Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jomlo 6

“Eh, Neng Hasmi. Baru pulang ngevet, ya?”

Aku langsung mendengkus kesal, saat baru saja keluar rumah sakit pagi itu, tak sengaja bertemu dengan Bang Elang yang sepertinya sedang ada tugas di sana.

Entah itu ada kasus baru, atau mengambil hasil visum salah satu korban kasus yang tengah dia selidiki. Pokoknya, pria itu berhasil membuat aku jengkel dengan sapaanya barusan.

Mentang-mentang semalam adalah malam Jumat, seenaknya aja dia ngira aku baru pulang ngevet. Aku, kan, baru pulang mandi kembang tujuh sumur—eh, pulang shift malam.

“Gak ada sapaan lebih manusiawi apa, Bang? Segala Babi ngevet lo bawa-bawa. Nyindir diri sendiri atau gimana?” Aku membalas dengan kesal.

Bang Elang tergelak renyah di tempatnya, seraya menepuk kepalaku.

“Mana ada Abang abis ngevet. Orang kayak Abang pastinya abis sunah rosul, dong. Emang situ, jomlo! Ops! Lupa kalau udah punya Aa’ Alan.”

Aku tahu dia sedang menyindir, makanya aku pun dengan senang hati menendang tulang keringnya, membuat dia langsung mengaduh kesakitan.

“Makanya jangan sembarangan nyebar gosip! Hasmi Viral, putus kontak kita.” Aku memperingatkannya asal.

Bang Elang pun mencebik peringatanku barusan. “Viral apa? Orang suruh bikin BAP aja di larang kok sama si Aa’. Posesif banget, sih, punya cowok.”

“Ck, Abang, ih! Udah dibilang jangan nyebar gosip sembarangan. Kalau ada yang denger berabe tahu.”

“Loh, emang kamu gak jadian sama Pak Pengacara itu?” Mode kepo Bang Elang pun terbit.

“Gak!”

“Gak? Atau belum?”

Maunya, sih, aku jawab belum. Saat mengingat momen ‘tembus’ yang masih menjadi momok antara kami. Aku pun terpaksa menjawab, “Gak, Abang! Hasmi tuh gak ada hubungan apa pun sama Aa’ Alan.”

“Hih! Bilangnya nggak, tapi panggilannya manis bener! Cemburu Abang.”

Seketika aku pun memutar bola mataku dengan bosan , karena sebal menghadapi polisi playboy ini.

“Karep’e Abang aja, lah. Hasmi mau pulang!”

Baru saja aku mau melangkah, lenganku sudah dicekal polisi playboy itu, tapi langsung aku hela dengan cepat.

“Tangan tolong dikondisikan!” sentakku dengan galak.

Bang Elang hanya nyengir menyebalkan, sebelum menangkup kedua tangannya di dada tanda minta maaf.

“Beneran kamu gak jadian sama Pak Pengacara?” Ternyata dia masih kepo.

“Enggak!”

“Kenapa? Padahal kalian cocok, loh!”

Mendengkus sekali lagi, aku pun melirik Bang Elang sok serius.

“Justru karena kami cocok makanya gak pacaran.”

“Loh, kok, gitu?” Dia makin kepo.

“Iya, soalnya kami kayaknya mau langsung nikah aja. Puas, Bang! Jangan lupa kondangan, ye!”

Setelahnya, aku pun berlalu pergi, mengabaikan Bang Elang yang terus memanggil entah untuk apa lagi.

Terserah deh dia mau menganggap ucapanku barusan itu apa? Serius atau becanda. Bukan urusanku. Toh, dia udah nyangka kami jadian ya, kan? Dijelasin juga akan percuma kalau dia udah punya tanggapan sendiri.

Tring!

Sedang melenggang riang ke arah kontrakan. Sebuah notifikasi masuk ke ponselku, yang langsung menerbitkan senyum manis di wajahku.

Irfan :

Kangen, nih! Jalan, yuk!

Pengirimnya tentu saja Irfan. Cowok yang sedang dekat denganku saat ini. Aku udah pernah cerita, kan, di bab sebelumnya.

Hasmi :

Sore aja, ya? Aku baru pulang kerja. Ngantuk banget. Mau tidur dulu.

Aku rasa tidak ada alasan untuk menolaknya. Toh, kami memang lagi PDKT, kan? Jadi, sering bertemu tentu bagus untuk perkembangan hubungan kami. Betul, tidak?

Irfan :

Okeh! Aku jemput, ya?

Irfan mengirim chat lagi tak lama kemudian.

Hasmi :

Gak usah. Kita ketemuan di tempat aja

Irfan :

Yah ... padahal aku pengen berduaan loh sama kamu

Dengkusan kecil pun terbit, seraya membaca balasan cepat yang aku terima.

Hasmi :

Belum boleh, kan? Bukan Mahram. Temuin Abah dulu kalau berani.

Aku sengaja menantangnya. Ingin tahu seberapa jauh dia serius sama aku.

Irfan :

Okeh! Nanti setelah proyek yang aku pegang kelar, ya?

Senyumku pun melebar sempurna, karena jawaban Irfan seperti yang aku harapkan. Tuhan ... semoga kali ini aku gak salah pilih.

Hasmi :

Aku tunggu itikad baik kamu

Uhuy! Boleh kayang gak, sih?

***

Seperti rencana diawal. Sore harinya, aku pun ketemuan sama Irfan, disalah satu mall di bilangan Casablanka.

Kenapa aku pilih ketemuan di mall? Karena aku cukup trauma ketemuan sama cowok di tempat minim orang.

Dulu waktu sama Edo, aku biasa pacaran dan jalan-jalan di taman atau tempat minim keramaian. Soalnya, dulu aku kira Edo itu introvert. Eh, ternyata aslinya iblis.

Itulah kenapa, aku sekarang suka keramaian. Biar kalau ada yang macem-macem gampang minta tolongnya, gitu, loh! Toh, kebetulan aku juga belum belanja bulanan. Jadi ya ... sekalian aja.

“Fan, aku ke toilet dulu, ya? Kamu tolong cariin barang-barang di-list ini.”

Sebenarnya aku bukan ingin mengerjai Irfan, tapi asli, deh! Perutku mendadak tidak enak. Jadi, daripada aku buang gas terus di depan Irfan. Mending aku melipir bentar untuk setoran tunai di toilet.

Bukan apa-apa. Jujur aja ketutku pasti tidak asik. Baunya bisa membuat orang gumoh, bahkan pingsan. Soalnya aku habis makan jengkol sama telur balado.

Please, jangan dibayangin. Nanti kalian tidak mau makan lagi. Hehehe ....

“Oh, ya, udah. Nanti telpon aja kalau udah selesai,” titah Irfan, yang tentu saja aku angguki dengan semangat.

Untung Irfan baik, yee, kan? Jadinya aku bisa melenggang riang ke toilet dengan hati tenang dan semedi agak lama di sana. Itu juga menambah poin plus dariku untuknya.

Duh, Abah! Hasmi mau ngelepas jomlo, nih! Siapin penghulu.

Sekitar lima belas menit aku semedi di toilet, akhirnya perutku membaik, dan bisa kembali ke tempat Irfan yang katanya sedang berada di rak Mie instan.

Mon maap, nih, ya? Aku sama makanan itu memang gak akan bisa di jauhkan sampai kapanpun. Jadi, ojok banyak bacot. Okeh!

“Nah, itu dia!” Saat aku melihat keberadaan Irfan, aku pun bergegas menghampirinya, yang ternyata tengah asik mengobrol dengan seseorang.

Siapa, ya?

“Fan?” Aku meminta fokus pria itu.

“Hei! Udah?” Dia menyambut riang kehadiranku.

“Udah,” sahutku seadanya, mendekat dan melirik teman Irfan yang masih membelakangiku. Namun, jika dilihat dari postur tubuhnya, sepertinya lumayan familiar di mataku, karena postur tubuhnya mirip ....

Degh!

Astaga! Itu, sih, bukan mirip lagi, tapi memang dia!

“Nah, ini dia yang gue ceritain tadi, Bro. Kenalin dulu, dong, ini … Hasmi. Calon gue yang baru!” Irfan mengenalkanku pada temannya seraya merangkul pinggangku.

Sayangnya, otakku terlalu blank untuk mencerna semuanya karena ....

“Oh, Hai! Kenalkan, saya Alansyah,” ucap pria itu ramah dan seram di waktu bersamaan. Membuat aku tanpa sadar menelan salivaku sendiri.

Mampus!

Kenapa dunia sesempit ini, sih, buat kami?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel