Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jomlo 7

Aku udah gak ngerti lagi dengan situasi yang tengah terjadi sekarang. Ternyata Irfan temannya SMA-nya Alan. Demi apa? Tuhan ... sejodoh itu, ya, aku sama ini manusia lempeng. Kayaknya gak bisa jauh-jauh sama tuh makhluk dingin yang ingin sekali aku taruh di tungku.

Biar anget dikit gitu, gengs. Soalnya, Alan, tuh, dinginnya udah mengkhawatirkan banget. Apalagi, setelah dikenalkan tadi oleh Irfan. Tatapannya itu, loh! Bikin aku pengen pipis mulu.

Lebih menyebalkannya lagi. Tuh, cowok seperti gak ada kerjaan hari ini. Ngikutin kami terus dari tadi. Bahkan saat Irfan mengajaknya gabung makan siang bersama. Dia setuju aja gitu, tanpa ngerasa dosa sama sekali.

Ya ... Ampun, nih, cowok beneran gak ada kerjaan, ya hari ini? Atau emang mau nyambi jadi nyamuk? Nyebelin banget, sumpah!

“Kenapa melihat saya seperti itu? Tidak suka saya gangguin kencan kalian?”

Udah tahu tanya! Kalau emang dia sepeka itu, kenapa gak minggat aja, sih. Milih jadi nyamuk. Eh, atau setan. Kan, kalau cewek dan cowok berduaan, orang ketiganya setan. Bener gak?

“Gak, kok. Cuma heran aja. Tumben banget A—eh, Bapak bisa keliaran kayak gini. Biasanya, kan, Bapak sibuk terus.” Meski begitu, mana bisa aku jujur. Bagaimana sejak aksi heroiknya malam itu, aku udah gak bisa memandangnya seperti dulu.

Katakanlah aku sangat merasa hutang budi padanya. Makanya, aku lumayan segan pada pria yang saat ini tengah memakai kemeja polos dongker, dengan lengan panjang yang digulung sampai sikut.

“Lagipula, siapa bilang saya sama Irfan sedang berkencan? Gak, tuh. Kami hanya jalan biasa.” Entah kenapa, aku malah menambahkan pernyataan itu.

Alan menaikan alisnya satu, seraya menatapku dengan datar. “Kalian gak pacaran?” selidiknya.

“Kayaknya saya gak punya kewajiban apa pun buat jelasin sama situ.” Akhirnya, aku pun memilih menegaskan tetang batasan yang ada. Agar Alan tidak makin kepo.

Mengangguk paham sejenak, Alan pun kembali menatapku yang kini tengah pura-pura memainkan makanan di piring. Sengaja, biar gak harus balas menatapnya. Soalnya aku masih canggung sama dia.

“Di mana kamu kenal Irfan?” Kukira, dia mengerti batasan yanzg aku rentangkan. Ternyata, manusia keturunan tembok itu masih penasaran.

“Di pom bensin. Pas saya lupa bawa dompet buat beli bensin. Dia minjemin duitnya dan ... ya, akhirnya kami saling tuker nomor dan berakhir seperti sekarang. “

Gilanya. Kenapa pula aku jawab, ya? Plus detail kejadian lagi. Kan, aku ngerasa kek bego banget sekarang. Kenapa aku seperti takut Alan salah paham, akan hubunganku dan Irfan yang belum jelas, ya? What’s wrong with me?

“Tapi dia bilang kamu calonnya, loh. Berarti hubungan kalian sudah lumayan intim, ya?” Alan makin menuntut.

“Terserah dia mau bilang apa. Selama dia gak berani ketemu Abah, bagi saya gak ada yang spesial.”

“Tapi—”

“Serius deh, Pak. Ini Bapak beneran dari tadi ngintilin kami cuma buat ngepoin saya, ya? Bapak beneran segabut itu, ya? Beneran gak sibuk?” Daripada makin merasa begok. Aku pun sekali lagi merentangkan sebuah batasan padanya.

Alan pun menghela napas panjang, sebelum menyandarkan punggungnya dengan nyaman di sandaran kursi, “Saya sebenarnya sibuk.”

“Oh, ya? Terus kok bisa ngayap santuy kek gini?” Aku tidak gampang percaya. Bertanya seraya melirik arah toilet restoran ini, di mana tadi Irfan ijin pergi ke sana. Itulah kenapa, aku bisa bicara santai dengan Alan, dan tidak harus berpura-pura tak kenal seperti drama yang Alan mulai.

Catet, ya. Drama yang Alan mulai. Karena memang dari awal dia yang sudah pura-pura gak kenal aku. Jadinya, ya ... aku, sih, ngikut aja.

“Karena hanya dengan cara seperti ini kamu gak menghindari saya.”

Eh?

“Menghindari?” beoku refleks.

“Tidak usah berkilah. Kamu kira, saya gak tahu kamu dua minggu ini menghindari saya. Saya tahu, Suster. Jangan remehkan kepekaan saya.”

Wah, ternyata dia tahu! Hebat juga, ya?

“Apaan, dah? Saya beneran gak ngerti, kok. Lagian siapa juga yang menghindar dari situ? Emang situ siapa, ya, harus saya hindari? Sejenis virus, kah?” balasku mencoba sesantai mungkin menanggapi tuduhan dan tatapan tajam dari Alan.

Padahal aslinya. Aku gugup parah. Bahkan demi membuat aksiku terlihat Natural. Aku pun pura-pura mengaduk minumanku dan meminumnya dengan santai.

“Entahlah. Mungkin karena waktu itu saya bilang Anda tembus.”

Uhuk! uhuk!

Sialan!

Karena kaget dengan jawaban Alan. Aku pun langsung terbatuk akibat tersedak minumanku sendiri. Asli! Sakit banget hidung dan tenggorokanku.

Mana yang aku minum ini mengandung soda, lagi. Kan, perih jadinya, cuy!

Asem banget emang, nih, pengacara sebiji!

Bener-bener minta di mutilasi, ya?

Mulutnya itu, loh. Bocor banget, sih!

“Gak usah bahas itu lagi bisa, gak?” Aku pun akhirnya mengeram kesal dengan muka merah menahan malu atas bahasan yang Alan bawa itu.

Katanya peka, tapi kok gak ngerti banget kalau aku gak mau bahas hal itu lagi.

Bukannya prihatin atau ngerti. Tuh, pengacara muka datar, hanya menaikan bahu acuh sambil bilang, “Berarti benar itu masalahnya.”

Aku pun memilih membungkam mulutku, agar tak terpancing untuk menyumpahi nih pengacara mulut bon cabe.

Namun, tetap saja, mood-ku terlanjur anjlok dibuatnya.

“Maaf,” katanya kemudian.

Eh?

“Walaupun saya gak tau ada makna apa di balik kata itu, yang bikin kamu kesal dan marah sama saya. Tapi ... jika memang kata itu yang bikin kamu menghindari saya. Maka saya ingin minta maaf sama kamu,” sambungnya lagi, dengan poker face-nya seperti biasa.

Sementara aku? Malah mengerjap tak percaya mendengar dia minta maaf seperti itu.

Ini dia serius?

Gak lagi nge-prank atau apa gitu?

Soalnya setau aku, kan. Cowok ini gak pernah, tuh, ngucapin kata maaf selama ini.

Bahkan dulu, waktu insident ceu Elin pun. Kayanya dia gak minta maaf, tuh, udah cium keningku seenak jidatnya.

Kok sekarang ....

“So ... kamu mau, kan, maafin saya?” Lanjutnya sambil menuntut jawaban

Eh?

Maafin?

Kasih gak, ya?

Nanti kalo aku kasih maaf, dia bakal balik nyebelin gak, ya? Atau mending jangan maafin aja. Biar dia gak banyak tingkah lagi gitu. Tapi ....

“Sorry, ya, lama.” Belum sempat aku memberi jawaban. Irfan ternyata keburu datang, dan menginterupsi kami.

“Ah, gak papa, kok. Sans aja, lah,” jawabku santai sambil tersenyum manis.

Sementara Alan, tak berkomentar. Juga tak bereaksi apa pun. Kembali datar seperti biasanya.

Huh! Nih, cowok kayanya emang gak bisa basa basi, deh?

“Oh, ya? Tadi lagi ngomongin apaan? Kayanya seru aku lihat dari jauh. Kalian ... gak ngomongin aku, kan?” Irfan mencoba berkelakar, diakhiri kekehan renyah di tempat duduknya.

Garing, sih, sebenernya. Tapi sebisa mungkin aku tertawa aja menanggapi kelakarnya yang gak banget itu.

Ini namanya menghargai orang lain, pemirsa.

“Dih! Emang situ siapa mau di omongin? Artes bukan, Pejabat juga bukan. Gak penting tau,” timpalku, sebisa mungkin mengimbangi candaannya.

“Loh, aku, kan, calon imam kamu. Insya Allah,” jawab Irfan lagi dengan percaya diri.

Anehnya aku, kok, gak baper, ya, di modusin dia gitu? Lebih dari itu, Entah kenapa? Aku malah reflek melirik Alan saat itu juga.

Tetapi emang dasar manusia lempeng. Dia mah anteng-anteng aja di tempatnya. Sambil memakan makanannya dengan lahap. Seperti tak terpengaruh apa pun dengan obrolanku dan Irfan.

Kok, aku kesel, ya, liatnya?

“Gak usah sesumbar, kalau ketemu Abah aja beluman.” Akhirnya seperti Alan yang mengabaikan aku. Aku pun mengabaikan pria itu.

Emang situ doang yang bisa sok cuek. Akikah juga bisa ya, Cyiiin!

“Ada masanya, Sayang. Nanti juga aku bakal temuin Abah kamu, kok. Aku bakal minta kamu secara resmi pada beliau. Dan, ya ... nanti kita nikah secepatnya,” jawab Irfan meyakinkan. Dengan senyum menawannya seperti biasa. Membuat aku mau tak mau merona di buatnya.

Kan, tetap aja gak ada deg-degan yang gimanaaa gitu?

Pokoknya beda banget sama malam itu, di waktu, nih, pengacara ….

Haish! Ngapa jadi ingat-ingat momen itu lagi, sih. Kan, ini aku lagi PDKT ceritanya sama Irfan. Kenapa aku malah mikirin Alan?

Sekali lagi aku reflek melirik Alan, tapi seperti halnya tadi. Dia tetap acuh dengan makanannya.

Seenak itu, kah, makanannya? Hingga dia mengindahkanku dan Irfan di sini. Sumpah, ya! Aku kok jadi kesel banget ya, liat keacuhannya itu?

“Hahaha ... bisa aja kamu. Pinter banget, sih, jawabnya. Aku jadi terharu. Sumpah, deh! Nyontek di buku mana, sih?” jawabku pura-pura tak terpengaruh dengan gombalan Irfan. Juga dengan keacuhan Alan.

Irfan pun langsung tergelak mendengar jawabku barusan.

“Kamu ini, ya. Emang pinter banget ngerusak momen. Padahal tadi aku udah dari hati banget loh, ngomongnya. Aku serius tau. Kenapa, sih, kamu gak bisa percaya sedikit pun sama aku?” kata Irfan lagi, masih dengan senyum menawannya.

“Iya, iya, aku percaya, deh. Biar kamu seneng.” balasku pura-pura termakan umpannya.

“Ya, udah. Kalo gitu ayo dong, kita pacaran,” tembak Irfan langsung.

“Nope!” balasku cepat, sambil menggeleng tak setuju.

“Ck, kenapa lagi, sih, Mi? Kan, katanya kamu udah percaya sama aku? Masa gak mau juga aku ajak pacaran. Padahal kita udah lumayan lama, loh, penjajakan kaya gini,” keluh Irfan, mulai terlihat kesal, yang hanya kutanggapi dengan gendikan bahu tak acuh saja.

“Aku capek pacaran, Fan. Kapok tepatnya. Jadi, kalo kamu emang beneran serius sama aku. Langsung ketemu Abah aja, deh. Nanti pacarannya biar abis ijab qobul aja,” jawabku enteng. Membuat Irfan mendengkus kesal setelahnya.

Lah, emang aku salah ngomong, ya?

Padahal Aku ngomong jujur, kok. Bahkan sudah berkali-kali aku deklarasikan ke hadapannya.

Dia gak denger apa gimana, sih?

Irfan baru aja mau membuka mulutnya lagi, tapi langsung terhenti ketika sebuah seruan kecil menginterupsinya.

“Daddy ....”

Tak lama dari seruan itu. Seorang gadis cilik pun terlihat berlari ke arah Irfan dan melompat kepelukannya dengan riang sambil mencium pipi Irfan dengan durasi yang lama.

Degh!

Daddy?

Tunggu! Ini maksudnya apa?

“Loh, Sayang. Kok, kamu ada di sini, sih? Aku kira kamu masih di kantor, loh.”

Tak berselang lama dari kehadiran gadis kecil tadi. Seorang wanita cantik yang berpenampilan elegant pun menyusul dan langsung mencium pipi Irfan mesra sekali. Membuat aku langsung melotot horor di tempatku.

Drama macam apa ini?

Jadi ... dia suami orang!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel