Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

12. Melepas Kenangan

"Mbak Ambar makasih ya. Udah nemenin Anggi."

"Gak papa. Mumpung Mbak belum repot. Ini beneran kamu resign jadinya?"

"Iya Mbak. Habisnya, Aris dipindah ke Temanggung. Mana jabatannya lumayan lagi."

"Iya. Kamu ikut suami aja. Kalau bisa sih suami istri jangan pisah. Yang gak pisah aja banyak masalah apalagi yang pisahan."

"Hehehe. Mbak Ambar kayak pawang rumah tangga aja."

"Kalau mbak udah jadi pawang, mbak udah lama nikah Nggi."

Tiba-tiba saja mimik muka Anggi berubah. Aku yang sadar salah ngomong langsung menggenggam tangan Anggi.

"Lupain omongan mbak, ya. Emang udah jalannya mbak kayak gini. Inget, kamu udah bahagiain ibunya Aris disisa umurnya. Ini juga kamu harusnya seneng bisa langsung isi." Aku membelai perut Anggi.

Anggi tersenyum lalu memelukku.

"Pokoknya Mbak Ambar bakalan dapet yang lebih baik dari Mas Wahid, Mas Ragil sama Aris."

"Amin. Udah ah ngapain mewek. Kamu tadi bilang mau makan di 'Super Sambel' tapi gak boleh banyak-banyak sambelnya ya?"

"Oke Mbak."

Setelah dari tempat kerja Anggi, kami menuju ke Super Sambel di daerah GOR Purwokerto. Sampai disana kami memesan cumi tepung, sambel terasi matang, cah kangkung, cah jamur dan es lemon tea. Sambil menunggu kami mengobrol.

"Ambar." Aku menoleh ke sumber suara.

"Siapa Mbak?" bisik Anggi.

"Syam, temen mbak," jawabku ikut berbisik.

Syam melangkah tegap ke arah meja kami.

"Kamu disini? Boleh aku gabung ya?"

Aku mengangguk sedangkan Anggi menatapku dan Syam bergantian. Terlihat sekali raut wajah penasaran Anggi.

"Ini siapa Mbar?"

"Adik aku nomer empat."

"Wow. Saudaramu banyak ya Mbar. Aku cuma anak tunggal."

Aku memilih tersenyum saja. Syam langsung beralih ke arah Anggi.

"Kamu adiknya Ambar?"

"Iya Mas. Anggi, Mas siapa?"

"Syam. Kalau aku jadi calon kakak iparmu boleh?"

"Uhuk." Aku tersedak minuman yang aku minum.

"Mbak. Mbak gak papa?"

"Gak papa."

Aku masih batuk namun berusaha baik-baik saja. Sementara Syam terlihat tengah menahan tawa.

"Gak lucu deh Syam. Orang keselek juga," gerutuku.

"Habis kamu lucu tahu Mbar."

Aku memanyunkan bibirku. Sementara Syam masih saja tertawa. Dasar.

"Mas Syam kenalan sama Mbak Ambar dimana?"

"Oh, pas muncak di Merbabu. Tapi ketemu pertama pas di Baturaden."

"Baturaden. Mas temennya Dika ya?"

"Iya."

"Ya ampun Anggi baru ingat. Pantas kayak pernah lihat. Ternyata Mas yang minta nomernya Mbak Ambar ya."

"Tepat sekali."

"Astaga. Mas Syam orang sini?"

"Bukan. Aku kecamatan Gumilang juga cuma beda desa, aku di Wiraba."

"Oh, lumayan jauh ya dari Karangdadap. Suka mampir Mas?"

"Baru dua kali. Maunya sih setiap hari."

"Boleh kok Mas. Ibu pasti senang. Ya kan Mbak?"

"Hem."

Seperti biasa, Syam yang mudah akrab bisa dengan mudah berbaur dengan Anggi. Bahkan kini aku pun tak terlalu menolak dengan kehadirannya. Setiap pertanyaannya bisa kujawab dengan santai tanpa canggung. Kami makan sambil mengobrol santai.

"Aku ke toilet dulu ya Mbak."

"Iya. Mau mbak temani?"

"Gak usah Mbak."

"Ya udah hati-hati."

"Iya."

Anggi ijin ke toilet karena ingin muntah katanya. Maklum hamil muda. Meski khawatir tapi aku percaya Anggi akan baik-baik saja.

"Mbar. Anggi lagi hamil?"

"Iya."

"Dia udah nikah?"

"Ketiga adikku udah nikah."

"Kamu dilangkahi?"

"Iya. Tiga kali. Kenapa?" tanyaku. Dia hanya tersenyum.

"Jadi bener info yang aku peroleh. Kamu jadi tulang punggung keluarga rupanya."

Aku mengernyit, "Kamu dapat info dari siapa?"

"Ada deh, yang jelas informanku baik orangnya."

"Oh."

"Mbar."

"Hem."

"Masih inget gak permintaanku waktu kita di Merbabu dulu."

"Permintaan yang mana ya?"

"Permintaan agar kita bisa jadi teman. Masih berlaku kan?"

Aku menatap Syam dan dia juga balas menatapku. Aku menghembuskan nafas pelan lalu mengangguk.

"Yes. Makasih."

Aku mencoba tersenyum. Tak lama kemudian Anggi kembali dari kamar mandi.

"Kita pulang?" tanyaku.

"Iya. Mbak."

Kami berdiri kemudian aku menuju ke kasir hendak membayar.

"Biar aku aja."

"Gak usah Syam."

"Udah, kayak sama siapa."

Akhirnya Syam yang membayar makanan kami.

"Yuk."

Kami bertiga berjalan menuju keluar Super Sambal.

"Kalian naik apa?"

"Grab."

"Oh. Ke Gumilang?"

"Enggak, ke rumah Anggi di Kalibogor. Aku mau nginap di sana."

"Oh. Ya udah aku tungguin sampai grabnya datang ya."

Selang lima menit grab datang. Dan aku pun berpamitan dengan Syam.

"Kami duluan Syam."

"Iya, hati-hati ya."

"Iya."

Kami pun berpisah. Sepanjang jalan, Anggi mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar Syam. Bagaimana kami berkenalan hingga sejauh mana hubungan kami.

"Plis deh Nggi, mbak sama Syam gak ada hubungan serius. Jangan bikin kesimpulan sendiri." Aku berusaha menghilangkan pikiran yang tidak benar di kepala Anggi.

"Tapi Syam kelihatan baik Mbak. Kalian cocok tahu. Yang satu ganteng dan Mbak Ambar cantik. Bahkan kalau Anggi boleh ngomong, gantengan Syam daripada Mas Ilo."

Menyebut nama Ilo membuat suasana hatiku berubah dan sepertinya terpancar pada raut mukaku.

"Mbak Ambar gak papa?" Anggi terlihat khawatir.

"Gak papa. Bisa kita gak bahas tentang Ilo?"

"Iya Mbak. Sekali lagi Anggi minta maaf ya?"

"Iya gak papa."

*****

Berulang kali aku melirik ke ponselku. Namun ternyata nihil tak ada balasan apapun dari nomer yang baru saja kuhubungi. Bahkan puluhan chat dariku pun tak dibalas. Padahal sudah centang biru.

Me : [Tut, ini beneran yang kamu kirim nomer Ilo?]

Tuti : [Iya. Katanya temanku yang di Pati. Itu nomer barunya]

Me : [Sama sekali gak ada balasan, Tut]

Tuti : [Terserah kamu. Kamu lebih paham mana yang terbaik untuk kamu. Saranku, jangan jadi bodoh!]

Aku menarik nafasku kemudian mulai mengetik.

0812xxxxxxxx

[Ilo, ini terakhir kali aku menghubungimu untuk kejelasan status kita. Satu hal yang perlu kamu tahu. Aku rela menjadi tempat kamu berbagi suka dan duka. Tapi, sepertinya kamu belum percaya padaku. Kamu tahu, hubungan itu landasan utamanya adalah kepercayaan. Bagaimana mungkin aku bisa menggenggam hatimu jika kamu pun tak percaya padaku. Maka kali ini aku menyimpulkan bahwa kamu menganggap kalau aku memang tak layak menjadi bagian dari hidupmu. Karena sejak dulu kamu tak pernah mau berbagi suka duka bersamaku. Terima kasih untuk semuanya. Lima tahun yang berharga kulewati bersamamu. Aku ikhlas dengan semuanya. Pun harapanku, kamu mengikhlaskan kekhilafanku. Aku minta maaf untuk semuanya. Ambarwati.]

Kuklik tombol send dan terkirim. Rupanya langsung centang biru. Aku menunggu balasan. Semenit, lima menit, bahkan hingga esok hari ketika aku bangun tidur. Dan sekali lagi aku harus memeluk kekecewaan. Ilo tetap tak mau membalas pesanku.

Baiklah cukup. Meski aku akan tetap bergelar perawan tua. Tapi bukan dengan meratapi nasib karena tak bisa menikah dengan pujaan hati. Nomor baru Ilo langsung aku hapus. Berharap dapat menghapus semua kenangan kebersamaan kami lima tahun ini. Meski aku sadar bahwa hubungan kami pun hanya lewat sosial media saja.

"Bismillah, aku melepasmu Ilo. Aku harap dimana pun kamu berada, kamu bahagia. Dan aku pun akan mencoba menggapai bahagiaku. Namamu akan selalu tersemat dalam doaku. Meski dengan doa yang berbeda dari doa sebelumnya."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel