7. Kali Ketiga
.Aku menatap banyaknya hantaran pernikahan yang ada di depanku dengan tatapan sedih. Meski hati mencoba ikhlas tapi tetap saja nyeri.
Ini kali ketiga aku akan menyaksikan, seorang lelaki menjabat tangan Pakdhe Rusdi, kakaknya bapak.
Tepukan halus mendarat di bahuku membuatku kaget.
"Pakdhe."
"Jangan melamun."
"Enggak Pakdhe, cuma lihat-lihat, hantarannya banyak banget."
"Kamu nanti lebih banyak."
"Amin."
"Bapakmu bakalan bangga sama kamu, Mbar."
Aku tersenyum. Kupandangi wajah pakdhe yang tersenyum kearahku. Gurat wajahnya begitu mirip dengan adiknya, almarhum bapak.
"Kamu itu putri kebanggaan Rasdi. Setiap cerita tentang kamu. Binar mata Rasdi selalu terlihat. Dari kamu kecil sampai besar. Rasdi selalu bangga sama kamu. Begitupun pakdhe."
Pakdhe mengelus kepalaku yang berbalut kerudung.
"Kamu itu wanita yang kuat. Kalau jatuh, kamu harus bangkit. Ada kami semua yang senantiasa mendoakanmu."
"Iya Pakdhe."
"Tunjukan kalau besok kamu itu kuat. Jangan sampai ada air mata ya?"
"Insya Allah Pakdhe."
"Sudah sana tidur atau kamu mau ke tempat pakdhe?"
"Boleh Ambar ke sana dulu Pakdhe?"
"Boleh, ada Joko kok."
"Joko kapan pulang Pakdhe?"
"Kemarin malam."
Wajahku sumringah, "Ambar ke rumah ya Pakdhe."
"Iya."
Aku langsung menuju ke rumah pakdhe yang hanya berjarak lima ratus meter. Sampai di sana tak kudapati siapapun. Akhirnya aku memilih duduk di serambi belakang rumah milik pakdhe. Melamun.
Plak.
Aku kaget kemudian tersenyum pada kakak sepupuku, Joko.
"Hai Jok."
"Hai, Ambar. Kamu lagi ngapain disini?"
"Nyari ketenangan Jok. Kamu sehat?"
"Alhamdulillah."
"Masih waras?"
"Aku masih setengah edan ini. Tapi alhamdulillah udah beres semua."
"Chika ikut kamu?"
"Ya iyalah. Gak bakalan aku biarin dia ikut Rini."
Joko anak kedua Pakdhe Rusdi. Umurnya sama denganku. Menikah dengan Rini, wanita yang rumahnya masih satu desa dengan kami.
Rini yang pemalu dan penurut membuat Joko jatuh cinta. Saat usia Chika dua tahun, Joko pergi ke Korea menjadi TKI demi mencari penghidupan yang layak bagi keluarga. Namun sayang, baru satu tahun bekerja. Rini malah selingkuh dengan tetangganya.
Joko murka begitupun keluarga pakdhe. Chika langsung dirawat budhe hingga masa kontrak Joko habis. Sedangkan Rini langsung dicerai lewat video call di depan seluruh keluarga kedua belah pihak. Sementara administrasi perceraian diurus oleh Pakdhe Rusdi. Rini ngotot tak mau bercerai, tetapi Joko lebih ngotot lagi. Akhirnya Rini kalah. Keluarga Rini sangat malu, sehingga ketika Chika diasuh oleh pakdhe, mereka hanya diam.
Rini sendiri kini hidup bersama keluarganya. Sang selingkuhan sendiri malah pergi dan tak bertanggung jawab. Padahal Rini sudah punya anak hasil hubungan gelap dengan sang tetangga.
"Mbar."
"Hem."
"Besok-besok kita muncak yuh? Kayak dulu."
"Oke, siapa takut."
"Sip."
"Tadi kayaknya aku lihat Mbak Rini."
"Ck. Biasa. Mau nyari simpati sama aku. Ogah, daripada aku balik sama dia mending aku nyari janda terhormat aja."
"Amin. Semoga segera dapat janda terhormatnya ya?"
"Amin."
"Kok gak nyari gadis, Jok?"
"Gak ah, janda terhormat aja. Yang udah jelas mampu menjaga hati dan dirinya."
"Ya udah sama Tuti aja."
"Ogah! Sama si judes bin galak itu. Hiii. Mending aku sama Yuyun."
"Emang Yuyun mau sama kamu?"
"Hehehe. Enggak. Ditolak terus aku sama dia."
"Hahaha."
"Mas, Mbak. Kalian disini?"
Kami menoleh dan kulihat Miko menghampiri kami.
"Kamu kok ikut kesini Mik?" tanyaku heran.
"Iya Mbak di rumah sumpek. Gerah juga."
"Sumpek hati sama gerah telinganya ya Mik."
"Iya Mas Joko. Males dengerin mulut nyinyir tetangga. Terutama si Bu RW tuh. Heran Miko sama dia, kalau ngomong kok ya gak ada saringan. Gak sadar dia juga punya anak perempuan. Miko berdoa semoga nyinyirannya balik semua ke anaknya"
"Hush. Miko!" bentakku.
"Maaf Mbak, habis miko kesel banget tahu."
"Iya. Tapi gak usah kamu doanya kayak gitu. Ntar balik ke kamu atau kita gimana?"
"Astaghfirullah. Maaf Mbak."
"Udah daripada bahas si Mak Lampir kita bahas rencana naik gunung aja. Oke."
"Oke."
Kami pun membahas rencana muncak setelah pernikahan Anggi. Lumayan sedikit meringankan beban pikiran.
****
"Kasihan Ambar ya?"
"Iya, dilangkahi lagi akhirnya."
"Kubilang juga apa? Bakalan dilangkahi lagi kan Ambarnya. Lagian si Ambar tinggal nikah sama Sholeh si bujang tua atau si duda Mardi aja malah kebanyakan gaya. Jauh jodoh kan jadinya. Malah dilangkahi, tambah berat jodoh tuh jadinya."
"Bu! Sudah, jangan suka nyinyirin kenapa? Ingat kita punya Linda."
"Linda ya gak kayak Ambar tho Pak, Linda udah nikah. Bukan janda, pelakor apalagi perawan tua."
"Bu!" bentak Pak Warman.
Aku yang tak sengaja mendengar memilih menjauh daripada semakin sakit hati.
"Mbak."
"Eh Saras. Sini biar Mbak yang pangku Adam."
Aku memangku Adam yang kini berusia lima belas bulan. Adam itu anaknya hiperaktif sama seperti Ibrahim dan Yusuf. Namun hari ini, sepertinya Adam merasakan kesedihanku. Dia lebih banyak diam dan anteng duduk di pangkuanku. Bahkan Ibrahim dan Yusuf juga dari tadi duduk anteng dan tak pernah jauh dariku.
Tak lama kemudian Wulan juga datang dan duduk di sampingku. Kini aku diapit oleh Wulan dan Saras. Ibu sendiri daritadi duduk didampingi Budhe Rusdi dan Miko.
"Saya terima nikah dan kawinnya Anggraini binti Rasdi dengan mas kawin satu juta rupiah dibayar tunai."
"Sah."
"Sah."
"Alhamdulillah."
Pelukan hangat dari kedua sisi kanan kiriku datang. Bahkan kulihat Wulan dan Saras menangis.
"Maafkan kami Mbak?" bisik Wulan lirih.
"Maafkan kami bertiga Mbak." Saras pun ikut berbisik.
Aku mencoba tersenyum. Sesekali mendongakkan kepala guna menghambat laju air mataku. Tak boleh ada satupun yang melihatku menangis. Terutama Ibu.
Anggi menghampiriku, memelukku dengan sangat erat sambil menangis.
"Jangan nangis! Hari ini adalah hari bahagia kamu. Gak boleh ada air mata. Ngerti?"
"I-iya Mbak." Anggi memelukku lagi.
Suasana haru masih terasa. Hampir semua keluargaku menatapku iba. Aku benci mereka menatapku seperti ini. Hai, aku gak bakalan mati walau harus dilangkahi untuk ketiga kalinya. Aku Ambar ya, walau hati ambyar namun masih berusaha tegar.
"Mbar."
"Ya Budhe."
"Sing sabar ya? Genah wes dadi dalanmu. Sing sabar bae. Ko mesti mengko olih sing lewih apik."
(Yang sabar ya? Memang sudah jadi jalanmu. Yang sabar aja. Kamu nanti dapat yang lebih baik)
"Amin Budhe."
Pakdhe Rusdi yang emang irit omong juga hanya membelai kepalaku. Ada binar ketulusan pada mata itu. Aku bersyukur keluarga bapak dan ibu menyayangi kami. Walau mereka tak bisa membantu dalam hal materi. Tapi dorongan dan bantuan tenaga mereka sungguh membuatku selalu berterima kasih.
Kupandangi Aris dan Anggi yang duduk di pelaminan. Pandanganku dan Anggi bertemu. Aku mengangguk dan memberinya senyum tulus. Anggi pun berusaha tersenyum. Lalu kulirik Aris dan aku pun memberikan senyuman padanya. Aris mengangguk, aku tahu dia lelaki yang baik. Terbukti dari caranya menjaga Anggi selama ini.
Aku suka unggah ungguhnya (perilaku yang memperhatikan sopan santun). Dia benar-benar menghargaiku. Terbukti dari banyaknya pelangkah yang dia berikan. Padahal aku tak minta apapun. Permintaanku hanya satu, agar dia membahagiakan Anggi dan menjaganya seumur hidup.
