Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

14. Lamaran

"Mbar."

"Iya?"

"Maukah kamu menikah denganku?" 

Deg. Aku melotot, jantungku berhenti berdetak. Aku dilamar?

Kami saling menatap. Keheningan menyelimuti kami berdua. Cukup lama tak ada satupun yang bersuara.

"Mbar."

"Ambar!"

"Hah? Apa?!"

"Aku tanya sama kamu? Maukah kamu menikah denganku? Aku serius.  Kalau kamu setuju. Aku akan melamarmu segera secara resmi."

Aku terdiam. Bingung. Jujur aku shock, bagaimana mungkin seorang Syam yang sempurna tertarik padaku? Aku hanya wanita biasa. Mantan TKW, dan cuma lulusan SMA.

"Aku cuma lulusan SMA, Syam?" lirihku.

"Ya gak masalah."

"Umurku udah tiga puluh."

"Aku juga tiga puluh punjul sepuluh bulan."

"Aku 'wong ndeso' gak kayak kamu."

"Aku juga orang desa, Ambar. Cuma sekarang seringnya di kota."

"Aku yatim."

"Ck. Ambarwati, kamu kenapa sih? Kenapa kamu jadi minder begini? Denger ya Ambar! Aku menerima kamu apa adanya. Jadi, jangan tolak aku ya. Kalau kamu belum cinta ya belajar cinta sama aku ya. Serius, aku suka sama kamu sejak kita ketemu di Baturaden."

Aku menatap Syam, terlihat ada kesungguhan pada mata itu.

Kuhembuskan nafas pelan lalu mencoba menenangkan deburan jantungku.

"Kalau kamu serius ...."

Aku diam kemudian menarik nafas guna menetapkan hati.

"Lamar aku pada keluargaku."

Terlihat binar bahagia dalam bola mata Syam. Dia bahkan tersenyum. Bahkan Syam seperti hendak memelukku.

"Syam!!!" teriakku panik. Syam sudah hampir memelukku. Kedua tangannya terentang di udara.

"Sorry Mbar, refleks. Aku bahagia banget. Seminggu lagi aku datang. Kamu jangan kemana-mana!"

"Apa?" Aku memekik saking kagetnya. Syam sendiri sudah berlari ke arah Syafiq.

"Tapi Syam ... kita kan ...." Aku berteriak mencoba memanggil Syam namun percuma karena kini Syam sudah memeluk Syafiq yang postur tubuhnya lebih tinggi dari Syam.

Kedua sahabat itu berpelukan. Syam bahkan teriak-teriak membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah Syam. Aku sungguh malu dibuatnya.

"Mbar."

"Tuti."

"Kamu terima Syam."

"Aku harus mencoba membuka hati kan?"

"Sip. Itu baru Ambar."

Aku dan Tuti masih menatap tingkah Syam. Aku beralih menatap Tuti yang seperti nampak berfikir.

"Semoga bahagia ya Mbar. Jangan kayak aku."

Aku menatap Tuti kemudian memeluknya.

"Amin. Tapi setidaknya kamu jadi pribadi hebat Tut dan ibu terbaik buat Satria."

Tuti tersenyum, kami kembali berpelukan.

Aku dan Syam akhirnya berpisah. Sebelum berpisah Syam bicara serius padaku.

"Tunggu aku ya. Aku akan datang bersama keluargaku. Insya Allah seminggu lagi."

Aku hanya mengangguk. Dalam hati hanya berdoa semoga semuanya benar-benar akan terjadi. Aku tak mau terlau berharap lagi pada janji laki-laki.

Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Tuti sudah tidur dari tadi. Karena lelah aku pun ikut tertidur dan menyandar manja di bahu Tuti.

****

Aku tak pernah mengatakan pada keluargaku jika Syam akan datang melamar. Takut Syam ingkar jadi kuputuskan aku hanya menyiapkan banyak camilan jika suatu waktu keluarga Syam beneran datang.

Seminggu kemudian ternyata Syam menghubungiku dan benar-benar membawa ayah ibunya.

Ibu dan keluarga pakdhe kaget, karena aku memberitahu secara dadakan.

"Kamu kok baru ngomong sih Nduk," cerewet Budhe Narsih.

"Maaf Budhe, Ambar takut gak jadi datang."

"Tapi ya ngomong biar dipersiapkan jamuan yang layak."

"Sudah Mbakyu. Ini sudah pantas kok. Ambar sudah nyiapin semunya. Lagian tinggal nyiapin makanannya." Ibu membelaku dan aku merasa berterima kasih.

Pukul satu siang, Syam datang bersama ayah dan ibunya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Pakdhe dan Joko menyambut mereka di depan. Sementara aku, ibu dan budhe masih menyiapkan hidangan.

"Mbar, sana kamu dandan dulu."

"Iya Budhe."

Aku pun masuk kamar dan mengganti  gamis jersey yang kupakai dengan Gamis berbahan katun dan kerudung pasmina yang sengaja kubentuk agar lebih cantik. Sedikit olesan bedak pada wajah dan olesan lipstik tipis pada bibirku membuat mukaku lebih terlihat cerah.

Dalam hati aku berdoa semoga ini menjadi awal yang baik. Setelah yakin dengan penampilanku dan mampu mengatur debar jantung, aku menuju ke ruang tamu.

"Ini Ambar?"

Aku tersenyum canggung dan menyalami ibunya Syam kemudian kepada ayahnya.

"Nggih Ibu. Saya Ambar."

"Cantiknya. Pantas si Syam ngebet banget. Cantik ya Pak."

"Iya Bu."

Ayah dan ibunya Syam ternyata sangat supel. Pantas Syam juga supel pembawaannya.

Hampir setengah jam kami beramah tamah hingga suasana berubah tegang ketika Ayah Syam mengutarakan maksud kedatangannya.

"Pak Rusdi, Bu Inayah. Saya dan istri saya datang kesini pertama untuk kenalan dulu dengan keluarga Bapak. Tujuan kedua, meminang Ambar untuk menjadi istri anak kami Ahmad Hisyam. Bagaimana? Apa niat baik kami diterima?"

"Terima kasih Pak Ahmad. Saya selaku wali dari Ambar menyambut baik niat Bapak sekeluarga. Tapi disini semua keputusan ada di tangan Ambar. Biar saya tanyakan dulu pada Ambar."

"Ambar, kamu bersedia menikah dengan Hisyam?"

Semua mata menatap kepadaku. Aku menunduk, menarik nafas dan menghembuskan pelan. Lalu aku mengangguk sebagai tanda persetujuan.

"Alhamdulillah."

Ucapan hamdalah terdengar dari semua mulut yang ada di ruang tamu. Aku menatap semua orang begitu bahagia. Bahkan ibu menitikkan air mata.

Ibu Syam memasangkan cincin di jari manisku. Tanganku gemetar. Aku hanya bisa diam sambil menahan air mata agar jangan sampai tumpah.

Selesai lamaran, ibu mengajak kami semua makan. Kebahagiaan jelas terpancar di wajah semua orang. Senyum tak pernah lepas dari bibirku.

Setelah ashar, Syam berpamitan. Kami mengantar Syam dan keluarga di halaman. Setelah Syam pergi, aku merasa hatiku kosong.

"Loh, kok kayak ada tamu? Siapa?" tanya Bu Atun.

"Ambar dilamar Tun, doakan lancar ya," ucap budhe dengan sumringah.

"Alhamdulilah. Selamat Ambar. Semoga cepat ke pelaminan ya."

"Amin Bu Atun."

****

Berita lamaran Syam sudah tersebar seantero kampung. Seperti biasa ada yang senang, ada yang kepo dan ada yang sinis.

"Wah, kok kamu bisa nemu calon suami yang kerjanya dosen sih Mbar. Nemu dimana?"

"Yang kenalan waktu saya muncak Bu?" jawabku kalem.

"Oh. Yang biasa main itu?"

"Iya Bu."

"Hati-hati loh Mbar jangan terlalu percaya dengan penampilan orang. Buktinya Linda. Dia dicerai tuh sama suaminya. Padahal Linda kurang apa sih? Anak? Kan Linda juga lagi berusaha? Bisa aja kan si Beni yang mandul."

Aku dan ibu hanya mendengarkan sambil melayani pembeli. Rupanya prediksi Tuti benar lagi, Bu Sarni hanya mengurung diri dan tidak nyinyir selama dua minggu saja. Selanjutnya kembali ke hobby semula. Dan kebetulan sekali lamaran yang datang padaku menjadi konsumsi ghibahan olehnya setelah dua minggu bertapa. Astagfirullah. Ternyata di dunia nyata ada orang yang seperti drama di TV ikan loncat.

Kini aku sadar, mau kita susah atau senang, tetap saja ada orang yang tak suka dengan kita. Rupanya kunci hidup sederhana, buka mata, buka telinga, lapangkan hati, tutup mulut.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel