11. Ngumpet
Aku tengah duduk merenung sambil menatap aktivitas orang-orang di Terminal Purwokerto. Tuti sedang membeli beberapa camilan dan air mineral.
"Nih."
"Makasih."
"Kamu mau aku temani ke mana dulu?"
"Disini aja dululah Tut, lagian baru jam enam."
"Okelah. Nih makan, aku pesenin dua cup."
Aku dan Tuti menyantap cup Andaimie yang ditambahi dengan lima butir bakso didalamnya.
"Enak ya Tut."
"Biasa aja. Tapi biasanya orang patah hati gak nafsu makan. Kok kamu beda?"
"Bedalah. Walau patah hati, aku harus tetap waras."
"Hahaha."
Kami asik makan dan sesekali tertawa membahas berbagai hal secara acak.
"Mbar."
"Hem, bukannya itu Syam."
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Tuti, mataku membulat. Syam terlihat sedang mencari-cari sambil menghubungi seseorang dengan ponselnya.
"Tut, cepetan kabur!" Aku menarik tangan Tuti dan langsung mengajaknya pergi. Bahkan kini kami berlari.
"Kenapa?" Tuti ikut berlari.
"Kabur dulu pokoknya."
Meski bingung, Tuti mengikuti aksiku. Kemudian kami berhenti di dekat sekat antara dua toko dan bersembunyi disana.
"Lah itu kan?"
"Sssttt. Biarin mereka pergi dulu," ucapku.
Setelah memastikan mereka pergi aku dan Tuti keluar dari persembunyian.
"Kenapa harus ngumpet sih?"
"Aku males aja ketemu mereka."
"Kamu risih sama mereka?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Gak papa."
"Karena Syam terlalu kelihatan cari perhatian ke kamu?"
"Salah satunya iya."
"Salah satu? Ada alasan lain emangnya?"
"Udahlah jangan dibahas. Eh itu bus ke arah Gumilang kan?"
"Iya."
"Yuk naik." Aku langsung menarik tangan Tuti dan kami segera mencari tempat duduk yang nyaman.
Selama perjalanan kami lebih banyak diam. Lebih tepatnya aku. Tuti yang paham jika aku sedang tak ingin diganggu memilih tidur.
"Mbar." Tuti akhirnya bersuara.
"Iya."
"Kenapa kamu gak coba buka hati kamu buat Syam? Kelihatannya dia pengen serius sama kamu?"
"Entahlah. Mungkin karena karena aku berharap Ilolah yang memperjuangkanku bukan Syam."
"Lupain Ilo aja. Kalau dia memang mau serius sama kamu. Udah dari empat bulan yang lalu. Tapi lihat? Dia gak kasih kabar ke kamu. Sampai hari ini loh Mbar. Saranku lupain Ilo. Bangun masa depan kamu. Sama Syam atau sama yang lain."
"Aku takut Tut. Ilo aja kayak gitu apalagi Syam? Dia dosen, pendidikannya tinggi. Apa mungkin dia mau sama aku? Keluarganya nerima aku?"
"Positif thingking aja Mbar. Kalau emang udah jodohnya kamu pasrah aja."
Hening. Suara deru kendaraan berpadu dengan deru kendaraan lain.
"Tapi tidak semua hal bisa diselesaikan dengan pernikahan. Aku buktinya. Dulu Bapak sama Ibu mikirnya kalau aku nikah, maka ada yang jagain aku, ngasih aku nafkah. Makanya waktu bapaknya Satria ngelamar aku. Mereka main setuju aja. Padahal aku baru lulus SMA."
Tuti menghembuskan nafasnya lalu memulai ceritanya lagi.
"Hampir dua tahun usia pernikahan kami. Dia gak pernah ngasih aku nafkah. Makanya aku ke Hongkong. Untung aku gak pernah ngasih uangku ke dia. Tapi ke bapak sama ibu. Lihat kan buktinya. Bukannya ngurus anak malah nambah anak."
Aku mengusap punggung Tuti, terlihat dia mulai menangis.
"Kamu kenapa?"
"Aku benci sama mulut usil tetangga Mbar. Mereka jahat banget. Beberapa waktu yang lalu Satria nangis. Dia katanya dihina sama temen-temennya. Kata ibu mereka, aku ini janda genit. Satria marah dan membelaku. Tapi mereka malah menghina Satria. Main keroyokan lagi."
"Belum lagi bapaknya Satria gangguin aku terus. Terus istrinya sekarang juga nyebelin banget. Suka fitnah aku ditambah lagi tuh si Mak Lampir. Heran aku sama dia. Dia itu punya masalah apa sih Mbar sama kita. Apa dia gak nyadar, kita itu temennya Linda. Linda gak bakalan lulus SD sama SMP kalau bukan dibantu kita terutama sama kamu. Dia itu mulutnya jahat banget tahu gak Mbar. Aku doakan Linda jadi janda yang gak tahu diri. Kudoakan jadi pelakor sekalian. Baru tahu rasa dia."
"Tut." Aku masih mengelus punggungnya.
"Sabar, istighfar. Itu doa buruk. Kalau jatuhnya ke kamu sendiri gimana?"
"Astaghfirullah. Maaf Mbar, mulut aku emang gini."
"Makanya dikurangi ya."
"Iya. Udah mau nyampe Mbar."
"Iya. Ke rumah aku dulu yuk. Jangan sampe Satria lihat emak galaknya rapuh. Bisa jatuh harga kegalakanmu."
"Kamu bener Mbar. Satria gak perlu tahu emaknya rapuh. Dia cukup tahu kalau emaknya kuat."
"Nah gitu dong senyum kan cantik.'
"Aku cantik Mbar, makanya bapaknya Satria suka sama aku. Cuma sayang keblinger."
"Hooh. Nyesel kayaknya tuh mantan kamu."
"Iyalah. Makanya kamu juga harus gitu Mbar. Kamu harus jadi kayak biasanya. Si Ambar yang kuat. Jangan cengeng."
"Aku bakalan usaha kok Tut." Aku mencoba tersenyum. Kami tersenyum lalu berpelukan.
"Yuk ah, kita turun."
"Ayuk."
******
"Ambar."
"Eh, Mbak Rini." Aku dan Tuti saling melirik.
"Kamu dari mana Mbar?"
"Oh, main ke rumah temen Mbak. Mbak Rini udah lama?"
"Lumayan."
"Oh. Ambar sama Tuti masuk dulu ya Mbak."
"Iya."
Aku dan Tuti pun masuk ke kamarku.
"Astagfirullah," pekikku.
"Jok—"
"Sssttt. Diem! Aku sama Chika lagi ngumpet. Diem!"
Aku dan Tuti hanya melongo melihat tingkah Joko dan Chika yang berumur empat tahun sedang bersembunyi di kamarku.
"Tengokin sana. Udah pulang belum?"
Aku dengan malas keluar kamar dan mencari keberadaan Rini.
"Nyari siapa Mbar?"
"Mbak Rini, Bu."
"Udah pulang orangnya. Sejak Joko pulang, Rini terus-terusan nyariin Joko."
"Minta balikan lagi mungkin Bu."
"Iya. Tapi jelas Mbak Narsih gak maulah. Joko juga kayaknya udah gak mau. Cuma ya itu Rini ngebet banget. Sampai nguber terus."
"Hahaha. Lagian Mbak Rini sih pakai selingkuh. Coba dulu setia."
"Itulah Mbar. Mau lelaki atau wanita. Kalau dasarnya gak kuat iman ya gitu. Makanya dalam rumah tangga, harus banyak sabar dan teguh iman."
"Iya Bu."
"Eh, Mbar. Gimana hasilnya?"
Aku menatap ibu, kulihat tatapan berharap di matanya. Aku menggelengkan kepala.
"Nanti ya Bu, kita bahas. Ambar capek."
"Iya. Istirahat dulu sana."
"Iya Bu, Ambar masuk dulu ya."
Sampai kamar aku terkejut mendapati Tuti dan Joko sedang adu mulut.
"Ckckck. Kenapa gak kamu temuin aja sih?" sinis Tuti.
"Gak usah sok nasehatin aku. Kalau kamu berani, sana hadapin itu mantan kamu!" balas Joko.
"Eh, aku berani ya. Tanyain sama temen kamu si buaya buntung itu. Gimana rasanya kena gamparan, tinju sama tendangan aku!" teriak Tuti. Refleks Joko membekap mulut Tuti.
"Ini mulut dari dulu kayak kaleng Kong Kong kena banting emang."
"Dari pada kamu, kompor mledug."
"Berani kamu!"
"Apa! Mau gelut sama aku lagi, ayo."
Keduanya sudah sama-sama panas, ya ampun dari jaman masih ingusan sampai jadi orang tua beneran gak berubah ya.
"Stop! Kalau kalian gak berhenti gelut, aku nikahin kalian."
"Ambar!" teriak keduanya dan aku haya tertawa melihat raut wajah keduanya yang sangat lucu.
