"Jangan bilang begitu Tuan. Semuanya paati ada jalannya. Ada cara mengatasinya."
"Enak kalau bicara Mel. Kalau di lakukan gak semudah itu" Tuan Azka menyingkirkan mangkuk kosongnya.
"Iyaa, coba dulu Tuan. Tuan sudah coba pengobatan?"
"Udah. Katanya aku sendiri yang harus cari caranya. Karena semuanya berasal dari aku"
"Jadi semuanya harus bermula dari Tuan yaa?"
"Hhhmmm"
Aku hanya bisa menjentikan jariku di atas meja makan, sedangkan Tuan Azka malah melirikku.
"Melda"
"Ya?"
"Bisakah? Tiap malam, temani aku"
"Te-temani Tuan? Tiap malam? Maksud Tuan Apa?" Aku langsung bangkit dari tempat dudukku.
"Melda, Melda dengarkan aku dulu. Aku, aku janji gak akan ngapa ngapain kok, aku cuma minta di temani begini, teman cerita, teman curhat dan setidaknya ada yang temani aku." Tuan Azka juga bangkit Dari tempat duduknya dan menahanku.
"Tapi, Melda takut Tuan" alasan utamaku.
"Takut? Takut apa? Lisa aja percayakan aku sama kamu, minta kamu selalu ada untuk aku, kamu takut siapa?" Tuan Azka menatapku heran.
"Aku takut orang luar Tuan. Nanti apa kata mereka kalau tau kita ..." ucapanku menggantung agar Tuan Azka berpikir sendiri.
"Untuk apa mereka peduli rumah kita? Gak perlulah kita cerita apa yang kita lakukan, dan untuk apa mereka ngintip rumah kita. Aku cuma minta di temani Mel" Rengek Tuan Azka lagi.
"Siapa tau, aku bisa sembuh setelah ada yang menemani aku di setiap malam, Lisa istriku sendiri sudah jarang bicara dengan aku. Aku cuma sendiri setiap saat. Bulan ini aja aku punya kamu untuk berbagi Mel"
Aku termenung menatap Tuan Azka, wajahnya terlihat sedih dan meratapi nasibnya yang dirinya sendiri tak menginginkannya. Aku tak bisa menyalahkannya karena Tuan Azka murni tak bersalah. Dan wajah sedihnya itu begitu mempengaruhiku.
"Okelah Tuan, aku akan temani kamu di malam malam selanjutnya. Tapi, jangan sampe ngapa ngapain yaa Tuan. Melda takut." Pintaku lagi.
"Tentu Mel. Aku akan usahakan. Kalau aku mau kambuh, kamu harus cepat cepat pergi Mel. Jangan ada di sampingku"
"Lalu kalau Tuan kambuh dan gak ada yang jaga atau anu Tuan. Gimana? Apa yang akan terjadi sama Tuan?"
"Paling aku gak sadarkan diri." Cicit Tuan Azka.
Hei apa apaan pria ini. Aku menggelengkan kepalaku, aku berpamitan untuk membersihkan mangkuk yang di gunakan Tuan Azka tadi.
Kulihat Tuan Azka masih menungguiku dan menatap punggungku tanpa henti. Apa yang ada di pikirannya saat menatapku tanpa henti?
Selesai bersih bersih dan dapur kutinggal dengan bersih, aku mengikuti langkah Tuan Azka. Kami ke kamarnya, ia mengenalkanku apa yang sedang ia kerjakan dan menjelaskan cara kerjanya.
Mendengarkan penjelasan Tuan Azka tentang Pekerjaannya membuatku menganga.
Semudah itu tapi mendapat pendapatan dolar pula. Waahh aku kagum.
Tak terasa hari semakin larut, aku tertidur di meja kerja Tuan Azka. Aku benar benar serius hanya menemaninya.
Pukul 6 pagi hari, aku membuka mataku. Kulihat kamar yang luas, lampu yang masih padam tapi dari sela sela jendela sudah terlihat cahaya dari mentari.
"Aah sudah pagi" Aku bangkit dari baringku.
Aku mengucek mataku, lalu membukanya lebar. Astaga! Aku tidur di atas ranjang Tuan Azka. Dan Pria itu juga ada di ranjang ini. Ia masih meringkuk di dalam selimut yang sama membalut tubuhku.
Aku secepat kilat membuka selimut dan mengecek keadaan tubuhku. Oh semuanya utuh, baju, celana, dalaman, semuanya masih aku kenakan dengan rapi.
Apa Tuan Azka yang memindahkanku ke ranjang ini? Dan dia juga tidur di sini? Dia tak melakukan apapun padaku? Ooohhhh beruntungnya aku.
Atau dia memang sedang tak kambuh?
Jadi dia benar benar meminta untuk di temani saja? Astaga banyaknya pertanyaanku.
###
