Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jomlo 5

Tembus

Satu kata yang dikatakan Alan malam itu, sukses bikin aku megap-megap bak ikan koi kekurangan air.

Sumpah demi apa pun. Malam itu rasanya aku pengen pinjem helm sama siapa aja yang udah denger kata itu. Sayangnya, gak ada yang lewat bawa helm, jadinya gak ada yang bisa nyelametin mukaku.

Namun, yang paling menyebalkan Alan justru mengucapkannya dengan wajah datar tanpa ekspresi apa pun. Membuat aku malah menebak-nebak isi pikirannya saat itu.

Apa kasian?

Apa lucu?

Atau malah pengen nge-bully?

Apa pun itu, pokoknya aku tengsin abis!

Makanya, setelah kejadian malam itu. Aku sebisa mungkin menghindari Alan, jika melihatnya di rumah sakit, saat sedang mengunjungi Dokter Karina.

Pokoknya, aku belum siap, deh, ketemu dia lagi. Masih tengsin banget, Mbak Bro!

“Mi, kamu beneran gak mau saya titipin laporan ini buat Alan. Biasanya, kan, kamu paling getol sama tugas ini.” Dokter Karina mulai kepo denganku.

Itu memang benar. Biasanya aku memang dengan senang hati menerima tugas itu, dan menjadikannya media untuk menggoda dan bisa berdebat dengannya. Namun, untuk sekarang ... nggak dulu, deh. Aku masih belum kuat iman menghadapi si jalan tol lagi.

“Nggak dulu, Dok. Saya lagi males berdebat sama pengacara lempeng itu.” Sebisa mungkin aku beralasan.

“Kenapa, sih? Tumben banget. Mulai baper ya kamu sama Alan. Cie ... yang bentar lagi jadian.”

Sudah jadi rahasia umum memang, kalau dokter somplak ini masih sangat getol jadi mak comblang kami. Seandainya gak ada kata ‘tembus’ antara kami malam itu. Mungkin aku akan mulai mengaminkan godaannya.

Jujur saja, aku sepertinya mulai baper sama pria ketus itu. Gara-gara aksinya malam itu, aku jadi rada gimanaaa … gitu.

Sayang kata ‘tembus’ mengacaukan segalanya.

“Gak ada saya baper sama Pak Alan, ya? Justru sekarang saya, tuh, lagi deket sama cowok, Dok. Makanya gak minat lagi godain Pak Alan.”

Aku gak sepenuhnya bohong, kok. Karena kenyataannya, ada seorang pria yang beberapa bulan ini mulai mendekatiku. Belum pacaran, baru deket aja. Sepertinya pria itu serius sama aku.

“Oh, ya? Siapa?” Mode kepo Dokter Karina pun seketika menyala.

“Adalah, Dok. Nanti saya kenalin kalau udah deal sama Abah.” Aku menyahut jumawa.

“Udah sampai ketemu Abah?” Dokter Karina makin kepo.

“Belum, sih. Tapi ... udah ada omongan. Doain aja, ya, Dok. Pokoknya, sustermu yang cantik ini pasti akan segera lepas lajang. Maklum, hayati sudah lelah kalah saing sama truk gandeng.”

Dokter Karina seketika tergelak renyah, entah menertawakan apa? Jelas bukan aku. Kan, aku lagi gak ngelawak. Aku mah jujur, kali.

“Iya, deh. Saya doain kamu cepat lepas lajang. Kalau bisa nanti malam langsung ganti status di KTP,” sahut Dokter Karina di sela tawanya.

“Lah, mana bisa, Dok! Saya, kan, lembur hari ini. Besok aja gimana?” tawarku tak kalah gila, membuat tawa Dokter Karina makin membahana.

“Jangan besok. Saya cuti sehari.”

“Gitu, ya? Ya, udahlah, lusa aja. Gimana?”

“Boleh, deh. Kebetulan lusa udah masuk weekend juga. Jadi pasti yang kondangan banyak.”

“Betul juga. Fix! Lusa saya lepas lajang!”

“Sip! Tos dulu.”

Lalu, kami pun bertos ria dengan semangat, sebelum tergelak bersama menertawakan kekonyolan kami. Begini, lah, Aku jika sudah bersama Dokter Karina. Gak pernah ada istilah atasan dan bawahan. Karena jika sudah ngobrol soal hal konyol, pasti satu server. Makanya pertemanan kami awet.

“Nina?” Sedang asik tertawa bersama. Tiba-tiba panggilan itu terdengar dari ambang pintu ruangan Dokter karina.

Sebenarnya, tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara itu, dan ditujukan pada siapa panggilan itu. Karena panggilan itu adalah panggilan kesayangan si Daddy untuk Dokter Karina. Namun, karena refleks kepalaku pun ikut berputar ke ambang pintu, saat panggilan itu terdengar barusan. Dan ....

Degh!

“Eh, Juna? Kamu udah datang. Loh, bareng Alan juga?” sambut Dokter Karina dengan riang.

Namanya juga jodoh. Eh, maksudnya kerja pada orang yang sama, yaitu Dokter karina. Jadinya, kejadian seperti ini memang tidak bisa diprediksi sama sekali.

Ibarat pepatah, nih. Sepandai-pandainya tupai meloncat, pasti ada masanya buat jatuh juga. Seperti itulah pertemuanku kali ini dengan manusia lempeng ini.

Padahal dua minggu ini aku udah kayak maling rumah sakit kalau lihat atau tahu dia akan datang. Melipir terus agar tidak papasan. Eh, tetep aja ketemu di sini. Nasib banget, ya? Terus ini aku harus gimana? Asli! aku belum siap ketemu dia!

“Kebetulan Alan sedang di kantor dan saya dengan ada urusan juga ke sini. Jadi, ya, sekalian saja saya ajak bareng.” Pak Arjuna menjelaskan dengan tenang.

“Oh, gitu. Ya udah, duduk dulu. Biar aku siap-siap bentar. Mi, tolong kamu berikan, ya ….”

“Devi?”

Sebelum Dokter Karina mengutarakan titahnya yang sudah bisa aku tebak, aku pun segera menyela dengan memanggil Devi yang kebetulan lewat ruangan Dokter Karina.

“Iya?”

“Dokter Vadya udah pulang belum dari UGD?”

“Belum. Lagi over handle dengan saya dan Dokter Jelita tadi.”

“Wah! Selamat gue!” Aku mengelus dada dengan dramatis. “Dok, maaf banget, nih. Bukannya saya gak mau nolongin Dokter. Tapi saya ada perlu penting sama Dokter Vadya. Makanya, saya pamit, ya, Dok. Selamat sore!”

Aku tahu ini gak sopan. Tapi, daripada aku harus menghadapi si Jalan Tol. Lebih baik aku segera pergi dari sana, mengandalkan Devi yang seperti orang linglung saat aku tarik paksa menjauh dari ruangan itu.

Maaf, Dok. Suster cantikmu gak bawa helm. Jadi masih belum siap ketemu Alan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel