Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Patah Hati

Aku duduk dengan gelisah, sesekali melirik daun pintu yang terbuka. Sekilas terlihat Bu Sarni dan Bu Atun memandang ke arah kami.

"Kamu kenapa Mbar?"

"Oh, gak papa."

Tidak mungkin aku bilang kalau aku merasa risih dengan kedatangan mereka berdua.

Syam seperti biasa terlihat santai dan pandai mencari topik obrolan. Dia tengah mengobrol seru dengan Miko sedangkan Rafi lebih banyak menyimak. Aku sesekali menanggapi pertanyaan Syam. Selebihnya memilih diam.

Kurang lebih setengah jam Syam bertandang kemudian keduanya pamit hendak ke Purwokerto.

"Aku balik Purwokerto dulu ya Mbar. Mulai senin, perkuliahan sudah aktif lagi. Aku pulang ke rumah kalau weekend aja."

"Ngekost?"

"Iya masih ngekost. Mau gimana lagi? Kalau uangku banyak kayak Syafiq pasti aku udah punya rumah sendiri. Hahaha."

"Oh."

"Cuma oh aja?"

"Ya aku harus ngomong apa?"

"Ya semangatin gitu biar bisa segera punya rumah sendiri."

"Amin. Semoga dimudahkan."

"Amin. Aku pulang ya?"

"Iya hati-hati."

Syam dan Rafi berpamitan. Mereka menggunakan motor masing-masing. Aku menghembuskan nafas pelan.

"Mbak."

"Iya Mik."

"Mas Syam keknya penasaran sama Mbak Ambar."

"Dia cuma penasaran Mik? Gak suka gitu?"

"Mbak ngarep Mas Syam suka?" Miko menatapku dengan seringai jahil.

"Au ah."

Miko tertawa sedangkan aku memilih ke kamar. Aku malas kembali ke warung karena beberapa ibu berdaster sudah menungguku di sana.

Aku memilih rebahan sambil membuka ponsel. Banyak notifikasi dari teman-teman. Kubuka satu per satu namun nama yang kuharapkan tak juga muncul.

"Tiga bulan ini kamu kemana, Il? Kalau kamu memang gak mau serius sama aku, bisa gak sih kamu kasih kepastian? Gak masalah kok kita putus. Gak masalah juga kok kita gak nikah. Lebih baik putus dan gagal nikah daripada menjalani hubungan tanpa status."

Aku melempar ponselku ke kasur kemudian mencoba tidur. Sungguh hati ini lelah sekali.

****

Malam harinya, aku dan ibu sedang duduk di serambi belakang. Miko masih di bengkel. Alhamdulillah bengkel milik Miko cukup berkembang. Bahkan Miko kini dibantu dua temannya.

"Ambar."

"Iya Bu."

"Ilo kabarnya gimana?"

"Gak tahu Bu."

"Kalian putus?"

"Belum. Ilo ngilang begitu aja, Bu."

Ibu hanya tersenyum lalu menyeruput teh hangatnya.

"Mbar."

"Iya."

"Kalau kamu ibu jodohkan sama anak temen ibu kamu mau?"

Aku menoleh ke arah ibu.

"Teman yang mana Bu?"

"Teman sekolah ibu dulu. Sekarang dia ikut suami keduanya tinggal di Bandung. Suami pertamanya meninggal karena sakit. Padahal waktu itu anak semata wayangnya baru umur lima tahun. Dia bertahan sendirian hampir dua puluh tahun lebih. Tapi setahun yang lalu dia menikah lagi."

"Beliau kerja apa Bu?"

"Dia guru, suami pertamanya juga guru. Kalau suami sekarang katanya dosen di Bandung."

"Anaknya temen ibu kerja apa?"

"Katanya sih pengusaha mebel dan perabotan dari kayu. Menggeluti usaha itu sejak kuliah."

"Dia sarjana Bu?"

"Iya, malah katanya kuliahnya sampai S3."

"Apa pantas Ambar yang cuma lulusan SMA nikah sama sarjana? S3 lagi. Ambar minder Bu?"

"Ibu juga aslinya minder besanan sama Kinanti. Kinanti itu dari keluarga 'sugih' dan 'priyayi' sedang kita? Kamu tahu sendiri."

Hening.

"Kinanti dulu sahabat baiknya ibu. Jadi ibu paham dia itu bukan tipe orang yang melihat orang lain berdasarkan status sosial."

"Mungkin Ibu Kinanti gak gitu tapi anaknya kan gak tahu Bu?"

"Iya juga sih. Si Syafiq masih suka deketin kamu?"

"Hah? Syafiq? Syam Bu. Syafiq mah kalem."

"Oh iya. Habis namanya sama-sama 'S'."

Aku hanya tertawa dan ikut menyeruput teh.

"Mbar."

"Ya."

"Kamu suka sama Syam?"

"Gak berani Bu. Lagian cintanya Ambar masih buat Ilo."

"Kalau Syam serius bagaimana?"

"Entah Bu. Ambar cuma pengin pegang omongan dari ibu. Kita jangan sampai menyakiti cowok walau kita gak suka. Apalagi Ambar suka sama Ilo."

"Kalau begitu ibu ijinkan kamu ke Pati buat meminta kejelasan sama Ilo."

"Beneran Bu?" tanyaku dengan hati berbunga.

"Iya. Selesaikan apa yang mengganjal di hati kalian. Lalu segeralah pulang."

"Baik Bu. Terima kasih." Aku memeluk ibu. Ibu pun membalas pelukanku.

****

"Kamu gak merasa jadi cewek agresif Mbar?"

"Enggak. Toh aku cuma minta kejelasan aja. Bukan minta dinikahin."

"Sampai segitunya kamu. Kayak gak ada cowok lain aja," sinis Tuti.

"Banyak, cuma aku orangnya komitmen. Komitmenku dengan Ilo jadi aku harus menyelesaikan urusanku dengan Ilo."

Hening, kami sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Hahaha."

"Kenapa Tut?"

"Nih, Yuyun pasang foto sedih. Katanya pengen ikut kita."

"Aku udah ngajak ya Tut, dia sendiri yang gak mau ikut."

"Ckckck. Ustaz Rafi emang ganteng banget ya? Ini salah satu kumbang yang pernah main ke rumah kamu kan?"

"Hooh."

"Ganteng sih. Pantes Yuyun klepek-klepek. Berubah alim dia. Sekarang kerudungnya panjang gak neko-neko kayak biasanya."

"Pokoknya demi mengejar cinta ustaz gitu ya."

"Hooh. Eh, Mbar lihat ini si Syam kan?"

Aku melongok ke ponsel Tuti. Rupanya dia sedang menjelajah FB milik Syam. Kebetulan foto yang dia lihat adalah Syam bersama Rafi waktu ke Merbabu kemarin.

"Iya itu dia."

"Cakep Mbar. Tapi cakepan Rafi sih."

"Ya iyalah secara berondong punya."

Kami pun tertawa. Akhirnya bus yang kami tumpangi sampai di terminal Juwana.

"Kita naik grab?"

"Iya. Nih aku udah pesen."

"Oke."

Selang lima belas menit kami sudah duduk dengan nyaman di mobil menuju rumah Ilo.

*****

Aku dan Tuti sedang berdiri di depan rumah yang menurut orang-orang dulunya rumah milik Ilo.

"Mbar. Kamu gak papa?" tanya Tuti dengan wajah prihatin.

"Kita coba ketuk pintunya," tekadku.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Seorang wanita paruh baya menyambut kami. Aku tersenyum.

"Permisi Bu, maaf mengganggu. Apa ini rumah Susilo atau Ilo?"

"Oh Ilo. Iya tapi udah dijual dua bulan yang lalu sama saya."

"Apa? Kenapa?" teriak Tuti.

"Keluarga Ilo terjerat hutang. Semua aset-aset dijual buat melunasi hutang. Termasuk rumah ini," terang si ibu.

"Ibu tahu Ilo sekeluarga pergi kemana?"

"Gak tahu. Ada yang bilang ke Cilacap tapi ada yang bilang ke Kudus."

"Kok bisa terjerat hutang Mbak?" tanya Tuti penasaran.

"Ilo kan buka dealer mobil sama temannya. Tapi duitnya dibawa kabur sama temannya Ilo, jadi Ilo yang harus tanggung jawab. Mana katanya uang pembeli juga beberapa ada yang udah masuk lagi."

Ibu itu masih menceritakan bagaimana usaha Ilo melunasi kerugian yang harus Ilo tanggung. Aku tak begitu mendengarkan karena fokusku sekarang adalah keberadaan Ilo yang entah dimana.

Setelah cukup mengetahui fakta yang terjadi, kami pun berpamitan.

"Mbar."

"Kita langsung pulang aja, Tut. Percuma juga disini."

"Bisnya penuh."

"Gak papa. Ayuk."

"Mbar."

"Udah ayuk."

Kami pun berdiri hingga bus berhenti di kudus.

"Mbar ada kursi satu. Kamu aja yang duduk."

"Kamu aja."

"Mbar."

Aku langsung mendudukkan Tuti, Tuti itu pernah kecelakaan, jadi dia gak bisa berdiri lama.

Sampai di Semarang, beberapa penumpang turun dan ada beberapa kursi yang kosong.

"Tut, aku dibelakangmu."

"Iya."

Aku hendak duduk di samping ibu-ibu dengan anaknya."

"Mbaknya deket jendela aja. Nanti saya turun di Bawen."

"Oh iya Bu. Makasih." Aku lalu duduk di dekat jendela.

Mungkin karena lelah hati dan fisik aku tertidur. Aku merasakan bahu nyaman dan bau parfum yang entah kenapa terasa familiar. Hem ... nyaman. Mungkin karena terlalu nyaman, aku malas membuka mataku dan memilih tetap menyandar cantik pada bahu di sampingku. Masa bodo itu bahu siapa dan masa bodo nanti aku menggambar peta lagi. Karena hari ini aku sedang patah hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel