8. Membuat Peta
"Jadi muncaknya?"
"Jadilah Mbar, aku udah siapin semuanya. Sabtu pagi kita berangkat."
"Oke."
Sabtu pagi, aku, Joko dan Miko menuju ke Boyolali. Kami akan mendaki gunung Merbabu melalui jalur Selo.
"Ckckck. Beneran mantan Pradani SMANSA ini."
"Kamu juga, mantan si Bolang. Hahaha."
"Ya ampun. Gak kece banget julukannya. Tapi iya sih. Hahaha."
"Capek Mik?"
"Enggak Mbak. Kan Miko udah biasa naik gunung."
Aku menepuk bahu adikku. Aku sungguh bangga padanya.
"Mbak Ambar lihat?"
"Sabana?"
Kami segera mengambil beberapa foto di padang sabana. Berbagai pose dari biasa, lebay, alay dan jablay.
"Ayok semangat. Kita hampir sampai di pos perkemahan."
Kami membangun dua tenda. Setelahnya mulai memasak dengan menggunakan kompor portabel.
Sesekali bercanda dan tertawa sambil menikmati secangkir kopi dengan sosis panggang yang lezat.
"Ambar."
Aku menoleh ke sumber suara. Dahiku mengernyit.
"Syam. Ingat kan? Temannya Dika."
"Oh."
"Kamu muncak sama siapa?"
"Kenalin, Joko kakak sepupu Ambar dan ini Jatmiko adik kandung Ambar."
Joko langsung menjabat tangan Syam dengan antusias. Terlalu antusias malah. Belum lagi tatapan matanya yang jahil selalu ke arahku.
"Oh, kenalkan Ahmad Hisyam, kalau ini teman-temanku. Syafiq dan Rafi."
Kedua lelaki itu menjabat tangan Miko dan Joko, namun menangkupkan tangan kepadaku. Aku membalas dengan menangkupkan tangan dan tersenyum ramah.
Entah bagaimana ceritanya kami menjadi akrab dan mereka memasang tenda dekat dengan kami.
"Udah malem, aku tidur duluan ya?" pamitku.
"Iya."
Aku segera masuk ke tenda. Aslinya aku masih ingin begadang. Tapi kehadiran tiga orang asing membuatku tak nyaman jadi aku memutuskan untuk bersembunyi di tenda.
Hampir satu jam aku mencoba tidur namun gagal. Hingga aku memutuskan keluar setelah yakin para lelaki sudah masuk ke tenda masing-masing.
Aku mengeratkan jaketku. Bahkan sesekali menggosok kedua tanganku untuk menghalau hawa dingin. Aku mengamati sekelilingku. Sepi. Mungkin semua orang sudah tidur.
Tatapanku tertuju pada sesosok tubuh tinggi menjulang. Sosok yang tampan dengan caranya merayu Tuhan. Gerakannya sangat mantap dan terlihat khusuk. Tanpa sadar aku memperhatikan orang itu dengan penuh antusias hingga dia mengucap salam. Aku buru-buru berpaling. Takut ketahuan curi-curi punggung orang. Bisa malu akunya.
Aku mencoba mengalihkan mataku pada taburan bintang. Cukup lama aku mengamati berbagai bentuk rasi bintang, mencoba mengingat sepertinya dulu aku pernah mempelajarinya. Dulu sekali.
"Lihat apa?"
Aku terlonjak, hampir saja terjungkal dari batu yang aku duduki.
"Eh, lihat bintang," jawabku gugup.
Ya ampun, kenapa dia malah kesini? Padahal dari tadi aku mencoba menghindarinya.
"Boleh duduk disini?"
"Oh, boleh."
Dia duduk di sebuah batu hanya berjarak dua langkah dengan tempatku duduk. Kami diam. Tak ada satupun yang memulai percakapan. Ingin sekali masuk ke tenda tapi bingung dengan alasan apa?
"Ambar."
"Ya."
"Kamu kenapa blokir nomer aku?"
Gludak! Ini orang kok to the point banget ya?
"Oh ... itu ... itu ...." Aku bingung mau jawab apa.
"Aku bisa hubungi kamu dengan nomer lain. Tapi percuma. Dengan cara yang sopan aja kamu blokir apalagi dengan cara yang kurang sopan."
Deg. Hatiku sakit. Aku merasa bersalah.
"Maaf," lirihku.
"Aku gak tahu kamu ada masalah apa sama cowok. Tapi umumnya cowok ketemu sama cewek yang menarik hati ya kita pengen kenalan dong ya? Menurutmu aku salah gak ngajak kamu kenalan?"
"Enggak," lirihku.
"Nah, makanya aku juga gak nyalahin kamu waktu blokir nomer aku. Karena sama kayak aku, kamu juga gak salah kok gak mau kenalan."
Hening.
"Tapi, kamu nyadar gak sih. Kalau takdir itu aneh. Kamu blokir aku tapi sekarang kita disini. Padahal gak janjian loh."
Aku memilih diam. Tak tahu harus bilang apa.
"Kalau aku ngajak kamu berteman boleh kan? Hanya teman. Bukankah kadang dari teman biasanya akan berlanjut pada hubungan yang lain. Jadi Ambarwati maukah kamu menjadi temanku?"
Syam mengulurkan tangannya padaku. Aku ragu, namun Syam sama sekali tak menurunkan tangannya hingga mau tak mau aku pun menjabat tangannya.
"Perkenalkan Ahmad Hisyam, tiga puluh tahun."
Aku menarik nafas lalu menghembuskan pelan.
"Ambarwati, tiga puluh tahun."
"Nah, gampang kan buat kenalan. Gak perlu takut karena aku gak gigit kok." Syam tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Aku pun mencoba ikut tersenyum.
Tangan Syam masih menjabat tanganku. Pelan-pela aku berusaha melepasnya. Berhasil.
"Fiq, dari mana?"
Aku menoleh ke arah seseorang yang dipanggil oleh Syam.
"Jalan-jalan ke sana sebentar."
"Oh iya, aku mau tidur ya? Udah malam? Kalian gak tidur?"
"Ini mau Mas, aku duluan ya?"
Aku langsung masuk ke tenda. Dalam hati mengucapkan beribu terima kasih pada Syafiq yang secara tak sengaja bisa melepaskan diriku dari Syam.
******
Esok harinya, kami berkemas. Aku memilih duduk karena Miko yang ngotot akan membongkar tenda milikku, ya sudahlah.
Sesekali aku merasa Rafi melirik ke arahku. Kenapa ya? Aku jadi risih diperhatikan terus. Karena jengah akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
"Ada yang salah sama aku?"
"Oh enggak Mbak, cuma aku kaya pernah lihat foto Mbak Ambar tapi lupa dimana?"
Aku mengernyit, sekali lagi aku mengamati Rafi. Mataku melotot.
"Ustaz Rafi?"
"Njenengan kenal saya?"
Aku mengangguk kemudian tersenyum.
"Temennya Yuyun, rumah samping masjid yang ada warungnya."
"Owalah, pantes kayak sering lihat."
Yuyun masih satu kecamatan denganku hanya beda desa. Untuk sampai ke rumah Yuyun aku harus menempuh perjalanan selama tiga puluh menit karena lokasi desa Yuyun paling pelosok.
Kami pun mengobrol, aku yang awalnya tertutup justru malah mau membuka diri pada Rafi daripada dengan Syam atau Syafiq. Dari Rafi aku jadi tahu kalau ketiganya menjadi dosen di Universitas Pembangunan Purwokerto (UPP). Mas Syafiq yang paling tua, tiga puluh dua tahun, kemudian Syam dan Rafi baru dua puluh tujuh. Dia baru menyelesaikan S3-nya dan baru menjadi dosen di UPP.
"Seru sekali ngobrolnya. Aku jadi cemburu."
"Kita cuma ngobrol Mas Syam."
"Tapi Ambar sama kamu kelihatan mudah akrab Fi, padahal sejak kemarin aku ngajak dia ngobrol aja susah."
Rafi masih berusaha menjelaskan keakraban kami karena apa sedangkan Syam masih terlihat mencerca. Aku memilih mendekati kedua saudaraku.
"Selesai belum?"
"Udah. Yuk kita turun. Oke."
Kami berenam akhirnya turun bersama-sama. Kami segera menaiki bus. Dan entah ini suatu kebetulan atau bukan, lagi-lagi arah rumah kami sama, mana satu kecamatan lagi. Astaga.
"Mik, kamu sama Mbak ya?"
"Iya Mbak."
Saat Miko hendak duduk di dekatku, Joko langsung menarik Miko agar duduk di deretan belakang bareng dia. Dan kursi sampingku langsung diisi dengan Syam.
Aku ingin marah pada Joko dan mengusir Syam. Namun yang aku lakukan hanya diam. Syam berusaha mengajakku bicara, aku pun menjawab singkat-singkat saja.
Sampai Kebumen bus berhenti. Aku turun hendak ke toilet. Setelah naik lagi aku mendapati Syam yang belum kembali. Aku bergerak ke belakang dan mencari Miko. Aha, itu jaketnya.
Aku langsung memposisikan diri menyandar ke arah kaca. Sengaja kututupi wajahku. Berharap gak ada yang menyadari itu aku.
Cukup lama aku menyembunyikan diri hingga berapa di samping ku membuatku sadar miko kembali tapi aku memilih pura-pura tidur.
Bus kembali melaju. Karena saking ngantuknya kepalaku kusandarkan di bahu Miko. Aku bahkan memeluk Miko. Hem nyaman, wah Miko ganti parfum rupanya. Aku kok gak tahu ya. Tau ah yang penting aku bisa tidur sambil nyandar.
Suara kondektur membangunkan tidur nyenyakku. Aku menoleh ke bahu Miko. Astaga. Aku bikin peta dunia perileran di jaket rupanya.
"Mik, bangun Mik."
Refleks aku melongok ke belakang. Tampang Joko awut-awutan dan sedang membangunkan Miko. Lah, itu Miko terus ini siapa?
Aku mencoba mengamati lagi partner sandaranku. Allahu robbi!
Aku segera berdiri, mengusap bekas perileran di mulut dan pipiku. Berharap si korban gak tahu kalau jaketnya aku bikin gambaran peta.
Tanpa banyak ucap aku langsung berjalan ke arah sopir, berdoa agar bus segera berhenti dan aku segera turun. Pokoknya gak boleh ada yang menyadari kalau Ambarwati baru saja melakukan hal memalukan.
Aku ingat, dulu paling gak bisa bikin peta baik lokal maupun internasional. Lah ini kenapa aku kok pinyter banget peta perileran ya? Ya Allah malunya.
