Bab 5. Positif Hamil
*****
Bagas terhenyak. Kecewa menghentak. Apa yang sempat dia impikan tak menjadi kenyataan. Masih jelas dalam ingatan saat dia pertama kali melakukannya dengan Rinay. Meski saat itu Rinay dalam keadaan tak sadar, namun Bagas sangat menikmati permainan. Itu karena Rinay yang dia dapatkan benar-benar masih bersegel. Rinay masih suci, bahkan rembesan darah peraw*n yang membercak di kain seprei masih membayang dalam ingatan hingga kini.
Harapannya, peristiwa itu akan terulang malam ini. Tatiana akan memberikan rasa dan sensasi yang lebih dasyat. Secara, Tatiana adalah gadis berkelas, seperti yang selalu dibanggkannya. Sedng Rinay hanya gdis desa. Penuh semangat Bagas memulai. Memperlakukan Tatiana selembut mungkin, karena mengira bagi gadis itu, ini pengalaman pertama.
Kecewa, Tatiana ternyata lebih mahir darinya. Terkejut saat gadis itu menawarkan berbagai macam gaya dan cara. Ternyata Tatiana bukan gadis seperti yang dia duga. Entah siapa yang pertama kali mencicipi tubuhnya. Pertanyaan itu, membuat hati Bagas terluka.
Perlahan dia melepas pelukan, bergerak turun dari atas tubuh polos Tatiana, lalu membaringkan tubuhnya di samping gadis itu.
“Mas, kok, lemes?” Tatiana memiringkan tubuh, kini tepat menghadapnya. “Mas, kenapa? Tadi semangat banget, baru keluar sekali langsung lemes banget, capek, ya? Enggak bisa minta lagi, dong!” goda wanita itu seraya memainkan jemarinya di dada sang pria.
“Hem, entah, nih, capek banget. Istirahat aja, yuk!” Bagas memejamkan mata. Ada perih yang menelusup di lubuk hatinya. Pria itu merasa dikhianati.
“Gimana rasanya saat bersama Rinay? Beda, ya? Enak mana?” tanya Tatiana enggan terpejam. Dia masih penasaran.
“Tidur saja, udah tengah malam ini!” sahut Bagas dengan enggan.
“Bilang aja Mas Bagas malu menjawabnya. Lebih hot aku, kan? Hahaha … secara, ya, aku itu rajin senam, perawatan ini itu. Lha, dia, perempuan kampung bisanya apa, coba? Pasti punya dia juga bau terasi, kan? Gak pernah dirawat, sih!”
Bagas mengepalkan tangan mendengar celoteh wanita itu. Perempuan ini benar-benar tak paham kalau Bagas begitu kecewa padanya. Semua tuduhnnya kepada Rinay berbanding terbalik dengan kenyataan. Justru Rinay yang mampu memuaskan Bagas. Milik Rinay jauh lebih wangi, seret dan menjepit. Serasa tetap peraw*n. Berbeda dengan yang barusan, milik Tatiana bahkan sangat longgar, seolah sudah miliaran kali dipakai.
“Mas, kok, diam aja, sih? Capek banget, ya! Ya, udahlah, bobok aja, padahal aku masih mau, lho!” Tatiana meluruskan tubuh, bersiap untuk tidur juga.
“Siapa yang pertama, Tian?” Tiba-tiba pertanyaan itu keluar juga dari mulut Bagas.
“Maksudnya?” Gadis itu sontak menoleh ke samping, tepat ke wajah Bagas.
“Siapa yang pertama kali tidur denganmu?”
“Ha, Mas Bagas mempermasalahkan itu? Astaga? Lalu bagaimana dengan aku? Bolehkah aku juga mempermasalahkan kalau kamu itu suami orang? Andaipun Mas talak dia segera, status Mas tetap duda! Mikir, dong! Jangan egois! Kalau memang itu masalah bagi Mas Bagas, ok, aku akan minta Papa membatalkan pernikahan!” sengit Tatiana langsung bangkit dan menyambar pakaiannya.
“Tian … Tian! Jangan tersinggung, dong! Aku kan, cuma bertanya? Sini, bobok lagi! Jangan marah, ya! Aku minta maaf!” Bagas ketakutan. Kemarahan Tatiana adalah kehancuran tak hanya bagi dirinya, tetapi juga kepada karier papanya.
Dia harus bisa menerima Tatiana apa adanya. Bukankah Tatiana juga bisa menerima dia apa adanya? Jangan sampai pernikahan ini dibatalkan. Bagas harus tetap menikahi putri konglomerat ini. Tentang kekecewaannya di atas ranjang? Bukankah ada Rinay yang bisa memuaskannya?
Ya, dia tak akan pernah menalak Rinay. Perempuan itu adalah sumber hiburannya. Pemuas nafsu, pelepas dahaga.
“Aku mau pulang, Mas! Udang enggak mood melanjutkan malam bersama Mas!” sergah Tatiana melepas pelukan Bagas.
“Baiklah, aku antar. Tapi, pernikahan kita jangan pernah dibatalin, ya, Sayang! Maaf, tadi aku lancang nanyain masalah itu.”
“Ok, enggak akan aku batalin. Tapi, Mas harus talak Rinay, aku gak mau menunggu lagi. Meski kalian hanya nikah siri, tetap aku enggak rela berbagi suami, paham?”
“Baik, aku akan talak dia. Jangan khawatir!”
“Benar, kan, Mas! Mas enggak bohong! Sebetulnya aku cinta banget sama kamu, Mas! Aku enggak mau ada Rinay lagi di hati kamu, ya! Aku akan bujuk Papa agar serahin kursi direktur ke kamu, asal Mas Bagas ikutin semua mauku.”
“Iya, Sayang. Aku akan lakuin semua mau kamu!”
***
“Mas Bagas, Mas datang? Alhamdulillah!” Rinay membuka pintu kamar, lalu menghambur ke pelukan sang suami.
“Maaf, ya! Minggu lalu Mas enggak bisa datang. Mas sibuk banget urusan kantor,” sahut Bagas mengeratkan pelukan. Dia sengaja mencuri waktu, diam-diam mendatangi Rinay. Padahal baru empat hari yang lalu dia menikahi Tatiana. Mereka bahkan masih dalam suasana bulan madu. Bulan madu yang hambar. Setiap detik memang mereka lewatkan bersama. Namun, keinginan Bagas untuk menuntaskan hasrat tak pernah mencapai puncaknya. Tatiana tak bisa memuaskan dahaganya.
Bagas merindukan Rinay, keinginannya pada istri sirinya itu makin membuncah. Dia tak bisa menahan lagi. Dengan alasan bertemu client penting, dia pamit kepada Tatiana.
“Iya, kan udah Mas jelasin di WA. Tapi, kenapa, sih, Mas, aku enggak bisa telpon atau chat nomor Mas Bagas? Mas Blokir nomorku, ya? Lalu Mas buka blokirannya pada saat Mas perlu saja? Kenapa?”
“Sayang, aku, kan, kerja! Dengar, ya! Kita, kalau mau hubungan ini langgeng, kita harus saling percaya. Kamu harus percaya sama Mas. Begitu juga sebaliknya. Udah, ayolah, enggak usah bahas yang enggak penting, aku kangen, sa … ngat kangen.”
Rinay mengangguk, menyungging senyum manis, siap melayani keinginan sang suami.
“Vitaminya masih diminum, kan, Sayang?” tanya Bagas di antara er*ngan nikmat sang istri.
Rinay menjawab dengan bergumam tak jelas, betapa dia ingin menceritakan kalau vitamin penyubur rahim yang dia konsumsi sekarang bukan yang diberikan oleh sang suami, melainkan dari Bidan Desa. Pasti lebih terjamin kualitasnya. Namun, bibirnya tak sanggup berucap. Kenikmatan ini terlalu sempurna. Tak ada waktu untuk berbicara.
**
Dua bulan sudah berlalu, cita-cita Rinay akhirnya terwujud. Bidan Desa memastikan kalau dia positif mengandung. Rinay langsung sujud syukur, sedangkan Rusni, ibunya, hanya mengulas senyum. Nalurinya mengatakan, perjuangan putrinya belum selesai. Entah kenapa, dia merasakan firasat buruk. Ada keraguan, kalau Bagas akan memenuhi janjinya. Naluri seorang ibu.
“Kamu yakin akan menyusul Bagas ke kota?” tanyanya saat Rinay mengemasi pakaiannya ke dalam sebuah tas berukuran sedang. Tak ada koper, Rinay hanya memiliki tas kain sederhana itu.
“Iya, Bu. Yakin banget,” sahut Rinay mengulas senyum. Wajah cantik tanpa polesan itu terlihat kian berseri-seri.
“Kenapa tidak ditelpon saja! Atau tunggu dia datang. Dua hari lagi jadwalnya datang, kan?” Rusni memberi saran. Sengaja menunda, karena hatinya tak tenang.
“Enggak usah, Bu. Rinay mau ngasi kejutan buat Mas Bagas dan juga keluarganya, Bu. Mas Bagas pasti sangat senang, akhirnya keinginannya punya anak terkabul. Kedua mertua Rinay pasti sangat bahagia punya cucu pertama dari Rinay. Rasanya tak sabar cepat sampai di sana.” Rinay kian berbinar-binar.
“Baiklah, ibu akan mengantarmu,” usul Rusni bangkit dari duduknya. “Ibu akan ganti baju dulu,” lanjutnya seraya berjalan menuju kamar.
“Enggak usah, Ibu. Ibu suka mabuk kalau naik Bus, kan? Nanti Ibu muntah lagi di perjalanan. Ibu enggak usah ikut, Rinay enggak tega. Perjalanan ke Medan itu butuh waktu empat jam, lho, dari kampung kita ini. Biar Rinay berangkat sendiri saja, ya!”
“Tapi, Ibu enggak tenang kalau kau berangkat sendiri Nay! Bagaimana kalau terjadi apa-apa sama kamu, di sana nanti?”
“Memangnya apa yang akan terjadi, Ibu? Rinay datang ke rumah suami Rinay, kan? Rinay datang dengan calon bayi di perut Rinay. Mas Bagas dan keluarganya akan menyambut Rinay dengan suka cita. Percayalah!”
“Ibu harus ikut, pokoknya ibu harus ikut!”
“Ibu, dengar! Rinay enggak mau Ibu menderita dalam perjalanan. Rinay janji, begitu Mas Bagas punya waktu, dia akan menjemput Ibu. Kalau naik mobil pribadi, dua jam setengah bisa kok ditempuh ke sini. Ibu pokonya tenang, dan sabar, ya!”
“Kamu yang enggak sabar menunggu Bagas datang!”
“Lha, kan Rinay mau ngsih kejutan sama mertua sekalian, hehehehe ….”
Rusni terdiam. Rinay benar-benar tak bisa dia hentikan sekarang.
“Angkutannya udah mau berangkat itu, Nay! Jadi berangkat enggak? Itu udah Bapak minta berhenti!” Sang ayah melongokkan kepala ke dalam kamar.
“Jadi, Pak. Bu, Rinay berangkat, ya! Doa-in, Rinay!” Buru-buru dia memeluk ibunya, mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim, lalu berjalan ke luar kamar. Sang ayah membantu mengangkat tas pakaian menuju mobil pintu belakang, satu-satunya jenis alat transportasi penumpang di kampung itu.
Setelah mencium punggung tangan sang ayah, Rinay naik ke dalam angkutan. Melambaikan tangan pada ibunya yang sudah berdiri di teras rumah papan mereka.
*****
Bersambung, semoga suka teman-teman.
