Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Trio Kumbang Bertandang

Begitu bus berhenti di terminal Gumilang, aku segera turun. Rupanya Joko dan Miko tepat berada di belakangku.

"Mbar, kamu kok jalannya cepet banget sih?"

"Biar segera dapat angkot, Jok. Tahu sendiri kalau jam segini angkot penuh. Kita harus rebutan sama para pedagang. Ayuk."

"Ambar." Suara teriakan menghentikan langkah kami. Agh sial, mau tak mau aku pun berbalik dan mencoba tersenyum. Dalam hati berdoa semoga sisa perileran di wajahku sudah hilang.

"Kalian mau kemana?"

"Nyegat angkot lah Syam." Joko yang menjawab.

"Naik mobil aja, mobilnya Syafiq sih."

"Gak usah! Kita naik angkot. Ayok."

Aku menarik lengan Joko dan Miko namun sekali lagi Joko berulah.

"Ikut aja sih, lumayan irit duit. Ya kan Syam?"

"Iya."

"Lagian Syafiq gak keberatan kan kita ikut?"

"Enggak," sahut Syafiq kalem.

"Yuk ah," ajak Syam antusias.

Aku menatap Syam, Rafi dan Syafiq dengan ragu kemudian mengalihkan pandangku, ah malah gambar peta perileran yang tampak mata. Ya Allah. Semoga si empunya gak nyadar. Amin.

Terlalu lama diam, aku malah gak sadar kalau sudah diseret oleh Joko menuju mobil Syafiq bermerek Grand Lavanya.

Sekali lagi aku hanya pasrah saat menyadari Joko sengaja menempatkanku di kursi tengah bersama Syam. Joko dan Miko duduk di kursi belakang sementara Rafi dan Syafiq di depan.

Selama perjalanan, aku lebih banyak diam. Hanya sesekali menyahut saja. Sesekali kulirik kemeja lelaki itu. Sepertinya si lelaki belum sadar dan terlihat fokus. Duh, semoga dia gak nyadar ya Allah.

Kami sampai di rumah pukul delapan pagi. Kebetulan warung pecel ibu masih tutup. Anggi sendiri sudah diboyong ke rumah Aris seminggu yang lalu.

"Ayok masuk."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Bu ...."

"Iya."

Aku segera menuju ke ruang makan.

"Udah pulang Mbar? Miko mana?"

"Di depan. Bu maaf, Ambar bawa tamu  di depan."

"Hah? Tamu?"

"Iya."

"Ibu temuin dulu ya? Ambar bikin minum dulu untuk mereka."

"Oh iya."

Ibu langsung menuju ke ruang tamu sedangkan aku membuat enam cangkir teh manis untuk para kumbang dadakan yang bertandang.

Dengan hati-hati aku membawa enam cangkir teh dan beberapa camilan.

Gubrak!

Hampir saja aku menjatuhkan nampan. Aku terkejut, melihat keluarga Pakdhe Rusdi sudah berada di ruang tamu.

"Mbar, kok bengong? Minumannya itu loh. Kasihan tamu-tamunya." Budhe berkata sambil tersenyum. Sungguh lebar sekali senyumnya.

Aku segera menghidangkan minuman. Setelah selesai, aku duduk di samping kiri ibu.

Cukup lama ketiga kumbang bertandang. Entah kenapa ada keharuan menyeruak dihatiku saat keluargaku begitu akrab dengan mereka.

Tiba-tiba saja aku ingat dengan Ilo. Ilo yang pandai bergaul dan memeriahkan suasana. Dia mirip sekali dengan Syam. Ah, Ilo. Menyebut nama itu malah semakin membuat hatiku sakit.

"Permisi. Boleh numpang ke kamar kecil?"

"Oh, boleh. Ambar tolong anterin!" titah ibu lembut namun ada ketegasan disana.

"Hah? Oh, i-iya. Mari."

Aku segera berjalan ke arah kamar mandi.

"Terima kasih, sudah ditinggal saja."

"Oh, i-iya." Sekali lagi kulirik peta yang kubuat kemarin. Astaga. Jelas banget ternyata.

"Kenapa? Ada yang aneh dengan saya?"

"Hah? Owh, enggak. Kalau airnya di bak kosong. Nyalain aja."

"Iya terima kasih." Dia tersenyum. Tampan sekali. Bahkan Ilo aja kalah. Ups.

Aku memilih pergi. Selain karena kikuk, aku mulai menyadari pesona lelaki yang baru saja kuantar ke kamar mandi.

Sebelum ke ruang tamu, aku mengambil tas ransel milikku dan membawanya ke kamar. Cukup lama aku duduk. Malas kembali ke depan. Entahlah, aku bingung mau ngomong apa. Pasti habis ini semua orang bakalan menyidangku.

"Dasar Joko. Pasti ini ulahnya."

Ketukan pintu menyadarkanku kalau aku terlalu lama di kamar.

"Kok lama Mbak di kamar?"

"Habis ngeces HP Mik. Takut ada pesan penting."

"Oh. Itu Mas Syafiq, Mas Syam sama Mas Rafi mau pamitan."

"Iya. Mbak keluar."

Aku mengikuti langkah Miko, kembali ke ruang tamu.

"Kami semua pamit Pak, Bu, semuanya. Lain kali saya tunggu kedatangan Ambar, Miko dan Joko di rumahku." Syam seperti biasa sangat supel dan ramah sementara kedua temannya hanya diam. Apalagi Syafiq, kalem sekali dianya.

"Iya. Hati-hati ya Nak. Sering-sering main kesini," ucap Pakdhe sambil menepuk bahu Syam.

"Ini ibu habis panen kedelai, dibawa ya? Nanti dibagi." Ibu memberikan tiga kantong kresek berisi kacang hijau kepada Syafiq karena dia berada paling dekat dengan ibu.

"Nggih, Bu. Matur nuwun."

"Sami-sami."

Mereka bertiga pun pamit. Setelah mobil Syafiq menghilang semua orang menatapku.

"Jangan tanya Ambar, noh biang keroknya." Aku menunjuk Joko yang sedang tertawa terbahak.

"Kalau mau nyari tahu. Tanya sama si Joko, Ambar gak bakalan klarifikasi."

Aku melangkah menuju kamarku dengan santai sementara Joko sekarang tengah dicecar oleh pakdhe dan kawan-kawan.

*****

Kabar kedatangan ketiga kumbang dadakan langsung tersebar seantero kampung keesokan harinya. Dari mulai warung buka sampai buka lagi di hari berikutnya, berita Ambar, si perawan tua didatangi tiga kumbang ganteng menjadi viral.

Aku yang sudah lama terkenal dengan  berbagai julukan semakin terkenal saja. Tentu membuat beberapa orang yang sayang padaku senang tetapi semakin membuat pada kaum nyinyir meradang. Ini contohnya.

"Mbar."

"Eh, Bu Sarni. Mau pesen apa Bu?"

"Enggak."

"Owh."

"Mbar. Katanya tiga hari yang lalu ada tiga lelaki ganteng main kesini?"

"Owh. Mereka teman Ambar."

"Oh ya? Kenalan dimana?"

"Pas muncak ke Merbabu kemarin Bu."

"Kamu muncak? Kamu perempuan loh Mbar. Kalau Linda gak pernah kayak kamu. Linda itu anak rumahan. Hati-hati kamu. Diapa-apain baru tahu rasa nanti. Pasti tuh bukan lelaki bener. Orang kamu ketemunya di gunung? Biasanya cowok seneng muncak itu dandanannya kayak gitu. Amburadul."

"Gak semua Bu."

"Halah. Tuh si Wisnu contohnya."

Aku memilih mendengarkan. Masa bodolah sama tetangga satu ini. Aku malah fokus menggoreng mendoan dan tahu isi serta meracik pecel bagi para pembeli.

"Oh gitu ya Bu Sarni. Tuh, Mbar dengerin Bu Sarni. Jangan mau sama lelaki yang suka manjat gunung." Rupanya Bu Atun, mulai terpengaruh omongan Bu Sarni.

"Nah itu, dengerin Mbar."

"Iya Bu," sahutku dengan ramah dan suara yang kupaksakan selembut mungkin.

"Harus. Lagian kamu itu ngeyel. Udahlah sama lelaki sini aja yang duda apa bujang tua. Gak usah neko-neko. Cuma mantan b*bu gak usah ngayal jadi Cinderella. Kamu tuh beda sama Linda. Kalau Linda itu udah mondok, kuliah makanya jodohnya ganteng, kerjaan bagus lagi."

Aku memilih diam dan menggoreng mendoan. Untung suasana di sekitar kompor panas, jadi bara emosiku sudah menguap dari tadi.

Bu Sarni masih sibuk menggurui dan menyinyiri hidupku. Beliau sama sekali tak membeli. Sibuk ngomong sama pembeli yang sebagian besar memilih tak menanggapi kecuali Bu Atun yang sama-sama suka ghibah.

"Mbak Ambar."

"Ya Mik, ada apa?" Aku menoleh ke arah Miko.

"Mas Syam sama Mas Rafi datang."

"Hah?" Aku melongo, Bu Sarni memasang wajah kepo.

"Temuin sana! Biar ibu yang jaga warung."

"Hah? I-iya Bu."

Aku segera keluar dari warung. Saat mencapai halaman depan aku terkejut. Astaga beneran dia datang lagi rupanya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel