Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

13. Kencan

Seperti biasa aku sedang membantu ibu di warung. Suasana warung ramai seperti biasa. Hanya saja kunjungan para bapak sudah mulai berkurang dan digantikan para ibu berdaster yang keponya gak ketulungan tentang hidup Ambar, si perawan tua.

"Mbar."

"Iya Bu Atun."

"Cowoknya gak dateng lagi?"

"Oh, dia kan kerja Bu, jadi gak bisa datang setiap hari."

Inilah pertanyaan yang harus kujawab setiap hari selama sebulan ini. Semenjak memutuskan melepas kenangan bersama Ilo, aku memang lebih terbuka dengan kehadiran Syam. Chat dan telepon darinya kini tak kuabaikan. Beberapa kali dia main ke rumahku. Kadang sendiri kadang dengan Rafi atau Syafiq.

Tanggapan Pakdhe, Budhe dan Joko sangat antuisas. Pun dengan ketiga adik perempuanku yang sudah pernah bertemu Syam. Ibu dan Miko sendiri memilih memasrahkan semuanya padaku. Mereka hanya berharap yang terbaik untukku.

"Eh Mbar, kali ini jangan sampai lepas ya. Ganteng loh, cocok sama kamu."

"Iya Mbar, kayaknya juga berpendidikan orangnya. Pepetin terus jangan dilepas," sambung Bu Siti.

Aku hanya tersenyum dan memilih tak menanggapi.

"Mbar."

Aku menoleh dan mendapati sahabat masa kecilku dulu.

"Eh Linda, apa kabar?"

"Baik. Aku minta tahu isi sepuluh ribu ya Mbar, sama mendoan lima ribu."

"Oke. Ditunggu ya. Pecelnya juga gak?"

"Enggak."

Sambil menggoreng aku bercerita bayak hal dengan Linda. Meski mulut Bu Sarni nyinyir tapi harus kuakui Pak Warman itu baik sekali. Lembut lagi orangnya. Heran aja dapat jodoh kayak Bu Sarni. Sedangkan Linda pembawaannya seperti Pak Warman, kalem dan sangat sopan.

"Duluan ya Mbar."

"Iya Lin."

Aku melepas kepergian Linda dengan senyuman. Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Ibu-ibu tukang ghibah kok gak pergi-pergi ya? Mereka yang biasanya membawa pulang pecel atau gorengan entah kenapa memilih makan disini.

"Mbar. Kamu temennya Linda ya?"

"Iya Bu. Kita sekolahnya kan bareng terus. Kecuali pas SMA-nya. Saya di Purwokerto kalau Linda di Ajibarang."

"Oh, sekarang suka ngobrol gak?"

"Enggak Bu Atun, sejak saya pulang ini baru ketemu."

"Jadi kamu gak tahu dong kalau Linda cerai sama suaminya?"

"Hah? Yang bener Bu?" tanyaku tak percaya.

Astaga, kok doanya Tuti terkabul ya? Aku jadi ngeri sendiri. Ah, lain kali aku gak bakalan menyinggung Tuti. Takut dia mendoakan yang jelek-jelek untukku. Tanpa sadar aku begidig sendiri.

"Mbar ... Mbar!"

"Eh, i-iya Bu."

"Kamu kenapa?"

"Gak papa Bu Atun, cuma ... cuma gak nyangka aja."

"Katanya sih, karena suami Linda mau poligami. Suaminya pengen punya anak. Sampai sekarang Linda belum hamil, 'kan?"

"Iya. Ada yang bilang suaminya KDRT, ada juga yang bilang suaminya selingkuh. Ah, banyak pokoknya."

"Kasihan," lirihku.

"Mending kamu ya Mbar. Perawan tua. Gak disakiti sama laki-laki."

Aku memilih diam. Ah, Bu Atun. Andai kau tahu, aku pun baru saja disakiti laki-laki. Digantung hubungannya itu sama saja dicerai. Sakitnya itu sama.

"Pantas Bu Sarni gak keluar kandang ya? Hihihi."

"Iya. Malu dia. Menantu kebanggaannya ternyata gak sesuai sama omongannya."

Suara tawa para ibu berdaster menggema di warung. Aku dan ibu hanya saling melirik dan memilih fokus pada kegiatan kami.

****

"Udah tahu 'kan Linda ceremai sama suaminya."

"Iya. Warung ibu 'kan jadi ajang gosip para emak berdaster."

"Hahaha."

"Jahat bener Tut nada ketawanya. Kamu kayak sosok ibu tiri Cinderella tahu gak."

"Aku bahagia banget tahu, lihat tuh Mak Lampir gak banyak pongah buat sementara waktu. Syukur buat selamanya."

"Ngumpet dia ya?"

"Iya. Bahkan yang sekarang sering ke warung si Linda atau Pak Warman."

Rumah Tuti berseberangan dengan rumah Linda, makanya segala aktivitas Bu Sarni terlihat apalagi Tuti selalu stand by di counter pulsanya.

"Mulai sekarang aku akan hati-hati Tut, gak bakalan nyakitin hati kamu. Omonganmu macam Si Pahit Lidah. Takut aku!" Aku begidig membayangkan sosok Tuti berubah menjadi si Pahit Lidah.

"Hahaha. Itu doa orang teraniaya Mbar. Tenang, aku gak bakalan doain yang buruk-buruk kok buat kamu. Aku malah doain kamu nikah sama Wang Yibo versi KW. Hahaha."

Aku memukul bahu Tuti keras. Namun Tuti masih saja tertawa terpingkal-pingkal.

Suara dering ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku mengecek namanya.

"Angkat gih! Siapa tahu ngajak kencan."

Dengan gemetar aku menekan tombol hijau.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Ambar."

"Ya Syam, gimana?"

"Kamu dimana?"

"Lagi di Purwokerto sama Tuti. Dia habis deposit sekalian beli kartu perdana sama souvenir buat isi tokonya."

"Oh. Masih di Purwokerto?"

"Masih."

"Sharelock lokasi dong? Nanti aku samperin."

"Hah?"

"Mbar?"

"I-iya."

"Sharelock ya?"

"I-iya."

"Oke. Aku tunggu."

"I-ya."

Setelah mengucap salam, hubungan telepon terputus.

"Syam?"

Aku mengangguk lalu segera mengirim lokasiku pada Syam. Lima belas menit kemudian Syam datang dengan senyum lebarnya.

"Hai semua."

Aku tersenyum ke arah Syam begitupun Tuti, tapi pandangan mata Tuti bukan tertuju pada Syam melainkan pada seseorang yang berada di belakang Syam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawabku dan Tuti.

"Gak ganggu 'kan Mbar?"

"Enggak."

"Assalamu'alaikum Mbak Ambar, apa kabar?"

"Alhamdulillah baik Mas Syafiq. Lama gak ketemu ya Mas?"

"Saya di luar kota, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."

"Oh."

"Kamu udah makan Mbar?"

"Udah. Ini baru aja habis ya kan Tut?"

Tak ada sahutan dari Tuti, aku menoleh dan hampir saja tertawa ngakak melihat ekspresi wajah Tuti yang terpesona pada Syafiq.

Memang harus kuakui, diantara Syam, Syafiq dan Rafi. Syafiqlah yang paling tampan. Badannya tinggi besar, kulit putih, alisnya tebal, hidungnya mancung sekali kayak papan luncur. Ah, aku yang punya hidung minimalis jadi minder. Ditambah lagi rambut cepak sama lesung pipinya ituloh gemesin.

"Tut," bisikku. Tuti masih diam.

"Tuti," bisikku lagi.

Akhirnya aku mencubit lengan Tuti, Tuti terlonjak kaget kemudian mencoba bersikap tenang.

"Habis ini mau kemana?" Syam memulai pembicaraan.

"Pulang."

"Kita ke Taman Balai Kemambang dulu ya? Aku bawa Syafiq kok, ada Tuti juga. Jadi kita gak berduaan."

"Tentu saja. Nanti aku temani kok," sahut Tuti antusias. Aku menatapnya sinis. Ck. Dasar Tuti, dia pasti sedang berstrategi. Kami berempat akhirnya menuju ke Taman Balai Kemambang setelah Syam menyelesaikan makannya.

Taman Balai Kemambang berdiri di atas lahan seluas 1,2 hektare. Di dalamnya terdapat kolam yang memiliki kedalaman 1,6 meter yang berisi ikan berwarna-warni. Selain itu ada pepohonan, berbagai jenis tanaman, taman, dan jogging track.  Taman ini dilengkapi juga dengan taman bermain yang cukup lengkap untuk anak-anak seperti ayunan, perosotan, jungkat-jungkit dan lain-lain.  

Nama 'Balai Kemambang' merupakan kata asli dari Banyumas. Kata Balai, berarti sebuah tempat yang biasa digunakan untuk sarasehan atau duduk-duduk santai untuk sekedar berbincang-bincang. Kemambang, memiliki arti mengapung dalam bahasa Indonesia, jadi Balai Kemambang bisa diartikan sebagai tempat bersantai yang mengapung. Apakah benar-benar mengapung? Jawabannya iya. Karena di atas kolam seluas kurang lebih 250 meter persegi ada sebuah balai kecil yang mengambang ditengah-tengah kolam.

"Mbar." Suara Syam menghentikan lamunanku tentang Balai Kemambang.

"Hem."

"Makasih ya?"

"Untuk apa?"

"Karena kamu mau aku ajak kencan. Aslinya aku tadi takut kamu gak mau. Aku bahkan sampai nyeret Syafiq buat nemenin aku. Kamu biasanya gak nyaman kalau kita hanya pergi berdua."

Aku hanya tersenyum, jujur saja aku sudah merasa nyaman dengan Syam. Untuk cinta? Aku belum tahu. Hatiku masih terlalu ambigu.

"Mbar."

"Iya?"

"Maukah kamu menikah denganku?" 

Deg. Aku melotot, jantungku berhenti berdetak. Aku dilamar?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel